It's a "Wow"

9 2 0
                                    

Revisi itu seperti jerawat. Menganggu, sakit, bikin emosi dan maunya cepat hilang. Karena entah sudah berapa jam aku duduk di kursi belajar sampai bosan, sampai akhirnya aku iseng membuka file lama di laptop. Aku menemukan beberapa file yang berisi foto-foto masa lalu, ketika masih di kepanitiaan jurusan, kunjungan industri sampai file ketika liburan di Bali. Ini sudah satu bulan sejak aku pendadaran.

Ada beberapa fotoku yang super cupu. Entah kenapa aku ingin banget upload foto-foto itu ke jejaring sosial. Tapi akhirnya sadar bahwa ketika aku sibuk bernostalgia dengan kenangan awal-awal kuliah, teman-temanku sudah move on.

Aku pikir kalau sudah sidang, semua akan baik-baik saja. separah apapun revisi kita asalkan sudah sidang kan tetep lulus. Begitu kata Edo dan yang lainnya. Tapi itu tidak benar, setidaknya bagiku. Ketika sidang kemarin seolah-olah ada bisikan gaib yang mengatakan, "Kalau tidak bisa ngambil tema yang susah ya jangan sok pintar."

Sekarang sudah jam 11 malam dan aku masih saja berkutat dengan revisi. Aku memutuskan untuk mengirim pesan ke Johan dan Gusti. Aku masih ingat janji kami untuk karaoke, nonton, ke panti asuhan dan banyak lagi yang ingin kami lakukan setelah kami semua pendadaran.

Johan membalas dan bilang kalau dia sedang di rumah orang tuanya sekarang. Dia juga berkata kalau dia sekarang sudah bekerja di sebuah perusahaan di dekat rumahnya. Dia juga bilang kalau Hilman, Gusti dan temannya Tirta juga belum tahu kalau dia sekarang sudah bekerja. Johan tak pamit pada satupun temannya. Berarti rencana karaokean kami harus diundur lima atau sepuluh tahun lagi. Itupun kalau kami masih bisa karaoke karena mungkin masing-masing dari kami akan pergi sambil mendorong stroller bayi.

***

Hari ini aku datang ke pendadaran Tirta. Di ruang sidang sebelahnya ada juga Once yang sedang pendadaran. Kebetulan dosen pembimbing Once sama dengan dosen pembimbing salah satu temanku, makanya aku kenal. Ketika melongok lewat kaca, aku menemukan sesuatu yang aneh, seperti ini semua terencana sekali. Meski tidak yakin itu apa.

Hilman dan Gusti datang sekitar setengah jam setelah sidang dimulai. Aku tidak lagi bertanya, kenapa kamu baru datang karena Gusti mungkin akan menjawab dengan jawaban sama ketika aku bertanya kenapa dia telat datang di pendadaranku. Dia bangun kesiangan!

Kami menunggu di luar ruang sidang dan bisa mendengar sayup-sayup suara mereka yang ada di dalam. Sesuai jadwal, mereka keluar dari ruang sidang di waktu yang sama. Ketika Once diluar, dia bercerita tentang bagaimana dia justru digugat oleh pembimbinya sendiri yang mempertanyakan penggunaan metode di studi kasus yang dia teliti. Sama seperti salah satu temanku dulu. Bagiku itu aneh sekali karena dosen pembimbinglah yang tahu bagaimana tugas akhir mereka dan kalau mereka sudah diijinkan maju pendadaran berarti dosen pembimbing sudah menyetujuinya tugas akhirnya terutama metodenya.

"Rambutmu keren banget Ce." Kata salah seorang temannya sambil tertawa.

"Iya, aku pikir ini bakal narik perhatian."

Aku ikut tertawa. Tentu saja menarik perhatian sampai-sampai pertanyaan yang diajukan tidak habis-habis. Mungkin point of interest nya ada di rambutnya yang disisir terlalu rapi dan diberi gel banyak-banyak sampai terlihat berair.

Tunggu. Rambut Tirta juga hampir seperti itu, disisir terlalu rapi dan terlihat berair. Dan dia dari tadi dicecar pertanyaan habis-habisan. Memangnya laki-laki bisa janjian untuk masalah seperti ini?

Sekilas aku melihat dosen pembimbingku melewati ruang sidang. Tanpa berpikir panjang aku langsung lari dan bersembunyi di belakang pintu ruang dosen yang hampir menempel tembok. Aku juga tak tahu pasti kenapa harus berlari. Tapi aku tak ingin menjawab, "Saya belum konsultasi ke dosen penguji," ke Bu Feti. Dan aku juga belum ingin bertemu dosen pengujiku bila revisiku belum selesai secara sempurna. Ada semacam rasa tak mau kalah ketika bulan lalu dosenku menyodorkan sebuah jurnal kepadaku dan setengah menantang untuk membuat tugas akhirku "hampir" seperti itu. Momen "mempermalukan diri" kemarin tak bisa hilang begitu saja. Dan aku ingin mendapat pandangan "wow" dari dosen pengujiku karena aku telah menyelesaikan revisi tanpa harus konsultasi ulang. Sebenarnya kata Gusti itu namanya sombong, tapi ya mau bagaimana lagi.

Nagisa's Story: Don't Curse at Me, Please!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang