Another Obstacle

23 1 0
                                    

Bosan dengan rutinitas adalah ketika yang kulakukan setiap hari hanya mengerjakan revisi dan menunggu dosen di kampus. Jadi kalau ada orang yang bertanya padaku apa yang rutinitasku akhir-akhir ini adalah revisi dan menunggu dosen.

Lagi-lagi hari ini aku menunggu dosenku di kampus. Sebenarnya bukan lagi-lagi karena menunggu di kampus merupakan salah satu hal wajib yang dilakukan oleh mahasiswa tugas akhir. Tapi semua itu akan berubah ketika kita ternyata sudah setahun mengerjakan tugas akhir. Entah otakku yang tidak bisa mencerna dengan baik atau ada masalah lain yang membuatku masih saja harus revisi sampai sekarang. Tapi kalau aku mencoba berpikir lebih positif, itu artinya waktuku mencintai universitas dan kota ini masih kurang.

Aku menunggu sekitar 20 menit sampai akhirnya dosenku mengijinkanku masuk ke ruangannya. Dengan segenap kemampuan dan keberanian yang ada, aku menjawab pertanyaan dari dosenku. Entah aku yang sensitif atau dramatis tapi kurasa dosenku sekarang sedang tersenyum mencemooh. Meski itu tipis, tapi kepalaku serasa dihujani batu kerikil sampai mataku hampir berair. Semalaman aku mengerjakan tapi malah jadinya seperti ini.

Aku langsung berkata, "Maaf bu, akan saya perbaiki lagi."

"Iyalah Mbak, kalau sudah seperti yang saya katakan kemarin baru ketemu saya lagi."

Aku keluar ruangan dan disambut beberapa wajah adik angkatan yang cukup familiar,

"Habis bimbingan ya Mbak?"

"Iya, mau bimbingan juga?"

Mereka mengangguk. Dan itu seperti tanda bahwa aku memang harus cepat-cepat keluar dari kampus ini.

Aku sedang menuju parkiran ketika Gusti mengirim pesan.

Gusti : Iya Na, aku ke kampus hari ini.

Aku hanya menghela napas dan berjalan cepat menghampiri sepedaku tanpa repot-repot membalas pesan Gusti terlebih dahulu. Otakku sedang benar-benar kacau. Ibarat kolam yang benar-benar keruh yang memiliki banyak lumut diatasnya diaduk menjadi satu dengan bangkai ikan lele. Suram.

Aku mengayuh sepedaku sekencang-kencangnya melewati boulevard. Dalam hati aku bertekad untuk menyelesaikan revisiku malam ini juga meski aku harus tidak tidur. Pikiranku melayang-layang memikirkan kembali senyum cemoohan dari dosenku sampai aku tak sadar kalau ada sesuatu yang besar menikung.

"Bruuuaaaaaakkkk..."

Aku terpental ke aspal. Lenganku membentur trotoar dengan sangat keras sedangkan kertas-kertas yang aku letakkan di keranjang sepeda berhamburan di udara. Inilah saat dimana aku memahami tentang hukum Newton. Aksi sama dengan reaksi. Dan itu terjadi dua kali dalam sebulan.

Sebuah mobil hitam menikung berbelok ke perempatan pos satpam. Dan mobil itu berlalu begitu saja tanpa menyadari aku terjatuh di belakangnya. Atau mungkin dia sadar tapi kabur begitu saja. Dasar sinting!

Dua orang satpam berlari menolongku. Kulihat ban depan sepedaku penyok. Mereka sibuk membantu merapikan tasku dan kertas-kertas yang berserakan sambil sibuk mengomeli tindakan pengemudi mobil yang tidak bertanggung jawab.

"Saya antar ke klinik ya Mbak. Biar diobati."

"Tidak perlu Pak, terimakasih, saya telpon teman saya saja biar dijemput."

Beberapa menit kemudian Gusti muncul. Memang terkadang marah itu tidak ada gunanya.

***

Aku pulang dibonceng Gusti setelah mempercayakan sepeda kesayanganku di pos satpam. Di sepanjang jalan pulang aku memaki-maki dalam hati, semua yang kuanggap bersalah hari ini tak luput dari makian mautku. Namun Gusti tentunya sudah luput dari tuduhan bersalahku hari ini. Awalnya aku ingin menelepon Johan atau Edo, tapi belum tentu mereka sedang berada di dekat kampus. Makanya aku langsung menelepon Gusti.

Nagisa's Story: Don't Curse at Me, Please!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang