Aku mengambil undangan wisuda bersama dengan angkatan baru yang sedang registrasi. Mereka semua memakai setelan hitam putih untuk foto kartu mahasiswa. Beberapa dari mereka melirikku karena memakai pakaian dengan warna yang agak mencolok. Yah, di lautan hitam putih ini, warnah hijau toska pun jadi warna yang sangat mencolok.
Aku membawa map berisi syarat pendaftaran lengkap dan mengantri di loket yang sama dengan mereka. Berkali-kali beberapa orang yang ada di depanku menengok. Mungkin mereka penasaran bagaimana hasil akhir produk yang sudah digodok selama hampir enam tahun di universitas ini. Padahal bisa saja mereka melihatku sebagai mahasiswa baru yang salah kostum. Mukaku juga tak kalah muda dengan mereka.
Akhirnya giliranku tiba.
"Ya?" ujar bapak dari dalam loket singkat.
"Mau daftar wisuda Pak."
Mahasiswa baru yang ada di sebelahku menoleh. Entah aku harus bangga atau malu dilihat seperti itu.
"Di loket nomor 8. Disini hanya khusus mahasiswa baru."
"Ya?" tanyaku agak keras.
Aku langsung mundur dengan muka yang tak bisa di jelaskan. Jadi ini kenapa dari tadi mereka memperhatikanku. Ketika sampai di loket nomor 8, aku bisa melihat tulisan "PENDAFTARAN WISUDA" yang sangat besar.
Jadi, malu itu seperti sudah tersenyum sombong pada angkatan baru tapi ternyata kita salah antri loket. Bahkan ketika aku selesai mengurus semua administrasi berkas untuk pendaftaran, mahasiswa baru yang ada di loket tujuh, yang setahuku tadi mengantri di loket 13, masih memperhatikanku. Aku akhirnya melempar pandang muak sambil berdecak. Entah kenapa aku melakukannya. Kupikir boleh saja melakukan suatu hal yang sangat menyebalkan sebelum angkat kaki dari kampus ini. Ketika mereka berpaling aku tertawa dalam hati.
Ternyata mengurus administrasi untuk wisuda itu cepat sekali. Aku merasa masih malas untuk mengayuh sepeda dan kembali ke rumah. Akhirnya aku menuju ke perpustakaan pusat. Aku ingin ke sana dan melihat penderitaan anak-anak lain yang sedang mengerjakan tugas akhir. Apakah rasanya se-amazing yang kubayangkan? Aku mengambil tempat di sofa paling depan dan langsung membuka laptopku.
Beberapa menit kemudian wajah-wajah yang aku kenali sebagai adik angkatan mulai muncul. Yang membuatku tersenyum adalah meskipun mereka terlihat baik-baik saja, tapi kantung di bawah mata menjelaskan kalau mereka sedang survive. Mereka menyalamiku dan bertanya,
"Lho, sedang apa?"
"Mengerjakan tugas akhir nih." Ujarku sambil tertawa.
"Bukannya tinggal wisuda?" Kata salah seorang dari mereka.
Aku tertawa lebih keras. Seolah berusaha membersihkan rongga trakhea dengan karbondioksida. Mereka ikut tertawa. Kulihat mereka kemudian mengambil tempat di pojok belakang dekat rak buku-buku teknik yang tebalnya lebih dari lima cm. Beberapa dari mereka kulihat langsung mengambil beberapa buku tebal dan membawanya ke meja. Aku tersenyum salut. Mereka jelas lebih baik dariku yang jarang sekali membuka buku paket ketika mengerjakan tugas akhir dulu.
Banyak sekali mahasiswa datang ke perpustakaan hari ini. Banyak yang hanya mengobrol dengan temannya. Banyak juga yang cuma mondar-mandir bingung dan tak jelas. Ada juga yang membaca komik. Anak yang duduk di depanku malah membawa kotak makan besar dan sebotol air minum yang hampir sebesar galon. Dia makan tanpa muka bersalah padahal di pintu masuk perpustakaan tertulis kalau kita dilarang membawa makanan atau minuman.
Sepertinya perpustakaan terlihat begitu menyenangkan. Sama sekali tidak menegangkan. Lalu apa yang dulu kulihat di perpustakaan ketika dulu mengerjakan tugas akhir? Satu lagi adik angkatan melewatiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nagisa's Story: Don't Curse at Me, Please!
Fiction généraleSeberapa banyak "sebentar" yang kita lontarkan dalam sehari? Seberapa banyak "nanti" yang telah membuat kita menunda keputusan penting dalam hidup kita? Berapa sebenarnya akumulasi dari "sebentar" dan "nanti" yang sudah kita lewatkan seumur hidup ki...