Edo memaksaku untuk datang ke upacara wisudanya. Sebenarnya bukan memaksa. Tapi dia "sangat berharap" agar aku datang. Itu wajar. Semua orang juga pasti senang kalau mendapat banyak ucapan selamat dan hadiah di hari wisuda. Padahal sebenarnya dia juga tahu kalau datang ke wisuda teman ketika kita sedang pusing memikirkan masalah tugas akhir itu adalah sebuah beban yang luar biasa. Ketika Edo menemuiku di internet café dekat rumahku, dia juga mengatakan sesuatu yang membuatku merinding seperti,
"Memang susah memotivasi orang kalau kita dalam kondisi yang tidak susah."
Ya ampun, memangnya Dedi Corbuzier itu harus selalu berada di posisi yang sama dengan orang yang sedang "diinterogasinya"? Bahkan dia sempat berkata seperti ini ketika aku bilang bahwa mungkin aku tidak datang ke wisudaannya dan memberi kado wisuda sore harinya.
"Kalau kamu tidak datang, jangan harap besok aku datang ke wisudamu."
Meski dia mengatakannya dengan tersenyum, tapi aku sudah tidak mempan lagi mendengar kata-kata, "Aku cuma bercanda". Aku memang sempat menanggapinya dengan serius dan melontarkan kata-kata sekenanya, tapi Edo tahu kalau aku sedang stress, jadi dia memakluminya. Tapi sebenarnya tidak masalah kalau dia tidak datang ke wisudaku. Dia kemudian membantuku membuat daftar pustaka sampai selesai.
Aku akhirnya datang ke wisuda Edo sendirian. Karena memang tak ada lagi yang bisa kuseret untuk menemaniku. Yos juga hanya menitipkan ucapan selamat untuk Edo. Sebelumnya, aku membeli sebuket bunga yang isinya empat mawar orange dengan bunga krisan ungu dan bunga baby's breath yang banyak. Saat ini jam 10 pagi dan pembawa acara wisuda masih membacakan nama wisudawan. Aku menunggu di pintu selatan auditorium utama. Satu jam kemudian Edo keluar. Aku melambaikan bunga yang kubeli dengan heboh ke arahnya. Dia tersenyum dan menghampiriku.
"Mamaku hilang! Pinjam handphone Na, sekarang!"
Tunggu. Mamanya hilang? Jadi karena dia terlalu senang diwisuda, dia sampai kehilangan ibunya? Aku tak ingin itu terjadi padaku! Terlalu berlebihan.
Aku menyerahkan ponselku ke Edo. Dia menelepon ibunya dengan bahasa daerah yang sedikitpun tak aku mengerti. Ketika dia menutup teleponnya, teman-teman satu kosannya berhambur memberikan selamat. Aku, seperti kebanyakan adegan di film remaja, tersisih secara menyedihkan dan terpaksa mundur beberapa langkah karena kebrutalan beberapa anak laki-laki tersebut. Bunga yang kubawa seolah tak ada artinya karena itu bukan satu-satunya. Tentu malah menyedihkan kalau dia hanya mendapat satu bunga saja. Akhirnya aku berpamitan kepada Edo sebelum keramaian ini sepenuhnya menyedot eksistensiku.
"Serius mau pulang? Tidak ikut makan dulu? Kita kan juga belum foto bareng."
"Lain kali saja deh Edo."
Edo mengangguk-angguk. Aku yakin dia mengerti bagaimana susahnya untuk tetap mempertahankan muka penuh senyum di kerumunan orang-orang tanpa dosa seperti ini.
Ketika berjalan menjauh, aku bertemu dengan beberapa anak dari jurusanku yang wisuda. Aku menyalami mereka dan memberi mereka ucapan selamat. Aku benar-benar membulatkan tekat untuk pulang ketika melihat salah satu adik angkatan yang sangat kukenal juga wisuda hari ini.
***
Sampai di rumah, entah kenapa suasana hatiku menjadi semakin buruk. Kutenggak segelas kopi pahit dan merebahkan tubuh di sofa sambil iseng memindah-mindah channel televisi. Aku kemudian tertidur dan bermimpi aneh.
Aku berada di ruang sidang dengan sepuluh dosen penguji dan ditanyai banyak sekali pertanyaan yang tak ada hubungannya dengan tema tugas akhir. Dosen-dosen penguji itu benar-benar terdiri dari peserta training software yang kemarin aku ikuti. Bahkan dosen pembimbingku menanyakan pertanyaan semacam ini,
"Ini kenapa modelnya seperti model kapal laut biasa? Bukan kapal perang? Harusnya kamu buat desain kapal amphibi yang bisa menyamar bahkan di ruang angkasa. Kita kan tidak tahu kapan ada invasi alien selanjutnya."
Anehnya aku kemudian menjawab dengan jawaban yang hanya diketahui oleh anak teknik mesin dan berkata kalau aku akan membuat sebuah roket yang melebihi kecepatan cahaya dan bisa menjadi tembus pandang ketika terkena sinar matahari. Kemudian koalisi dosen penguji dan pembimbing memintaku untuk menyelesaikan tugas akhirku sesempurna mungkin dengan masa revisi 10 tahun! Dan setelah sepuluh tahun itu mereka akan menggunakannya untuk membalas invasi alien yang lebih dulu merusak ekosistem di bumi.
Parahnya lagi, ketika keluar ruang sidang, tahu-tahu aku sudah ada di mall yang biasanya aku dan teman-temanku datangi. Sedangkan teman-teman yang menungguiku sidang sedang makan semangkuk ramen berisi es krim berwarna hijau lumut. Menjijjikkan. Akhirnya aku terbangun dengan perut mual dan langsung memuntahkan seluruh isi lambungku.
n2?\'
KAMU SEDANG MEMBACA
Nagisa's Story: Don't Curse at Me, Please!
Ficción GeneralSeberapa banyak "sebentar" yang kita lontarkan dalam sehari? Seberapa banyak "nanti" yang telah membuat kita menunda keputusan penting dalam hidup kita? Berapa sebenarnya akumulasi dari "sebentar" dan "nanti" yang sudah kita lewatkan seumur hidup ki...