Mungkin tidak ada salahnya kalau aku sedikit menceritakan tentang Rudi. Dia adalah tetangga, teman bermain, teman sekolah dari TK sampai SMA, sahabat karib Yos, anak angkat bunda (kalau itu bisa mendefinisikan rasa sayang orang tua kami kepadanya), dan juga cinta pertamaku. Rasanya sedikit memalukan menyebut cinta pertama di perjalananku yang agak kacau ini. Tanpa dibubuhi cerita tentang cinta pertama yang tak pernah terungkap terang-teranganpun, ceritaku hidupku sudah jelas tidak berjalan sesuai yang direncanakan. Tapi Yos bilang, disitulah letak seni kehidupan. Manusia hanya bisa berencana sedangkan Alloh yang menentukan.
Sudahkah kusebutkan kalau aku, Yos, dan Rudi selalu sekelas sampai SMA? Mau disekolah, dirumah atau di tempat bermain dialah yang selalu kutemui. Wajar bila akhirnya aku terbiasa dengan keberadaannya.
Menurutku, sikap Rudi sangatlah manis. Terlepas dari kejahilannya kepada anak-anak lain. Dulu dia sering melompati pagar rumah kami dan langsung mendarat di tanaman bunga Bunda. Sambil memetik sekuntum bunga mawar, kadang yang hampir layu atau yang masih kuncup. Kemudian diberikan padaku diam-diam. Itu yang sering dia lakukan ketika akan mengajak Yos main tanpaku. Ketika kutanya mengapa, dia hanya bilang bahwa aku secantik bunga mawar kuncup itu bila tidak marah. Akhirnya akupun termakan bualannya dan tak pernah marah bila dia main bersama Yos sampai hampir maghrib. Waktu itu kami hampir tak punya teman main lain karena anak-anak di komplek memang sebagian besar sudah dewasa. Aku selalu mengekor mereka kemanapun. Atau Rudi yang selalu mengekorku main kemanapun bila Yos sedang sakit atau dihukum tidak boleh main oleh ayah (entah kenapa dulu Yos yang begitu manis sering dihukum oleh ayah atau bunda).
Aku tak pernah tahu sampai sekarangpun, apakah Rudi tahu kalau aku pernah naksir padanya. Mungkin dia tahu, tapi kami berdua sama-sama memilih untuk menganggap itu tak pernah terjadi. Itu lebih baik. Membicarakan hal itu hanya akan membuat hubungan kami menjadi awkward. Aku tahu kalau sebenarnya Yos menyadarinya, tapi dia tak pernah menanyakannya. Pada dasarnya juga tidak ada yang salah dengan perasaanku, yang salah hanyalah posisi kami yang memang selalu ter-setting seperti ini. Bagaimana cara mengatakannya? Maksudku, dari kecil kami (meski tidak sedarah) selalu diposisikan seperti saudara.
Jujur, ketika kemarin mendengar Rudi memutuskan untuk menikah, aku kaget. Setengah mati. Apalagi setelah melihat secara langsung bagaimana tunangan Rudi. Aku bahkan berani bertaruh kalau dia tak begitu cantik tanpa make up. Bahkan Yos bilang kalau aku lebih cantik dari nya. Dari dulu Yos bilang kalau aku sebenarnya cantik kalau mau berpakaian rapi dan sedikit berdandan. Entah kenapa aku harus mengatakan ini. Tapi rasanya harga diriku teriris ketika melihat Rudi menggandeng tangan tunangannya ketika berfoto bersama kemarin. Hati kecilku berkata kalau aku lebih baik darinya. Aku, bisa saja lebih baik darinya. Ini juga hanya merupakan pembelaanku, toh satupun yang disarankan Yos tak pernah ku lakukan.
Tapi dalam tahap ini, aku ingin melihat Rudi bahagia, bersama siapapun itu. Dulu aku masih ingat ketika dia malam-malam bertanya hal-hal aneh seputar wanita. Aku langung tahu kalau dia sedang kasmaran dengan seorang wanita yang pasti bukan aku. Dia sama bodohnya dengan Yos kalau sedang kasmaran. Tingkahnya juga sama anehnya. Rudi sering mendatangiku sore-sore sambil bercerita macam-macam. Meminta saran tentang kado apa yang harus dibelikan untuknya, harus diapakan calon pacarnya itu, dan lain sebagainya. Itu semua selalu kutanggapi dengan sabar. Meski selalu saja ada bagian dalam diriku yang merasa tidak terima.
Sebenarnya dari dulu memang sikap Rudi yang selalu baik kepadaku dan kadang membuat banyak orang salah paham. Mereka berpikir kalau kami saling menyukai. Namun semua itu selalu terbantahkan ketika aku atau Rudi punya pacar. Selalu seperti itu.
Seingatku awal cerita bagaimana perasaanku berubah adalah ketika aku sakit hati dan Yos sedang dikarantina karena seleksi paskibraka tingkat provinsi (meski akhirnya dia tidak lolos ke tingkat nasional). Aku jadi lebih banyak bercerita ke Rudi, karena aku takut kena marah bila bercerita kepada bunda. Aku bercerita bagaimana seorang remaja laki-laki yang bilang kalau dia menyukaiku tapi malah membuatku sakit hati. Bukannya dia mendatangi anak laki-laki itu dan memukulinya seperti layaknya film-film, tapi dia justru menghangatkanku (aku tak tahu kata lain yang lebih tidak mendramatisir) dan memberiku beberapa petuah.
"Kalau kamu mau balas dendam, kita bisa pura-pura pacaran dan kita bisa tunjukkan kebahagiaan kita kepadanya." katanya sambil menyeringai lebar yang berakhir dengan pukulan kerasku ke lengannya.
"Dia pasti akan sangat patah hati, aku kan jauh lebih tampan darinya. Kita pasti akan jadi pasangan yang cocok. Dan dia akan menyesal telahmembuatmu sakit hati. Dia akan menangis dan berlari ke pelukan ibunya seperti kebanyakan anak manja lainnya." Lanjutnya sambil menepuk-nepuk pundakku.
Aku yang awalnya berlinang air mata akhirnya tersenyum. Entah bagaimana Rudi bisa berpikiran seperti itu. Tapi aku senang dia berkata seperti itu meski kata-katanya memang ke kanak-kanakan. Kemudian ketika SMA aku mulai memandangnya sebagai seorang remaja laki-laki yang menarik. Aku bahkan dengan sangat yakin menganggap Rudi sebagai cinta pertamaku (Ini gila! Kenapa juga aku blak-blakan mengakuinya?). Aku bahkan pernah bertanya kepada Bunda bagaimana bila pada akhirnya Rudilah yang akan menikahiku akhirnya. Bunda hanya tersenyum dan berkata, "Kalau memang begitu takdirnya, Bunda pasti akan sangat bersyukur."
Hingga akhirnya, kuliah adalah momen dimana aku mulai jauh dari Rudi. Kami mulai sibuk dengan urusan masing-masing. Tapi ketika aku pulang, dia lebih sering mengajakku main dari pada pergi berdua saja dengan Yos. Begitu juga ketika Rudi ke Jogja. Dia bahkan membelikanku barang-barang remeh baik yang aku minta maupun inisiatifnya sendiri. Seperti gantungan kunci dari kulit berwarna pink yang berumbai rumai dan pergi kemanapun yang aku inginkan.
Tante Mia bahkan pernah sekali mencandaiku, "Nagisa besok kalau sudah dewasa nikah sama Rudi saja. Kan tante sudah kenal Nagisa dari kecil. Nagisa juga sudah kenal Rudi dan keluarganya dari kecil. Karena jaman sekarang ini susah mendapatkan pasangan yang baik."
Jujur aku tersenyum senang waktu itu. Tapi ya begitulah, aku terlalu canggung untuk memikirkannya lebih jauh.
***
"Nagisa, kamu baik-baik saja sayang." Tegur Bunda.
Buku Antologi Rasa karya Ika Natassa yang kupegang jatuh ke lantai. Bunda kemudian mengusap kepalaku pelan.
"Kamu selalu bisa cerita ke Bunda kalau ada masalah, apapun itu." lanjut Bunda sambil duduk di kursi sebelahku.
Aku tersenyum. "Tidak Bunda, aku baik-baik saja. Yos belum pulang juga, jadi aku bosan."
"Apa sebelumnya Rudi sudah memberi tahumu kalau dia akan menikah?"
Aku mengangguk. "Dari dulu dia selalu memberitahuku kalau dia punya pacar, Bunda."
Bunda tersenyum. Dia memegang tanganku dan berkata, "Suatu saat kamu akan bertemu dengan seorang laki-laki yang kamu yakin bahwa dia adalah orang yang tepat untuk memulai perjalanan barumu. Mungkin dia adalah orang yang tidak kamu sangka, tapi percayalah, saat itu juga kamu akan merasa kalau semua yang telah kamu lewatkan dan melewatkanmu memang bukan yang terbaik untukmu. Dialah yang terbaik."
Aku bersungut-sungut, entah kenapa aku sedih mendengar Bunda berkata seperti itu. Mungkin sebenarnya Bunda tahu bagaimana perasaanku kepada Rudi. Dan Bunda sekarang merasa aku sedih karena cinta pertamaku akan menikah.
"Dulu Bunda sama Tante Mia sempat mengobrol tentang kamu sama Rudi. Tapi kemudian kami memutuskan untuk menyerahkan sepenuhnya kepada kalian saja. Bunda dan Tante Mia sama-sama tidak ingin ikut campur. Karena kami tahu, kalian berdua sudah besar dan pasti lebih bijak dalam menentukan segala sesuatu, jangan sampai kalian merasa terpaksa."
"Iya lah Bunda, toh sekarang calon istrinya Rudi juga lulusan Australia. Keren, apalah kalau dibandingkan sama aku." Ujarku hampir menangis. Di saat-saat seperti ini tugas akhir yang belum selesai benar-benar terasa seperti bongkahan es yang harus dipikul di atas kepala.
"Eh, tidak boleh seperti itu. Kan berkali-kali Bunda sudah bilang, kita harus selalu bersyukur dan tidak boleh iri dengan orang lain. Kita tidak pernah tahu rintangan apa yang sudah mereka lalui untuk mecapai kesuksesannya. Juga yang telah mereka korbankan. Kalau kita tidak bisa mendapatkan sesuatu, itu artinya kedepannya akan ada yang jauh lebih baik sedang menunggu." Lanjut bunda lembut.
7?6*
KAMU SEDANG MEMBACA
Nagisa's Story: Don't Curse at Me, Please!
Ficción GeneralSeberapa banyak "sebentar" yang kita lontarkan dalam sehari? Seberapa banyak "nanti" yang telah membuat kita menunda keputusan penting dalam hidup kita? Berapa sebenarnya akumulasi dari "sebentar" dan "nanti" yang sudah kita lewatkan seumur hidup ki...