Rumah Nenek & Move On

13 1 0
                                    

Aku pulang ke Jogja seminggu sebelum wisuda setelah aku berada di rumah orang tuaku selama hampir dua bulan. Sebenarnya yang sering aku sebut rumah adalah rumah nenekku yang berjarak 8 km dari kampus. Rumah ini dulunya di beli oleh ayah untuk tempat tinggal nenek ketika menjalani perawatan di rumah sakit. Tujuan ayah membelikan rumah untuk nenek di kota adalah agar nenek tidak perlu bolak-balik ke rumahnya yang berjarak lebih dari 50 km dari rumah sakit.

Setelah nenek meninggal, rumah ini menjadi tidak berpenghuni. Semua saudara ayah merantau ketika mereka dewasa dan menikah. Ayah di Semarang dan yang lain tinggal di Jakarta dan Surabaya. Ayah sempat berencana untuk menjualnya, tapi karena rumah ini penuh dengan kenangan tentang nenek akhirnya rumah ini dibiarkan begitu saja. Hanya ketika kami atau saudara kami berlibur, rumah ini baru ditempati.

Dulu, ketika aku dan Yosa memutuskan untuk kuliah di Jogja, semua saudara ayah menyarankan kami untuk meninggali rumah nenek, sekalian untuk merawatnya. Awalnya aku menolak dengan tegas karena takut dengan cerita-cerita mistis yang mungkin akan muncul ketika kami tinggal di sana. Tapi karena kejahatan dan keegoisan Yos akhirnya, aku harus ikut menyetujuinya. Waktu itu Yos berkata kalau lebih baik kami tinggal satu rumah dari pada harus kos di tempat yang berbeda. Dia bilang kalau dia tak tega membiarkan adiknya yang bahkan belum bisa mengelap ingus dengan benar ini, kos sendirian di tempat yang baru. Ayah dan bunda langsung menyetujuinya setelah mendengar alasan Yos yang kejam dan berlebihan.

Aku masih ingat bagaimana dulu orang tuaku berpesan agar aku selalu menuruti semua kata-kata Yos dan tidak membuat masalah. Yos melirikku dengan tatapan cyclop nya yang kejam. Sedangkan aku hanya mengangguk sambil menahan tangis. Saat itu Aku menangis karena sadar bahwa aku tak akan bisa selalu bersembunyi ke belakang bunda setelah menjahati Yos. Aku juga sadar kalau mungkin mulai detik itu aku akan menerima semua pembalasan atas apa yang telah kulakukan kepadanya semenjak kami kecil.

Kami bahkan ribut ketika membersihkan rumah ini untuk pertama kalinya. Itu adalah perang dunia yang bahkan membuat ayah hampir saja meledak karena kami bertengkar sepanjang waktu. Waktu itu aku dan Yos ribut tentang siapa yang harus melakukan apa ketika membersihkan ruang belakang yang pengap dan sangat kotor. Bunda yang sebelumnya mengingatkan kami akhirnya menyerah karena kami masih terus ribut. Ayah hanya memperhatikan tanpa komentar.

Barang-barang yang harus disingkirkan banyak sekali. Semuanya berserakan dan penuh sarang laba-laba. Aku mengangkat gulungan selang yang baru saja digunakan ibu untuk menyiram tanaman. Aku bertanya pada ayah dengan setengah putus asa.

"Ini dimasukkan ke mana Yah?"

"Masukkan kulkas." Kata ayah agak keras.

Yos dan aku saling berpandangan. Kami kemudian menunduk sambil menahan tawa. Kami sadar sepenuhnya kalau ayah jauh lebih putus asa ketika melihat kami bertengkar.

"Kalian dari tadi ribut terus. Ayah jadi pusing. Besok kalau sudah mulai kuliah dan kalian masih bertengkar seperti ini, ayah bakal pindahkan salah satu dari kalian ke Surabaya."

Kami akhirnya terdiam. Aku dan Yos terpaksa bekerja sama karena ancaman ayah. Meski kami tahu ayah tak akan memindahkan salah satu dari kami, tapi ancaman seperti itu selalu berhasil membuat kami berdamai. Dan itu masih berlaku sampai sekarang.

Setengah tahun pertama kami tinggal di sini, aku benar-benar berubah menjadi paranoid dan berkali-kali "mengungsi" ke kamar saudaraku bila aku mendengar bunyi aneh. Sekalipun itu hanya bunyi ranting patah karena angin kencang. Aku baru berhenti setelah Yos menceritakan sikap kekanakanku kepada teman segengnya termasuk Johan dan Gusti.

Tak terasa sudah enam tahun aku tinggal di rumah nenek. Setelah aku wisuda, mungkin rumah nenek akan kembali kosong seperti dulu. Meski aku dulu sering mengeluhkan kolam di taman belakang yang selalu memberi kesan seperti film horror atau pohon di depan tumah yang daunnya selalu berserakan, tapi sekarang aku sudah mulai merasa sangat nyaman tinggal di rumah ini. Entah kenapa aku merasa sedih bila ingat kalau aku harus meninggalkan rumah dan kota ini.

Dua minggu yang lalu aku mengirim pesan ke Johan untuk memberitahunya kalau aku wisuda akhir bulan ini. Johan baru membalas seminggu kemudian. Dia bilang karena aplikasi ponsel pintarnya error. Dia tak bisa mengenaliku karena nomor yang tersimpan di ponselnya hilang semua dan aku juga tidak memasang sebuah foto yang jelas pada profilku. Dia pikir aku hanya orang iseng yang ingin mengerjainya.

Sebelumnya, aku sudah memberitahu Gusti tentang tanggal wisuda yang harus diundur karena ada pergantian rektor. Dia tidak membalas. Aku pikir mungkin dia sedang ada di pulau terpencil dan terkutuk yang pemancarnya tidak mampu mengirim pesan ke manapun. Gusti memang unik.

Johan juga sempat bertanya kapan aku terakhir ketemu Gusti karena dia juga tidak bisa menghubunginya. Aku hanya bilang kalau aku bahkan tak ingat kapan kami terakhir bertemu. Tapi kali ini kami tak secemas dulu karena kami tahu kalau dia hampir bisa dipastikan sibuk dengan dunianya. Bahkan kalau suatu saat ada berita tentang program pengiriman astronaut ke ruang angkasa dan di situ ada nama Gusti, kami tak akan begitu kaget. Paling kami hanya akan bernapas lega karena dia baik-baik saja dan tak mencoba melakukan hal-hal tak masuk akal.

***

Tahu bahwa satu-persatu teman kita sudah pergi dari zona nyamannya, membuat kita semakin sadar kalau seharusnya mulai detik ini kita juga harus berpikir bagaimana caranya keluar dari zona nyaman yang memulai hidup baru di zona yang tidak pernah kita alami sebelumnya. Itu sebabnya bunda memintaku untuk pulang ke Semarang setelah aku wisuda karena bunda tahu kalau aku sudah terlalu nyaman di sini dan mungkin tidak akan melakukan apapun bila aku terus berada di rumah nenek setelah aku lulus.

Lagi pula bunda ada benarnya, Yos di Semarang, Edo di Bandung, Johan, Nina, Dira dan Hilman, di Jakarta, Gusti entah kemana, dan hampir semua sahabatku sudah berhijarah untuk the next step of the life. Aku jadi ingat dulu setelah Yos lulus, ada masa dimana aku dan Johan saling mengirim pesan untuk janjian pergi ke kampus, sampai akhirnya hampir hilang komunikasi.

Ada saat dimana aku selalu pergi konsultasi dengan Nina, menginap di kosannya atau dia yang menginap di rumahku. Ada masa dimana aku selalu mengerjakan sesuatu bersama dengan Edo dan hampir setiap hari bertemu. Ada juga masa-masa dimana aku dan Gusti ke kampus bersama-sama, saling mengirim pesan untuk menanyakan progress pekerjaan masing-masing. Dan akhirnya ketika aku dan Gusti hampir putus komunikasi, lagi, salah satu teman dari masa lalu, Hilman, datang lagi. Meski kami tidak saling mengirim pesan secara berlebihan tapi seolah-olah semua itu sudah di atur oleh Yang Maha Kuasa agar aku tidak pernah sendiri.

Ketika dulu internet café dekat rumah tak lagi mejadi tempat paling nyaman, aku menemukan kembali bahwa rumah sekali lagi bisa menjadi tempat yang paling nyaman. Ketika rumah terasa begitu membosankan, kosan Nina atau kontrakan Gusti menjadi tempat mampir yang cukup nyaman. Ketika Nina lulus dan kontrakan Gusti terasa sedikit awkward, aku menemukan ruang belajar laboratorium menjadi tempat yang cukup tenang untuk mengerjakan sesuatu. Sampai akhirnya aku kembali ke internet café dekat rumah dan berhasil berkonsentrasi tanpa men-download film satupun. Tuhan memang Maha Adil, selalu ada tempat untukku mengerjakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya.

Banyak orang bilang kalau masa kuliah adalahmasa yang paling menyenangkan. Aku tahu itu benar. Meski dulu aku selalu berharapuntuk cepat lulus, tapi sekarang aku seolah ingin diberikan satu lagikesempatan untuk melakukan sesuatu yang sama dengan sahabat-sahabatku ketikakami masih kuliah dulurencana?u)

Nagisa's Story: Don't Curse at Me, Please!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang