Pertarungan Mental

28 1 0
                                    


Aku menunggu Johan di kampus untuk mengambil sertifikat seminar yang kami ikuti sekitar setahun yang lalu. Sebenarnya aku sudah mengambilnya sebelum Yos pendadaran. Namun aku memutuskan untuk menemani Johan mengambil sertifikatnya karena tak tega pada Johan yang katanya berubah menjadi sangat kurus setelah sakit.

Johan mungkin sudah menunggu sekitar 30 menit ketika aku sampai di kampus. Johan langsung berdiri begitu melihatku. Meski hanya mendengar dari Yos dan Gusti, tapi Johan terlihat lebih kurus dari yang mereka ceritakan. Dia terlihat pucat dan agak berjerawat. Apapun alasannya, jerawat bukanlah tanda baik. Bisa saja itu merupakan luapan stress dari tubuh seseorang.

"Sudah lama nunggu Jo? Maaf baru datang."

"Tidak juga, baru saja kok." Jawabnya.

Aku menahan tawa. Johan berdiri dengan sangat kaku seakan ada penyangga dari kayu di punggungnya. Sinar matahari yang memantul di kepalanya membuatku merasa seperti melihat lumut di atas rambutnya. Dia tersenyum setengah dipaksakan. Kadang orang memang memasang wajah aneh bila dia berbohong.

"Oiya, Yosa kerja dimana sekarang?" Tanya Johan kemudian.

Rahangku mengeras sebelum menyebutkan nama sebuah perusahaan konsultan internasional milik Amerika yang diakui sebagai perusahaan konsultan nomor satu di dunia. Perusahaan itu menerapkan seleksi yang super ketat bagi calon pegawainya. Meskipun akhirnya dia diterima di Indonesia, tapi dia dulu masuk melalui Global Recruitment.

Johan membulatkan mulutnya seolah menganggap hal itu hebat. Aku hanya mengangguk-angguk. Ya, Yos memang hebat.

Aku dan Johan berjalan menuju ke kantor jurusan untuk mengambil sertifikat. Sepanjang jalan kami hanya diam saja. Aku juga tak memaksa untuk bertanya dia sakit apa karena dia berkali-kali hanya berkata kalau dia punya masalah pencernaan. Sampai kemudian kami bertemu dengan beberapa adik angkatan yang dengan semangat menanyakan tugas akhir kami.

"Kok kalian masih sering banget ke kampus sih. Gimana tugas akhir?" Tanya mereka sambil tertawa.

Sepertinya aku mulai terlihat gusar karena Johan langsung menyahut setiap kali mereka bertanya. Kenapa mereka harus bertanya sambil tertawa? Apa tidak bisa bersikap biasa saja? Itu membuatku merasa semakin tak nyaman berada di kampus hari ini.

"Buruan dong, atau nanti kita susul lho. Atau memang niat wisuda bareng kita?"

Aku hanya diam. Wisuda bareng? Mereka benar-benar tak tahu bagaimana rasanya harus wisuda bareng adik angkatan sampai mereka merasakannya. Sebenarnya biasa saja sih kalau adik kelas yang dimaksud adalah yang cerdas dan memiliki kemauan kuat. Tapi kalau yang kuliahnya saja Senin Kamis? Itu bikin harga diri jadi tiarap banget! Lagi pula itu bukan suatu hal yang patut ditertawakan. Silahkan saja tertawa sepuasnya sampai kalian merasakan sendiri bagaimana berjalan di labirin tugas akhir yang punya Troll berkapak di setiap ujung buntunya.

Memang untuk mahasiswa sepertiku, ke kampus adalah perjuangan mental. Mental dan harga diri akan bertarung memperebutkan posisi paling depan. Kalaupun mental yang menang, itu sudah pasti akan babak belur di hajar oleh harga diriku yang lebih babak belur.

***

Setelah kabur dari kubangan lumpur memalukan, kami makan siang di sebuah warung ayam di dekat kampus. Aku menumpang motor Johan yang laki banget (sebut saja begitu, karena aku tidak tahu apa mereknya). Johan jelas-jelas baru saja operasi karena gangguan pencernaan, malah memilih makan ayam pedas dengan cabe yang super banyak. Kalau dia adalah Yos, maka sudah pasti langsung masuk ICU.

"Sepuluh." Jawabku ketika mas-mas penjual ayam bertanya.

"Banyak banget sih Na. Mules kamu nanti.." Johan mengingatkan.

Nagisa's Story: Don't Curse at Me, Please!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang