Aku pergi ke bank untuk mengganti buku rekening yang sudah hampir habis. Tadi pagi bunda menelepon dan berkata kalau bunda sudah mengirimiku uang untuk keperluan wisuda. Katanya, aku juga boleh membeli apapun asalkan masih sesuai dengan kebutuhan. Padahal sebelum aku pulang ayah memberiku sejumlah uang yang lebih dari cukup untuk membayar wisuda. Kalau Yos juga melakukan hal yang sama, sore ini juga aku akan pesan tiket dan liburan di Bali selama seminggu.
Hari ini bank milik negara yang satu ini ramai sekali. Maklum saja, sebentar lagi hari raya. Sebenarnya aku ke kampus juga hanya untuk mengurus wisuda dan kembali lagi ke rumah setelah semuanya beres. Tak mungkin aku melewatkan hari raya bersama keluargaku.
Aku menunggu di dekat pintu karena semua kursi dipenuhi oleh nasabah. Kulihat seorang kakek berusia 80an sedang berbicara dengan salah satu pegawai dari customer service. Mungkin kakek itu mencoba untuk mengambil beberapa jumlah uang di tabungannya karena jawaban dari customer service itu seperti ini,
"Mohon maaf Pak, tapi uang yang ada di rekening bapak sudah tidak bisa diambil lagi karena sudah mencapai batas minimal."
Kakek tua itu hanya mengatakan,
"Oh, kalau begitu saya minta maaf."
Kakek itu kemudian pergi meninggalkan bank beberapa saat kemudian. Beliau berpakaian sangat rapi. Dan aku yakin itu adalah baju batik terbaiknya yang juga digunakan untuk pergi kondangan. Aku hanya mampu memandanginya berjalan menjauh.
Dalam hati aku bertanya, bukankah batas limit dari bank nasional ini hanyalah sekitar seratus ribu? Kalau sampai tidak bisa diambil lagi berarti uang yang ingin diambil kakek itu paling besar hanya seratus ribu? Kakek itu terlihat kecewa ketika meninggalkan customer service. Memang sudah tradisi kalau orang tua memberikan uang saku pada hari raya untuk anak sekolah. Ingin rasanya aku berlari menghampirinya dan bertanya apakah beliau benar-benar membutuhkan uang tersebut. Tapi ada sesuatu yang membuatku mengurungkan niatku. Aku takut kakek itu tersinggung dengan apa yang aku lakukan.
Dunia ini memang terkadang terlihat sangat ironis. Beberapa orang menganggap seratus ribu itu "hanya cukup untuk makan" dan sebagian lagi menganggap "anugrah". Kadang beberapa orang malah mengeluarkan uang sebanyak itu hanya untuk menbeli bahan bakar yang menyumbang kebocoran ozon. Termasuk aku dan Yos juga. Kami kadang lupa kalau ada orang yang seharusnya menerima uang yang kami hambur-hamburkan.
Uniknya fenomena di negeri ini, banyak orang yang sebenarnya masuk kategori tidak mampu tapi mereka masih tetap berusaha dengan kemampuannya untuk menghasilkan uang dengan tidak meminta-minta. Aku pernah bekali-kali melihat orang yang sudah sangat tua berjualan koran, bayam, asongan, atau meja kayu.
Ironisnya, banyak juga orang yang sebenarnya diberikan anugerah fisik yang luar biasa namun memilih jalan yang tidak seharusnya untuk mencari uang. Parahnya lagi, banyak orang yang meminta-minta dan mengamen dengan memaksa. Mereka akan marah-marah bila tidak diberi. Ketika aku dan bunda pergi ke pasar waktu itu ada pengamen yang diberi uang 200 rupiah dan malah-marah, katanya,
"Dari pada cuma segini mending tidak usah."
Sombong sekali. Benar-benar sombong luar biasa. Tapi anehnya dia tetap menyimpan uang recehan itu. Bunda hanya tertawa, sedangkan dalam hati aku memaki. Kata bunda, wajar bagi orang-orang seperti mereka bertingkah seperti itu, mereka selalu merasa kalau kami lebih beruntung dari mereka. Tapi tetap saja, kalau dia bertingkah sombong seperti itu, bagaimana dia mau menaikkan taraf hidupnya sendiri? Atau jangan-jangan taraf hidupnya malah sudah lebih baik dari kami.
Kata orang, itulah kenapa kamu harus jadi sarjana. Setidaknya bila kamu terlalu malas untuk memikirkan kesuksesanmu sendiri, kamu harus melakukan sesuatu untuk mereka. Kalau kamu malas sukses padahal kamu mempunyai kesempatan yang luar biasa, setidaknya kamu harus memikirkan kewajibanmu terhadap mereka, pikirkan apa yang harus kamu kerjakan untuk mereka dan hasilkan sesuatu untuk mereka. Kamu harus ingat mereka yang tidak memiliki kesempatan sebaik dirimu. You were born to make a better society.
Aku akhirnya mendapat tempat duduk setelah sepuluh menit berdiri. Di sampingku, dua orang ibu-ibu dengan gaya yang sangat glamour sedang berbicara dengan penuh semangat, meski aku tidak bermaksud, tapi aku tetap saja bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.
"Susah ya bu, sekarang semuanya makin mahal, belum lagi kalau nanti pemerintah jadi menaikkan BBM. Orang belum naik saja harga di pasar sudah naik. Kemarin beli daging di pasar sekilo saja mahalnya minta ampun. Ditawar tidak boleh, katanya sudah harga pas. Benar-benar sudah kayak di supermarket."
Aku tersenyum dalam hati. Aku juga kadang heran pada orang yang kadang menawar mati-matian ketika berbelanja di pasar tapi begitu royal menghabiskan uangnya untuk membayar barang-barang yang dibelinya di minimarket waralaba yang jelas-jelas mengambil keuntungan lebih dari 10 persen. Bukankah tidak konsisten ketika kita menawar untuk mendapatkan harga 500 rupiah lebih murah dari harga yang ditawarkan padahal dia mampu membayar 10 ribu untuk pajak pertambahan nilai di minimarket?
Kadang kasihan juga bila melihat tukang becak berjajar di dekat halte busway, stasiun, depan rumah sakit, atau bahkan mall-mall. Meski aku tak tahu apapun, tapi gurat kesedihan karena susahnya hidup terkadang terlihat jelas dari wajah mereka yang lelah.
Pernah dulu bunda meminta seorang tukang becak mengantarnya ke rumah sakit yang jaraknya hanya kurang dari 300 meter dari mall. Aku bahkan tak tahu siapa yang akan bunda jenguk waktu itu, aku hanya ikut naik tanpa bertanya. Melihat tukang becak yang sudah tua itu saja rasanya aku tak ingin naik dan berjalan kaki. Kasihan melihat orang yang hampir seumuran kakekku harus mengayuh becak yang dinaiki aku dan bunda. Ketika sampai di depan rumah sakit bunda memberi uang yang cukup banyak untuk orang itu tanpa bertanya berapa ongkosnya.
"Kadang orang seperti itu malah tidak mau menerima uang dari kita secara cuma-cuma. Bunda kan tidak tiap hari naik becak, jadi bolehlah sekali-kali bayar dengan uang lebih." Bunda menjawab kebingunganku.
Aku mengangguk-angguk.
"Memangnya Bunda mau jenguk siapa? Kok tadi di rumah tidak cerita."
"Bunda cuma mau beli betadine di apotek umum."
Mulutku menganga lebar. Sebenarnya obat itu bahkan bisa dibeli di toko dekat rumah. Tapi bunda memilih untuk naik becak dan pergi ke rumah sakit. Sama seperti ayah yang kadang membeli bakso dari tukang bakso keliling yang setiap hari lewat depan rumah meski tahu kalau rasa baksonya hambar. Ayah juga kadang membeli bensin eceran ketika naik motor di warung bapak tua di ujung perempatan menuju kantornya.
Meski aku juga pernah kesal karena tukang becak menyuruhku membayar lebih dari seharusnya. Tapi sejak hari itu aku berpikir, karena aku tak setiap hari naik becak, aku membayar dengan jumlah uang yang dia minta. Bila seluruh penumpang hari itu menawar, semoga dia bisa mendapat keuntungan dari uang yang diterimanya dariku.
Terkadangmenjadi penonton itu menyenangkan. Aku hanya perlu merubah telingaku menjadispons dan menyerap segala hal yang ada di sekitarku meski aku tak bermaksuduntuk begitu. Hanya dengan duduk di sebuah bank yang ramai, terkadang kitamendengar suatu hal yang seharusnya tidak kita dengar. Tapi dari situlah orangbisa mengambil pelajaran dari tindakan orang lain.?*

KAMU SEDANG MEMBACA
Nagisa's Story: Don't Curse at Me, Please!
Художественная прозаSeberapa banyak "sebentar" yang kita lontarkan dalam sehari? Seberapa banyak "nanti" yang telah membuat kita menunda keputusan penting dalam hidup kita? Berapa sebenarnya akumulasi dari "sebentar" dan "nanti" yang sudah kita lewatkan seumur hidup ki...