Hari ini adalah hari dimana Gusti pendadaran. Aku datang ke kampus satu jam lebih awal dari jadwal. Sepeda yang biasanya kuparkir di parkiran sepeda mahasiswa, aku parkir di disamping parkiran mobil dosen agar tak perlu berjalan terlalu jauh. Kata Gusti, dia juga akan datang ke pendadaran Made yang dimulai jam 10. Tapi sesampainya di kampus tidak sedikitpun bau laki-laki itu tercium. Aku mulai panik ketika jam 12 tepat Gusti belum juga muncul. Aku mulai sibuk menelepon Hilman dan Johan ketika jam menunjukkan pukul 12.20 dan dosen penguji sudah mulai memasuki ruangan. Johan bilang kalau Gusti mengambil laptop ke tempat kakaknya yang cukup jauh dari kampus. Kenapa baru sekarang? Ya ampun.
Aku mulai panik dan bersiap-siap mengarang kebohongan luar biasa. Untung ada Sigit yang siap membantu. Padahal kalau Gusti tahu aku sebenarnya sengaja membawa laptop untuk jaga-jaga. Kemarin siang Gusti bilang kalau dia akan mengambil laptopnya jam 5 sore. Tapi aku tahu Gusti terlalu malas keluar kontrakan ketika hujan. Bahkan sepertinya dia lebih memilih pingsan kelaparan daripada membeli makan pas hujan.
Aku menunggu tepat di depan pintu ruang sidang. Sampai akhirnya aku harus mundur karena dosen pembimbing Gusti mau masuk.
Namun entah kenapa Prof. Purwo berhenti dan menoleh ke arahku. Aku menunduk sopan. Tiba-tiba Prof. Purwo mengeluarkan kata-kata yang lebih terdengar seperti petir di telingaku, "Kamu! Lama tidak lulus-lulus juga."
Glek! Aku menelan ludah dengan sangat keras. Orang disebelahku mungkin mengira aku tersedak permen.
"Bulan depan Prof." Ujarku cepat.
Beberapa orang yang ada di depan ruang ujian melihatku dan tersenyum. Entah sarkastik entah tulus. Terlalu banyak kesarkastikan yang aku terima akhir-akhir ini sampai-sampai aku tidak bisa membedakan mana yang simpati, mana yang tulus atau bahkan basa-basi. Kadang hidup memang menjadi terlalu ambigu.
Salah satu pegawai di jurusan kami datang untuk mengecek kesiapan ruang sidang dan kaget mengetahui Gusti belum juga datang.
"Ini yang mau diuji belum datang? Masak sih Gusti telat?"
"Lagi ambil laptop Mbak." Jawabku takut-takut.
"Loh, kenapa laptopnya? Tidak bisa nyambung di viewer?"
Ragu-ragu aku mengiyakan. Tapi kemudian aku baru sadar kalau sepertinya kata-kata tersebut bisa dijadikan pembenaran. Aku kemudian menoleh ke arah Sigit yang sepertinya juga menangkap kode yang sama.
"Kita harus bilang kalau tadi Gusti sudah kesini." Ujarku pada Sigit.
"Nanti kita bilang kalau tadi laptop ini sudah dicoba tapi ternyata tidak bisa nyambung di viewer." Tambah Sigit.
Aku tersenyum tulus. Atau mungkin lebih telatnya lega. Ternyata partner in crime itu ada di mana-mana.
***
Gusti datang 30 menit lebih lama dari waktu seharusnya. Dia muncul dengan muka yang "sangat tidak bersalah" dan berantakan. Aku berani bertaruh kalau dia bahkan belum mandi. Gusti adalah professional procrastinator karena ketika di saat-saat sakral seperti inipun dia masih saja menunda. Luar biasa.
Kami semua hanya bisa menggelengkan kepala melihatnya sedikit panik ketika memasuki ruangan sidang. Dia bahkan mengulurkan jaket kotak-kotak birunya kepadaku. Mungkin dalam kondisi panik, Dia kesulitan untuk membedakan tukang laundry kontrakan dan aku. Semua dosen sudah berkumpul di dalam ruangan sambil membolak-balik laporan tugas akhirnya.
Sebenarnya, bisa juga dia dikatakan sedikit beruntung. Meski telat, tidak ada dosen yang marah-marah. Selain itu dosen penguji yang mengujinya adalah dosen yang kebaikannya berada di level ten out of ten. Setahuku, selama ini tak pernah ada cerita dosen penguji harus menunggu mahasiswa pendadaran yang telat setengah jam tanpa marah-marah. Mungkin karena ketika masuk ruang sidang Gusti langsung mengeluarkan tiga bilah pisau pemotong padi dengan desain paling ergonomis di muka bumi. Dia memang preman!
Aku, Johan, Sigit dan Enda (teman Gusti satu lagi) menunggu Gusti di luar ruang sidang tanpa bisa mendengar sedikitpun apa yang mereka diskusikan di dalam. Akhirnya aku memutuskan untuk membaca buku Malcolm Gladwell dan mereka bertiga membicarakan bola.
Satu jam kemudian Gusti keluar dengan wajah sumringah yang dibuat-buat. Gusti memang rajanya muka sarkastik. Tanpa menebak atau bahkan bertanyapun kami bisa menyimpulkan dengan kata-kata seperti "it goes too well" karena Gusti benar-benar terlihat baik-baik saja.
Aku menyelamati Gusti. Aku bahkan sudah tidak merasa mancelos lagi. Sepertinya untukku sendiri kata-kata mencelos menjadi terlalu mainstream. Gusti bercerita dengan penuh semangat sedangkan yang lain menanggapinya dengan seru. Aku hanya ikut tertawa dan menanggapi sedikit-sedikit. Entah kenapa aku seperti ingin ditelan bumi.
Gusti mengajak kami makan siang di tempat yang sama dimana dulu Johan mengajak kami. Di tempat makan pun obrolan juga masih tentang pendadaran. Aku tersenyum kecut. Entah apa ungkapan itu benar, yang jelas aku tidak tersenyum dalam arti yang sebenarnya. Serius, aku bahagia akhirnya Gusti lulus juga. Namun itu berarti setelah ini aku akan berjuang sendirian melawan "kekejaman" tugas akhir.
***
Aku pulang ke rumah dengan muka ditekuk-tekuk. Yang kuinginkan saat ini hanyalah Yos. Aku ingin memeluknya dan menangis sekencang-kencangnya (mungkin sambil memukulinya). Sebenarnya aku lebih ingin bertemu bunda dan menceritakan semua. Tapi aku tak ingin bunda bertambah sedih karena tangisanku.
Aku memarkirkan sepeda sembarangan dan kaget ketika melihat pintu rumah yang sedikit terbuka. Apa mungkin ada maling masuk? Aku melangkah dengan hati-hati dan bahkan sudah siap menelepon kantor polisi terdekat bila memang itu terjadi.
Kalau di film-film seperti Home Alone tokoh utamanya akan mengambil tongkat baseball, sayang di lorong hanya ada payung. Tapi yang membuatku heran adalah ruang tamu dan ruang keluarga menjadi bersih sekali. Aku sudah bisa menebak siapa yang datang. Dan benar. Aku menemukan bunda sedang membuat jus di dapur.
"Bunda!!!" teriakku bahagia.
Aku langsung berhambur memeluknya dan menangis. Bunda bertanya apa yang terjadi dan aku menceritakan semuanya sambil terisak-isak. Bunda akhirnya mengeluarkan wejangan-wejangan maut yang lebih sering berhasil membuatku tenang. Bunda tahu dari Yos kalau hari ini Gusti pendadaran. Dan seperti yang sudah diprediksi oleh Yos bahwa aku akan menangis meraung-raung dan membakar kolam renang kalau mungkin. Jadi bundapun akhirnya mengambil cuti dan menemuiku.
Thanks to Yos, I got an awesome company.
mes New;?X)

KAMU SEDANG MEMBACA
Nagisa's Story: Don't Curse at Me, Please!
BeletrieSeberapa banyak "sebentar" yang kita lontarkan dalam sehari? Seberapa banyak "nanti" yang telah membuat kita menunda keputusan penting dalam hidup kita? Berapa sebenarnya akumulasi dari "sebentar" dan "nanti" yang sudah kita lewatkan seumur hidup ki...