Aku masih sangat ingat tentang janjiku pada diri sendiri untuk menonton film sepuasnya setelah semua itu berakhir. Sekarang, aku sedang berada di ruang keluarga di rumah orang tuaku dan menonton The Walking Dead sambil makan mie goreng dengan saus yang sangat banyak sampai menyerupai usus-usus mini. Awalnya aku tidak pernah ingin menontonnya tapi karena beberapa hal aku justru memasukkannya ke daftar film yang "harus" di tonton. Biar aku ceritakan bagaimana aku yang super penakut ini akhirnya addicted terhadap film itu.
Awalnya aku menontonnya karena Yos menantangku. Harus kuakui kalau aku hampir saja muntah dan merasa sangat pusing ketika aku melihat beberapa adegan yang, dikenali oleh amigdala, minta disensor. Aku benci sekali karena setiap kali aku memejamkan mata setelahnya, zombie-zombie itu seperti berkeliaran di otakku dan aku malah bermimpi perang melawan zombie setelahnya. Aku menonton serial itu kedua kalinya ketika dirumah sendiri hanya karena penasaran bagaimana rasanya dulu Yos suka sekali menonton serial itu gelap-gelap.
Hasilnya aku benar-benar tidak tahan karena entah mengapa seperti muncul bau busuk dan berkali-kali aku mendengar bunyi duk duk duk keras dari luar. Aku berlari ke kosan Nina waktu itu. Meski hari berikutnya aku tahu kalau bau busuk itu berasal dari kue pai kadaluarsa yang ada di meja. Yang ketiga kali aku menontonnya karena malah merasa penasaran dengan jalan ceritanya. Apa Carol yang diusir dari penjara masih hidup, karena sepertinya di akhir episode aku melihat mayat dengan wardrobe seperti yang dipakai Carol. Kemudian setelah itu aku jadi rutin menontonnya. Mau tidak mau karena benar-benar penasaran dengan jalan ceritanya.
Aku bahkan sudah bisa memakan biskuit sambil nonton untuk yang kelima kalinya. Percaya atau tidak, aku yang dulunya paling malas nonton film thriller sudah bisa nonton The Walking Dead untuk yang ke sepuluh kalinya sambil makan mie goreng pedas dengan banyak sekali saus. Aku juga tidak perlu lagi lari kekosan Nina atau lari kemanapun hanya karena bau busuk yang kadang tiba-tiba muncul.
Yos yang baru saja pulang dari kantor langsung menghempaskan tubuhnya di sebelahku. Dia langsung menarik bantal dan mendekapnya. Bahkan dengan kaki yang belum dicuci, Yos menyilangkan kakinya dan dengan sengaja menindih kakiku. Aku meliriknya dengan kesal. Tapi dia tak berkutik. Tunggu, apa dari dulu Yos selalu mendekap bantal ketika menonton film thriller?
"Kamu pasti tidak sadar kalau kaki kamu bau." Sungutku.
"Masak sih. Tiba-tiba dia menarik kakinya mendekat sampai hampil menempel ke bibirnya. Membuatku bergidik.
"Mana ada, wangi begini." Ujarnya, kemudian menyilangkan kakinya sampai jari-jarinya menyentuh celanaku. Sontak aku bergeser karena jijik. Dia tertawa menang.
"Mandi sana! Baumu seperti laki-laki tua." Yos diam tak bergeming dan malah menarik semanguk mie instan yang aku masak ke dekapannya. Akhirnya aku menyerah.
Yos tiba-tiba memutar badannya dan menatapku lekat-lekat.
"Gimana rasanya jadi pengangguran?" Matanya berbinar jahat.
Aku melotot. Pertanyaan macam apa itu? Dia benar-benar minta disiram dengan balsem. Tapi aku hanya menarik napas.
"Benar-benar tidak seru. Aku lebih suka kuliah."
Yos menarik napas dalam. Matanya menatap lurus ke layar televisi.
"Iya Na, paling enak jadi mahasiswa. Makanya, kalau ada waktu harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Menganggur itu memang membosankan, tapi kalau kamu cerdas kamu pasti bisa menikmatinya selagi masih sempat." Lanjutnya.
Kata-kata Yos hampir sama dengan yang dikatakan oleh tokoh Gammie di Diary of The Wimpy Kid ketika ia menasehati Greg Heffley. Tentu saja aku tahu karena aku sudah membaca hampir semua buku koleksinya. Jadi mulai sekarang, dia tidak akan bisa berpura-pura cerdas lagi di depanku.
Kulihat Yos tiba-tiba melotot. Aku menoleh ke arah televisi dan mendapati gambar paling mengerikan dalam sejarah The Walking Dead.
"Perasaan film ini makin lama, makin parah sih."
"Biar penonton tidak bosan, biar tidak melulu perang dengan zombie, sekarang intinya sedang perang dengan manusia."
Aku hampir saja beranjak karena tak tahan melihat adegan semacam itu sebelum akhirnya Yos berkata.
"Kerja juga begitu, tiap hari perang sama manusia. Kalau tidak sama klien, ya sama bos. Atau malah sama anggota tim."
Karena aku tahu kemana arah pembicaraan ini, aku mulai mendengarkan dengan serius.
"Manusia memang kadang lebih parah dari zombie. Seringnya malah. Kelihatannya saja mereka baik di depan kita, tapi kita tidak pernah tahu apa yang mereka rencanakan atau kapan mereka menusuk dari belakang."
Aku mengangguk-angguk setuju. Masih ingat dengan jelas bagaimana orang yang mengaku teman dekatku malah membawa masalahku di sebuah forum mahasiswa. Padahal sebenarnya bisa saja dia memberitahuku sebelum adanya evaluasi. Tapi dia dengan entengnya malah memberi tahu saksi utama, maksudnya temanku yang mendengar langsung keluhan dari mahasiswa lain, untuk membahasnya di forum evaluasi. Itu sedikit keterlaluan. Seolah-olah ia sengaja mempermalukanku di depan umum. Bahkan sampai sekarang aku masih sakit hati bila memikirkannya. Tapi, sudahlah, lagi pula itu masa lalu.
"Sebenarnya hambatan yang kita lalui selama masih mahasiswa itu hanya sepersekian persen dari kehidupan yang sebenarnya. Karena ketika kita harus mulai bertanggung jawab sepenuhnya untuk kehidupan kita, kita akan menemukan hambatan-hambatan lain yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Tapi itulah serunya masa depan, ketika kamu berhasil melewati suatu rintangan kamu akan merasa semakin matang di setiap tahapnya." Lanjut Yos.
Yah, aku tahu itu kata-kata bunda. Pasti bunda juga pernah menasehatinya dengan kata-kata yang hampir sama.
"Terus, kamu juga harus menjaga baik-baik teman yang kamu punya ketika masih kuliah. Karena di lingkungan kerja, beberapa orang bilang kalau mereka susah menemukan teman yang setulus dan segila teman kuliah mereka. Orientasi mereka kan sudah berbeda."
Aku mengangguk-angguk. Sepertinya hari ini Yos memang agak lelah. Terbukti dari omongannya yang panjang lebar.
"Jadi kamu rencana mau bagaimana setelah lulus? Maksudku rencana yang sudah dipikirkan matang-matang."
Aku mengedikkan bahu.
"Yah, itu nanti saja deh, yang penting kamu wisuda dulu. Tapi yang jelas jangan gampang down seperti pas mengerjakan tugas akhir."
Yos mengelus-elus kelapaku dan berubah menjadi cengkeraman di rambut ketika dia bangkit. Aku menjerit.
"Yos!" Ujar Bunda dari ruang sebelah. Meski Bunda tak melihat kami tapi Bunda bisa tahu kalau Yos sedang memperlakukanku dengan sadis.
Kalau memikirkan apa yang dikatakan Yos barusan, sepertinya mulai sekarang aku harus bersiap-siap untuk the next step of the life. Mungkin pijakan awal di sana tidak seperti yang selama ini aku bayangkan.
Yos keluar 10 menit kemudian tanpa repot-repot mandi. ia bahkan tidak mau repot-repot memakai apapun (maksudku hanya boxer dan kaos oblong yang sobek di bagian ketiaknya). Ketika mengernyit, matanya malah berkilat licik dan langsung menggamit kepalaku di bawak ketiaknya. Aku menjerit tapi Yos malah semakin membenamkan kepalaku.
"Yos!" teriak Bunda. Kali ini Ayah juga ikut meneriaki dari ruang atas.
Dia melepaskanku setelah menjitak kepalaku dua kali.
"Kamu pengen aku makin bolot!" ujarku memulai pertengkaran.
"Eh lihat itu kamera yang ingin kamu beli waktu itu."
Aku mendongak. Televisi sedang menyangkan iklan kamera DSLR merek paling terkenal dengan seri paling baru, "Aku mau itu."
"Nabungdulu." Ujar Yos cuek.

KAMU SEDANG MEMBACA
Nagisa's Story: Don't Curse at Me, Please!
Fiction généraleSeberapa banyak "sebentar" yang kita lontarkan dalam sehari? Seberapa banyak "nanti" yang telah membuat kita menunda keputusan penting dalam hidup kita? Berapa sebenarnya akumulasi dari "sebentar" dan "nanti" yang sudah kita lewatkan seumur hidup ki...