Ada beberapa pengajar yang menganggap diri mereka dewa, aku memang tidak bilang semuanya, hanya saja ada. Membatalkan janji seenaknya, datang telat seenaknya, tidak pernah meminta maaf karena mereka datang telat atau salah menyampaikan sesuatu.
Masalah datang telat seenaknya atau malah membatalkan tanpa memberitahu, mungkin beliau menganggap kalau hanya beliau yang memiliki kondisi paling mendesak sedunia dan bagi beliau kepentingan mahasiswa sangatlah tidak penting.
Bagaimana kalau ternyata mahasiswa yang mereka abaikan adalah mahasiswa yang memiliki keluarga yang sedang dirawat di ICU dan bisa jadi mereka justru kehilangan saat-saat berharga. Bukannya aku terlalu imajinatif, itu bisa saja terjadi.
Baiklah. Mungkin aku terlalu berlebihan. Tapi aku jengkel sekali.
Dulu ketika SD, aku dan teman-temanku berebut untuk bersalaman dengan guru yang baru saja datang. Beberapa dari kami bahkan berebut untuk membawakan tasnya. Ketika kuliah terasa begitu berat dan kamu merasa tidak satupun orang memperhatikanmu, maka kamu akan merasa sangat beruntung karena pernah memiliki guru SD yang bahkan dengan sabar mau mengurusimu ketika muntah di meja kelas karena masuk angin dan terlalu banyak makan telur.
"Bukannya saya mengada-ada." Kata dosen penguji ku.
Aku sekarang sedang berada di ruangan salah satu dosen penguji yang sudah kutunggu dari jam 9 dan baru datang jam setengah sebelas tanpa kami (aku dan beberapa mahasiswa bimbingannya) punya kuasa untuk menanyakan, "Kenapa Anda telat?"
Kalau sampai kata-kata seperti itu keluar dari mulutku, aku bisa langsung kena tatapan medusa.
Aku mengangguk-angguk.
"Mengerti kan maksud saya?"
"Iya." Ujarku.
Aku, yang biasanya menjelaskan dengan kecepatan setara dengan kecepatan rotasi bumi, kali ini berbicara dengan sangat perlahan dan suara pelan. Sebenarnya itu hanya terjadi ketika aku merasa emosiku sudah berada di ubun-ubun. Meski saat ini aku tak begitu yakin apa yang membuatku emosi karena terlalu banyak faktor yang mempengaruhi peningkatannya.
Mungkin pengajar yang melontarkan kata-kata seperti itu sadar kalau beliau sedang di lihat secara negatif oleh beberapa mahasiswa.
"Masih ada waktu tiga hari lagi. Semangat!" lanjut beliau dengan penuh penekanan.
Pernahkah aku berkata kalau kata semangat sekarang sudah menjadi sangat mainstream? Tak peduli siapapun yang mengatakannya.
Mungkin ini yang disebut dengan jenuh kuadrat. Jenuh di atas kejenuhan adalah seperti orang yang terbaring sakit di kamar rumah sakit dan merasa bosan, kemudian dia memutuskan untuk keluar kamar dan mendapati pemandangan orang sakit lainnya, bisa jadi yang lebih parah. Apalagi kalau kamar yang ditempati berada di dekat ICU atau kamar mayat.
Rasa-rasanya aku seperti ingin menyewa roket dan kabur dari bumi. Sepertinya melarikan diri dari kekacauan di sini itu menyenangkan. Kalau pada akhirnya tidak bisa menyelesaikan kuliah paling tidak aku tidak akan punya teman atau tetangga yang terus menanyakan kuliah di ruang angkasa sana. Tadi malam aku sempat menelepon dengan setengah bergurau dan berkata kalau aku ingin drop out dan merantau ke tempat yang jauh.
"Jangan aneh-aneh." Kata bunda. "Kamu sudah mulai berpikir ngawur deh Na. Besok bilang saja ke dosen pengujinya. Saya bisa cuma begini Pak. Bagaimana kebijakan Bapak? Dosen kan pasti punya solusi."
Saya bisanya cuma begini? Ya ampun aku bahkan tak mampu membayangkan bagaimana mengatakan itu ke dosen penguji.
"Saat ini Bunda sama Ayah cuma ingin kamu lulus Nak. Itu saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nagisa's Story: Don't Curse at Me, Please!
General FictionSeberapa banyak "sebentar" yang kita lontarkan dalam sehari? Seberapa banyak "nanti" yang telah membuat kita menunda keputusan penting dalam hidup kita? Berapa sebenarnya akumulasi dari "sebentar" dan "nanti" yang sudah kita lewatkan seumur hidup ki...