"Bangun kamu Nagissaaaaaa..." suara Yos menggelegar di tengah hutan. Begema sampai membuatku merinding. Kokok burung liar terdengar besahut-sahutan sembari beterbangan berlawanan awah.
"Bangun kamu wahai anak adam yang pemalas. Bergegaslah sholat subuh dan selesaikan urusan yang belum selesai." Tiba-tiba Yos menjelma menjadi sesosok kakek tua keriput yang luar biasa menyeramkan. Dia berdiri di depanku dengan jubah putih panjang berlengan buntung yang memiliki cuping di bahunya.
Bagaimana aku tahu itu Yos? Tentu saja aku tahu. Aku hanya seyakin itu.
Tiba-tiba angin ribut mulai mengoyak. Aku menggigil dan terbangun di tempat tidurku. Mataku yang setengah terbuka melihat Yos sedang mengibas-ibaskan selimut sambil bergumam tak jelas. Mungkin dia menghafal bacaan pengusir hantu.
Aku serta merta duduk dan menumpukan tubuh ke pinggul kiri, kemudian merentangkan kaki kanan ke atas kuat-kuat dan mengenai perutnya. Dia terjungkal kebelakang dan menimpa kursi. Pasti sakit. Sesombong apapun dia mencoba membanggakan sabuk hitamnya, tapi ketika dia hanya bertumpu pada lututnya di pinggir tempat tidurku,maka sedikit dorongan akan membuatnya bertekuk punggung di bawah meja.
"Itu balasan untuk saudara jahat yang tega membangunkanku padahal aku sedang bertarung melawan zombi. Bodoh sekali."
Tidak ada sahutan. Aku melongok ke bawah dan mendapati tangannya menarik bahuku. Aku hampir terjerembab kalau bukan karena kursi berputar yang kupegang.
"Kamu gila, kamu mau bunuh adikmu sendiri?" omelku sambil menarik tangannya. Yos duduk bersila dan menatapku bingung.
"Solat subuh, bikin revisi, ketemu dosen, ke kosan Nina meminjam buku Riset Operasi, ke Platinum searching paper." Racaunya persis seperti Sybill Trelawney yang membaca ramalan tentang Voldemort.
Aku membuang nafas kesal.
"Oke aku bangun."
Yos melenggang pergi tanpa menutup pintu kamar. Ternyata dia telah mengatur suhu AC di 16 derajat. Itu menjelaskan kenapa tiba-tiba ada angin ribut yang membangunkanku dari mimpi keren. Maksudnya selama ini aku selalu menjadi pahlawan di mimpi-mipiku.
Setelah sholat subuh aku langsung berkutat dengan berkas tugas akhirku yang kini terlihat sangat memprihatinkan. Bayangkan saja, prosentase antara tinta printer dengan tinta pulpen sama. Artinya dosenku bersemangat sekali mengoreksi draft tugas akhir ini. Bahkan formulasi penghitungan hampir sobek karena dilingkari berkali-kali.
Sebelumnya, aku berkali-kali kesulitan menemukan perusahaan untuk penelitian, waktu pengerjaan selama hampir 5 bulan kuhabiskan kesana-kemari mencari perusahaan yang mau membocorkan datanya. Tapi tetap saja susah. Bahkan aku pernah sampai ke perusahaan roti di jawa barat dan setelah manager melihat begitu banyaknya data yang harus ku ambil, dia menjadi sangsi. Akhirnya aku disuruh meghubungi dosenku untuk menyesuaikan data yang akan diambil. Tapi bagaimana mungkin? Kalau sebagian data valid sedangkan sebagian data hasil generate dari software? Akhirnya aku membatalkan penelitian disana dan kebali lagi ke Jogja.
Kebetulan kenalan ayah ada yang bekerja di perusahaan susu dan meminta pertolongan beliau untuk memasukkan proposal. Karena sedikit nepotisme itulah, akhirnya aku berhasil mengumpulkan semua data. Dan sekarang adalah tantangan berikutnya, pemrosesan data. Oh ya ampun, kapan semua ini akan berakhir?
Pintu kamarku di gedor dengan kasar. Kudapati Yos sedang menendang-nendang daun pintu bahkan ketika pintu ini sudah terbuka.
"Susah banget ngetok pintu pakai etika?" aku menggeram dan memelototinya. Dia balas melotot.
"Terus aku harus harus pakai kepala?" sahutnya sambil menyundulkan kepalanya berkali-kali. Di tangannya ada nampan berisi mangkuk hampir sebesar baskom (dulu Yos bilang itu mangkuk dewa) dan segelas besar susu coklat. Aku melongok untuk melihat isi baskom itu.
Mie instan? Apa saudara kembarku ini mau aku keracunan? Di tahu kan kalau micin bisa membuatku tambah bodoh. Yos langsung menyelinap dan meletakkan baki itu di meja belajar. Dia menyentakkan kepalanya ke kiri. Tanda dia menyuruhku makan dengan paksa padahal aku sangsi setengah mati bila mie itu enak. Dan benar saja, aku memasukkan sendok kedalam mangkuk dan langsung tertelan air. Ini sih iklan mie jaman dulu banget yang mienya satu biji airnya satu baskom. Yos mengangkat dagunya sedang aku persis seperti tahanan yang disuruh makan racun. Thanks Yos, mie instan dewa ini bahkan tak perlu dikunyah. Yos memang goblok banget kalau disuruh memasak. Menjerang air saja bisa gosong. Aku heran bagaimana caranya bertahan hidup di rumah ini tanpaku.
Dia duduk tanpa dosa di kursi berputar. Maksudku kursi yang rodanya bisa berputar 360 derajat yang kalau direkaman CCTV kantor biasa jalan sendiri pas malam, entah apa namanya. Dia berpura-pura sibuk mengecek tugas akhirku sampai akhirnya dia bicara.
"Na, dengar. Ini penting." Ujarnya serius.
Aku mendongak dan menghentikan aktivitas berhargaku.
"Kuatkan dulu hatimu, kalau tidak aku jamin kamu bakal menangis."
Aku mencibir. Kalau Yos bilang aku akan menangis maka aku tak akan menangis. Sama seperti ketika Yos bertaruh nilaiku akan jelek maka aku akan belajar mati-matian agar nilaiku lebih baik darinya.
"Aku sidang bulan depan. Kamu selesaikan bulan ini. Kalau bulan depan kamu bisa maju sidang, kita bisa wisuda bareng bulan Maret."
Aku tersedak. Ya jelaslah dia mengancamku agar tidak menangis karena aku pasti akan menangis mendengar dia maju sidang sebelum aku. Tapi menyelesaikan tugas akhir bulan ini sama dengan mustahil. Aku tak yakin bisa.
"Kamu pasti bisa Na." Dia beranjak dan menepuk bahuku pelan, kemudian membanting badannya di kasur sampai mangkuk yang aku pegang hampir terbalik. Aku memelototinya tajam sambil bergumam. Yos mengusap dahinya. Dia pasti merasakan kemarahanku.
"Kamu merapal mantera?"
Astaga, Yos pasti kebanyakan nonton film Harry Potter. Tapi seandainya aku bisa merapal mantera, aku ingin memotong fase tugas akhir ini dan langsung ada di podium untuk menerima ijazah. Tapi sepertinya itu tak bisa. aku berpikir keras tentang bagaimana aku menyelesaikan tugas akhirku bulan ini sambil menghabiskan mie dari yos sampai sekuah-kuahnya. Dan jam menunjukkan pukul 9 ketika suara dengkuran Yos terdengar pelan. Kulirik kakinya yang berbulu. Pas sekali di atas meja ada lakban dan gunting.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nagisa's Story: Don't Curse at Me, Please!
Ficción GeneralSeberapa banyak "sebentar" yang kita lontarkan dalam sehari? Seberapa banyak "nanti" yang telah membuat kita menunda keputusan penting dalam hidup kita? Berapa sebenarnya akumulasi dari "sebentar" dan "nanti" yang sudah kita lewatkan seumur hidup ki...