Beberapa hari yang lalu aku ke ruang jurusan untuk bertanya tentang dispensasi. Hari itu sudah lewat dua hari dari tanggal maut. Berkasku di tolak di bagian yang mengurusi masalah kerja praktek dan tugas akhir. Pegawai bagian KP/TA menyarankanku untuk bertanya ke ketua jurusan tentang bisa atau tidaknya mendapat dispensasi. Tak perlu ditanya lagi kenapa bisa telat. Selain karena aku jadi agak malas-malasan mengerjakan laporannya (akhirnya kuakui juga), juga karena dosenku baru bisa ditemui tanggal 16. Mundur satu hari dari jadwal. Beliau jugalah yang menyuruhku untuk datang langsung menemui sekretaris jurusan meminta dispensasi.
Tapi telat tetaplah telat. Lagipula ini salahku, coba saja aku konsultasi dari awal bulan paling tidak. Tapi kemarin aku memilih untuk menundanya sampai tanggal 12. Aku tak bisa menyalahkan kejadian lain seperti dosenku yang terjebak di kepadatan jadwalnya karena itu hanya akan membuat diriku semakin kacau. Jadi sekarang jelas siapa yang harus menelan pil pahit atas kesalahannya sendiri.
Aku sempat mengirim pesan ke Gusti karena tak bisa pendadaran bulan ini.
Gusti : Tak masalah Na mau pendadaran kapan, yang penting laporan sudah di tanda tangani. Paling tidak itu sudah one step further.
Aku tetap merasa tak enak membaca balasan darinya. Meski pada akhirnya tidak bisa pendadaran bulan ini, aku tetap harus bersyukur. Masalah time-step itu seperti jerawat punggung, mungkin. Jadi setelah pecah, aku bisa bersandar dan menarik napas dengan nyaman.
Aku tetap mengikuti training yang disarankan oleh dosenku. Setelah mengikuti training selama satu hari itu, aku sadar ada masalah lain selain "waktu".
Masalahnya adalah kalkulus. Aku memang "sedikit" malas mempelajari kalkulus. Bukannya tak suka kalkulus, hanya saja aku berusaha untuk menghindarinya. Padahal untuk memahami tugas akhir ini, aku harus mau menggunakan otakku untuk memahami hitungan differensial dengan sangat baik. Tapi selama ini aku terlalu malas untuk menurunkan persamaan matematis itu. Saat melihatnya saja aku sebenarnya sudah hampir muntah. Jelas, kalau kemalasanku terhadap kalkulus berbanding lurus dengan kesulitanku memahaminya.
Aku sempat bertanya tentang masalah tugas akhirku kemarin. Dosen pengisi training tersebut menjelaskan tentang permasalahan time-step di software simulasi. Aku hanya mengangguk-angguk tanpa mampu mencerna lebih jauh kecuali kata-kata, "bila data yang digunakan perbulan maka pengaturan time-step juga perbulan". Untuk lebih jelasnya, katanya aku sebaiknya membandingkan metode Euler dan Runge-Kutta yang dari namanya saja aku sudah tahu itu pasti metode numerik paling parah yang bisa aku bayangkan.
Sampai di rumah, sebenarnya bisa saja aku mengabaikannya. Tapi kalau memikirkan kemungkinan ada dosen yang ahli tentang metode Runge-Kutta, aku akan tamat. Jadi aku memutuskan untuk mempelajarinya. Dengan mengerahkan sisa kapasitas otak untuk menampungnya, aku mulai menjelajahi internet.
Aku mulai menuliskan "Runge-Kutta" ke search engine, dan muncullah artikel-artikel tentang metode itu. Aku memilih Wikipedia dan mulai membacanya. Di paragraf pertama ada kata-kata tentang pendekatan solusi persamaan diferensial biasa. BIASA. Berarti kelanjutan artikel di bawah pasti akan baik-baik saja.
Ternyata metode itu diberi nama berdasarkan matematikawan Jerman yang mengembangkannya. Carl Runge dan Martin Wilhelm Kutta. Aku kemudian membuka biografi mereka di Wikipedia. Orang-orang hebat ini benar-benar membuatku penasaran.
Ternyata Pak Runge ini namanya bahkan digunakan untuk menamai kawah di bulan. Awesome! Mataku bergerilya mencari dimana beliau sekolah dan menemukan Berlin University. Untung di Wikipedia, kita bisa menemukan banyak link dalam satu artikel. Jadi aku langsung bisa mencari tahu tentang Humboldt University of Berlin. Dan ternyata Bapak Carl Runge satu almamater dengan Albert Einstein! Hebat. Sepertinya aku harus mencari tahu lebih banyak tentang Humboldt University of Berlin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nagisa's Story: Don't Curse at Me, Please!
General FictionSeberapa banyak "sebentar" yang kita lontarkan dalam sehari? Seberapa banyak "nanti" yang telah membuat kita menunda keputusan penting dalam hidup kita? Berapa sebenarnya akumulasi dari "sebentar" dan "nanti" yang sudah kita lewatkan seumur hidup ki...