Wisuda

25 1 0
                                    

Hari ini aku wisuda. Sebelumnya Ratna mengirimiku pesan bahwa dia ada meeting mendadak dan tidak bisa datang ke acara wisuda. Johan dan Dira yang juga tidak bisa datang, mengirimiku ucapan selamat dengan heboh.

Yos, saudaraku tercinta, bahkan juga tidak datang karena dia malah training ke Singapura. Aku menangis ketika mendengar telepon dari Yos tadi malam. Dia bilang dia tidak bisa datang dan dia sangat sedih. Itu mendadak sekali, sebelumnya dia bilang dia akan datang pas malam sebelum aku wisuda dan akan mengantarkanku sampai ke kampus. Katanya kabar tentang training yang akan diadakan juga mendadak. Meski itu sedikit tak masuk akal, tapi mau bagaimana lagi. Dia berjanji membelikanku apapun yang aku inginkan meski itu akan menghabiskan tabungannya. Aku sedikit kesal karena bahkan saudaraku sendiri tidak bisa datang. Tapi kata bunda, aku tidak boleh egois.

Temanku yang saudaranya membuka salon di dekat kampus dengan rela datang ke rumah untuk meriasku. Awalnya aku sudah bertekat untuk pergi tanpa riasan yang tebal. Tapi kata bunda aku pasti akan terlihat mengerikan ketika difoto nanti. Dan ketika aku tua dan punya anak, aku pasti akan menyesalinya.

Berkali-kali aku perpesan pada Addis (saudara temanku yang meriasku) untuk mengurangi beberapa elemen make up yang baunya membuatku hampir muntah. Dia kemudian berjanji akan membuat make upnya setipis mungkin asal aku tidak heboh melihat ke kaca sebelum selesai. Aku menyetujuinya. Meski ketika aku berkaca aku seperti melihat bayangan Tamara Blezinsky, tetap saja aku merasa aneh.

Ketika prosesi wisuda, jantungku berdegup super kencang menunggu namaku di panggil. Kalau dulu aku selalu berharap ada badai Katrina atau apapun yang bisa menghancurkan kampus, sekarang aku bahkan berdoa supaya tidak gerimis dan berhasil mempertahankan make upku sampai di studio foto! Ini benar-benar luar biasa.

Setelah upacara wisuda selesai, aku langsung menghampiri ayah dan bunda yang duduk di barisan kursi paling belakang. Bunda sepertinya melihatku dan langsung mengacungkan sebuket bunga mawar besar. Aku kemudian mendatanginya dan memeluknya. Rasanya aku lega sekali akhirnya perjuanganku di bangku kuliah telah selesai. Ayah menepuk-nepuk pundakku dan mengucap syukur berkali-kali. Kalau tak ingat bahwa nanti aku masih harus berfoto di studio, aku pasti sudah menangis.

Edo datang dengan membawa bunga persis seperti yang aku beli waktu itu, hanya saja warnanya berbeda. Dia langsung memberikanku selamat kemudian menyalami ayah dan bunda. Dia juga terlihat lega. Aku jadi merasa sedikit menyesal karena dulu hampir saja aku tak datang di upacara wisudanya.

Nina, Monic, dan beberapa teman lainnya mendatangiku dan mengucapkan selamat. Jujur aku bahagia. Meskipun sempat skeptis tentang wisuda, tapi harus kuakui, wisuda itu rasanya super amazing. Bunda dan ayah mengajakku untuk keluar karena ini sudah hampir jam 12.30 tapi aku masih menunggu Gusti yang katanya mau datang.

Aku : Kamu dimana?

Gusti : Aku di kontrakan Na, kenapa?

Aku merasa seperti baru saja tersambar petir ketika membaca balasannya.

Aku : Kamu datang ke wisudaku tidak?

Gusti : Pasti aku akan datang Na. Bagaimana persiapannya masih kurang apa saja?

Aku mengerucutkan bibir. Akan? Akan itu adalah kata yang digunakan untuk kejadian yang baru terjadi di waktu berikutnya bukan yang sedang terjadi atau telah terjadi.

Aku : Aku wisuda HARI INI, kamu sudah aku kasih tahu dari tanggal 29 Mei. Pesan yang aku kirim itu TERKIRIM dan sampai sekarang belum aku hapus tapi tidak ada balasan dari kamu

Berikutnya, rentetan pesan Gusti masuk ke ponselku. Tapi aku memilih untuk mendiamkannya.

Entah kenapa aku hampir menangis menerima pesan dari Gusti. Ada rasa seolah tidak terima. Ya bagaimana sih menjelaskannya? Dia datang ke pernikahan temannya yang rumahnya sangat jauh sampai harus naik kereta antar kota antar provinsi. Kenapa ke kampus yang jaraknya tidak ada 2 km saja dia tidak bisa?

Nagisa's Story: Don't Curse at Me, Please!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang