Aku belum tidur sama sekali dari kemarin karena hari ini (jam 5 sore tepatnya) harus bertemu dengan dosen pembimbing. Sampai detik ini aku sudah menghabiskan empat gelas kopi dengan kadar kafein tinggi tanpa ada sedikitpun karbohidrat (atau sesuatu yang bisa mengeyangkan perut) yang masuk ke pencernaan. Tapi aku baik-baik saja. Setidaknya untuk saat ini. Setiap kali mengantuk, aku akan menuruni tangga dengan cepat dan menaikinya lagi berkali-kali sampai mataku kembali terbuka. Aku bahkan sudah mencuci muka dengan sabun lebih dari sepuluh kali. Ini pertama kalinya aku merasa sangat serius memperjuangkan hidup. Jadi jangan tanyakan bagaimana keseharianku selama ini.
Aku datang ke kampus dengan amunisi penuh bersama dengan Johan yang katanya punya urusan dengan salah satu dosen di jurusan kami. Semoga hari ini adalah hari yang sangat ajaib, dimana dosenku sedang sangat sibuk sampai tidak punya waktu untuk memeriksa seluruh revisi dan langsung menandatanganinya.
Kami mengobrol panjang lebar sambil menunggu dosen kami selesai mengajar. Tiga puluh menit berlalu. Dosen pembimbingku terlihat menuruni tangga menuju kantor bagian pengajaran sambil membawa map dan kunci mobil yang menggantung di jemarinya. Sontak aku langsung berlari menghampiri. Aku bahkan tak berlatih bagaimana menjelaskan hasil revisiku atau menarik napas panjang sebelum menampakkan diri seperti kemarin-kemarin. Otakku berpikir bahwa ini keadaan darurat, yang bila telat semenit saja, maka nasib sidang bulan ini bakal jadi taruhannya.
Dosenku terlihat agak kaget melihatku berlari. Beliau kemudian memintaku menunggu di kursi dekat ruang audiovisual sementara beliau mengembalikan map absen. Aku sempat mencari-cari kemana hilangnya kegugupanku tadi. Tapi sepertinya itu sudah menguap karena radiasi matahari yang aku pikir meningkat lima kali lipat di tempat ini.
"Coba jelaskan kepada saya, apa yang saya minta untuk direvisi kemarin." pinta beliau beberapa saat kemudian.
Aku menjelaskan apa yang telah aku revisi. Mulai dari awal pemrosesan data sampai hasil akhirnya. Mulutku sampai berbusa karena bicara dengan kecepatan super. Aku tak ingin membuang waktu dosenku yang sangat berharga.
Penjelasanku terhenti karena lontaran pertanyaan dari dosenku.
"Coba kamu jelaskan dengan cara yang lebih simple dulu baru kemudian masuk ke tahapan yang lebih rumit. Saya yang punya waktu untuk membaca saja bingung, bagaimana besok yang ada di ruang sidang? Dosen penguji kan tidak punya waktu banyak untuk membaca tugas akhir kamu, bagaimana mereka akan mengerti? Tugas akhirmu ini sebenarnya mau bahas apa sih?"
Aku terhenyak. Tugas akhirmu ini sebenarnya mau bahas apa sih? Itu adalah pertanyaan paling maut yang aku terima dari beliau. Aku sudah membuat rumusan masalah, tujuan, manfaat penelitian, dan lain sebagainya. Aku masih saja ditanya "mau bahas apa"? Apa aku sangat bodoh dalam menjelaskan sesuatu?
"Kalau kamu menyajikan tugas akhir seperti ini, ada data, kemudian tahu-tahu ada pemrosesan data dengan software simulasi yang sangat rumit terus ada hasil, orang yang membaca tidak akan langsung bisa mengerti. Ini juga, hasil produksi yang masuk ke gudang kok tidak sesuai dengan yang keluar dari lantai produksi? Ini kenapa bisa seperti ini? Ini pasti ada yang salah dengan prosesnya. Coba kamu perbaiki lagi."
Aku mengangguk. Sebenarnya tadi malam aku sudah mencoba berkali-kali untuk mengubahnya, tapi tetap saja hasilnya tidak sesuai.
"Dan lagi, alasan kamu memakai metode ini karena metode lain tidak cukup mengakomodasi permasalahan kamu kan? Makanya sebelum kamu masuk ke pemrosesan data dengan metode ini kamu harus bisa memberikan perbandingan antara metode yang tidak bisa mencapai hasil optimal itu dengan metode yang kamu gunakan. Jadi besok ketika kamu menjelaskan di depan dosen penguji, mereka akan langsung memahami apa sebenarnya yang kamu kerjakan di tugas akhirmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nagisa's Story: Don't Curse at Me, Please!
Ficção GeralSeberapa banyak "sebentar" yang kita lontarkan dalam sehari? Seberapa banyak "nanti" yang telah membuat kita menunda keputusan penting dalam hidup kita? Berapa sebenarnya akumulasi dari "sebentar" dan "nanti" yang sudah kita lewatkan seumur hidup ki...