Kesempatan Kedua

9 0 0
                                    

Kenapa skripsi atau tugas akhir seringnya menjadi cerita yang menarik ketika kuliah? Karena ketika skripsi orang pendiam pun berubah menjadi pengumpat. Skripsi itu bisa menjadi ladang dosa atau ladang hikmah. Tergantung bagaimana cara kita menyikapinya. Bagiku, berkali-kali aku berkata pada diriku sendiri untuk menjadikannya ajang instrospeksi diri kenapa aku masih saja jalan di tempat sementara yang lainnya sudah sampai melesat jauh seperti roket.

Tapi parahnya, sekarang aku benar-benar tambah sering mengumpat. Bila satu umpatan bisa membunuh satu orang, maka akumulasi umpatan yang keluar dari mulutku selama dua bulan terakhir ini mungkin sudah bisa menandingi hebatnya senjata pemusnah masal. Mungkin ini efek terlalu sering bertemu Gusti karena dia adalah seorang dirty babbler profesional yang bisa mengatakan apapun bila sedang marah-marah. Walau bagaimanapun teman bisa mempengaruhi bagaimana kita bersikap.

Bulan ini, genap bulan ke-13. Angka keramat bagi sebagian orang.

Seharusnya, tugas akhirku bisa saja "dieksekusi paksa" dan dinyatakan tidak bisa dilanjutkan karena tidak ada progress. Tapi aku bersikeras akan menyelesaikannya bulan ini, atau paling tidak bulan depan. Dosenku dan pihak jurusan pun mengijinkannya. Ini seperti kesempatan kedua bagiku.

Karena Bu Feti sedang sibuk, beliau akhirnya memberikan ijin untuk bimbingan di rumah jam 5 sore. Aku meminta Gusti untuk mengantar karena ketakutanku yang luar biasa menyadari hasil simulasi yang masih juga tidak sesuai. Rasa-rasanya aku seperti ingin mengompol karena hujan dan takut.

Aku menunggu Bu Feti di ruang tamu beliau sedangkan Gusti ada di luar. Dosen pembimbingku keluar sepuluh menit kemudian.

"Bagaimana? Sudah selesai?"

"Sudah bu." Jawabku singkat tanpa mengatakan kalau hasil simulasiku masih kacau dengan harapan beliau tidak akan membuka laporan pada bagian report.

Tapi sepertinya koalisi keberuntungan dan nasib baik belum berpihak kepadaku. Beliau akhirnya menanyakan kenapa hasil simulasinya masih sama saja seperti kemarin. Sebenarnya aku ingin sekali menjawab dengan, "Saya tidak tahu pastinya Bu, padahal saya sudah mengerjakannya dari awal. Atau memang sepertinya hasilnya seperti itu."

"Model simulasi ini yang mengerjakan kamu kan?"

Duuuaarr!!! Suara petir menyambar dari luar terdengar sangat keras. Sampai-sampai kaca rumah pun ikut bergetar. Ini yang disebut dengan momentum. Aku hanya diam. Otakku seperti membeku. Pertanyaan Bu Feti barusan benar-benar lebih buruk dari repetan preman yang ingin memalak uang sakuku. Jadi, sekarang aku dituduh menggunakan jasa pengerjaan skripsi?

"Maksud saya. Karena kamu yang tahu kondisi sistem yang sebenarnya, dan kamu juga yang membuat simulasinya, berarti kamu tahu kalau ada yang salah kan. Mungkin saja ada hitungan yang salah atau input yang salah di model simulasimu." Lanjut beliau.

Aku menelan ludah. Dosenku benar. Tentu saja ada yang salah. Tapi aku benar-benar tak tahu apa yang salah. Bu Feti sepertinya kasihan sekali melihatku yang sudah berulang kali revisi. Akhirnya beliau menyarankan untuk menemui dosen simulasi yang dulunya merupakan kepala laboratorium tempatku menjadi asisten. Setelah berterimakasih pada Bu Feti, kami pulang.

***

Aku dan Gusti pulang dengan muka di tekuk-tekuk. Ini sama-sama bukan hari yang baik untuk kami. Aku revisi lagi dan dia gagal ujian bahasa Inggris. Jadi ternyata siang tadi Gusti seharusnya ujian bahasa Inggris untuk syarat mendaftar magister. Tapi karena dia lupa meletakkan kartu ujiannya, dia akhirnya telat dan tidak diijinkan masuk.

Sepertinya bimbingan tugas akhir barusan berhasil membakar 1000 kkal dalam tubuhku. Aku merasa lemas dan sangat lapar. Kami akhirnya makan di sebuah warung di pinggir jalan. Piring kami sangat penuh. Mungkin itu normal buat Gusti, tapi aku berarti makan dengan porsi dua kali lipat. Ponselku bergetar tepat ketika sesendok penuh sayuran masuk ke mulutku. Aku hampir saja tersedak ketika tahu siapa yang mengirim pesan.

Bu Feti : Tolong semua persyaratan diurus dan revisinya dikerjakan dengan sebaik-baiknya ya mba, jadi nanti ketika bimbingan lagi revisinya tinggal sedikit.

Aku langsung menelan sayuran yang ada di mulut tanpa mengunyahnya dengan baik. Untung sayuran ini agak overcook jadi masalah pencernaan aman untuk sementara. Kecuali kalau tiba-tiba ada hal buruk terjadi seperti dosen pembimbing Johan yang tiba-tiba harus ke luar negeri. Aku benar-benar kaget menerima pesan dari bu Feti. Jalan kesuksesan itu memang muncul ketika kita hampir saja menyerah.

Motivation's condition: fully charged.

***

Aku menemui kepala laboratorium yang juga merupakan dosen simulasi komputer di jurusanku. Wajahku pasti terlihat memelas sampai-sampai dosenku tertawa. Sebenarnya malu juga menemui beliau, karena aku adalah mantan asisten laboratorium yang belum lulus juga. Tapi apa peduliku tentang masalah pertarungan mental dan harga diri? Sepertinya mereka sudah sama-sama retak.

Sebelumnya aku sempat dimarahi karena mengirim pesar jam 4 subuh. Wajar sih, maksudku, siapa sih yang tidak marah kalau ada mahasiswa kurang ajar yang meneror dosen dengan pesan-pesan bahkan bahkan sampai jam 4 pagi.

Aku mengeluarkan laptop dan langsung membukanya dengan tergesa. Segera kuceritakan bagaimana masalah kejanggalan yang selama ini menghantui. Setelah aku berbusa menceritakan semuanya, dosenku kemudian mencoba untuk membantuku melihat esensi model simulasi yang aku kerjakan. Beliau bahkan membuat sebuah copy model dengan skema yang coba beliau definisikan sendiri. Namun tetap saja hasilnya sama.

"Atau jangan-jangan metode matematis ini tidak sesuai bila digabungkan dengan metode simulasi meski hanya untuk melihat bagaimana perubahan variabelnya?"

Dosenku menoleh. Aku pun bahkan terkejut mendengar kata-kata semacam itu keluar dari mulut bodohku.

"Mungkin."

Aku mencelos mendengar kata-kata dari dosenku. Pupus sudah impian ikut konferensi System Dynamcis di Belanda bulan Juli besok. Tapi apa yang tidak mungkin dari penggabungan dua metode? Air dan minyak yang katanya tidak akan menjadi satu pun bida disatukan dengan emulsifier. Oke, itu tidak perbandingan yang sangat tidak apple to apple.

Beliau akhirnya menyarankanku untuk mengikuti training software yang diadakan di laboratorium. Katanya sih pengajarnya masih muda, tampan, lulusan Norwegia dan sudah lama bekerja di perusahaan software System Dynamcis. Semua itu bertambah baik karena beliau menyuruhku untuk membayar dengan jumlah yang sama seperti asisten aktif meski aku sudah pensiun dari jaman kapan. Aku tahu, beliau pasti merasa sangat kasihan melihat nasibku sekarang ini. Yeah, sometime I pity myself.

Tapi masalahnya training itu diadakan dua minggu lagi, sedangkan sekarang sudah tanggal 14. Kalau aku masih belum juga menyelesaikan itu besok, tak akan ada yang namanya jadi sidang bulan ini, dan besok pagi, aku sudah harus konsultasi lagi.

Masak aku harus menunda sidang lagi? Itu artinya beban mental yang selama ini menghantui akan tambah mengerikan. Yang benar saja, jangan sampai nasib kuliahku bobrok sebobrok-bobroknya.

Ya ampun aku baru ingat! Kan kepala laboratorium yang sebelumnya sedang tugas belajar di Australia. Beliau pasti jago masalah ini.

Tanpa basa-basi sedikitpun, aku langsung bertanya tentang model tugas akhirku yang kacau. Dosenku yang super baik akhirnya memintaku untuk mengirimkan soft copy model simulasi yang aku buat. Beliau menjelaskan beberapa hal yang mungkin saja menjadi dalang kekacauannya. Ternyata benar. Yang salah, yang membuat model simulasiku memiliki hasil tak jelas, adalah karena aku tidak men-setting time step simulasi dengan benar.

Aku tertawa sampai perutku sakit menyadari betapa ironisnya otakku. Memang "waktu" adalah dalang dari setiap drama dalam sinetron tugas akhir ini. Aku berkali-kali mengecek hasil simulasi dari model yang aku buat. Sepertinya aku bisa saja menyelesaikan laporan tugas akhirku dalam waktu satu jam. Yakin demi apapun.

Nagisa's Story: Don't Curse at Me, Please!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang