Mencelos itu adalah ketika kami bersorak untuk teman seperjuangan kami yang lulus pendadaran kemudian kami teringat tugas akhir kami yang luar biasa dan tak kunjung selesai. Meski teman kami itu adalah Johan. Si Johan tampan. Iya, tampan andai saja tidurnya tidak mengorok.
Akhirnya, setelah sekian lama, teman kami pendadaran juga. Johan benar-benar melesat jauh seperti roket. Padahal dia yang paling hopeless diantara kami. Maksudku, selain bermasalah dengan pencernan, dosen Johan ke luar negeri, harus ganti dosen pembimbing, dan softwarenya berkali-kali error. Dia sempat benar-benar terlihat kacau. Tapi dia justru berhasil menyelesaikan revisi tepat waktu, sementara aku dan Gusti tidak.
Padahal antara Johan, Gusti, dan Edo sepertinya memang aku yang paling positive thinking. Bahkan mungkin cenderung terlalu positive thinking. Aku selalu bilang bisa menyelesaikan tugas akhirku besok, besok dan besok. Meski akhirnya selalu tak bisa selesai sesuai yang diharapkan. Tapi kata Yos itu yang salah, seharusnya aku bilang "sekarang, sekarang, sekarang" bukan "nanti atau besok". Mungkin memang harapanku terlalu tinggi. Jadi ketika justru yang paling hopeless yang maju lebih dulu, rasanya sakit bukan main.
Ini juga salah satu kesalahanku yang sampai sekarang masih saja berulang. Karena dalam satu minggu hanya ada lima hari kerja, berarti hari terakhir untuk konsultasi dalam satu minggu adalah hari Jumat. Biasanya aku memang konsultasi pada hari itu. Tapi bukannya mengerjakan dari hari Sabtu, aku malah mengerjakannya pada hari Rabu malam atau Kamis pagi.
Aku selalu punya alasan untuk tak mengerjakannya dari hari Sabtu sampai Selasa. Padahal pada hari itu tetap saja aku memandangi laptop seharian. Aku selalu berjanji pada diriku sendiri kalau aku akan menyelesaikannya sebaik mungkin "besok". Dan bila sudah hari Rabu, aku akan mulai bertanya-tanya, apa saja yang kulakukan dari hari Sabtu. Seringnya lagi, pada hari Rabu aku merasa pusing dan tidak bisa memaksimalkan kemampuan otakku untuk mengerjakan. Sehingga pada hari kamis aku benar-benar selalu mengebut untuk mengerjakannya sampai kepalaku rasanya mau pecah.
Bila sampai jam 7 malam belum ada progress, aku tak akan mengirim pesan ke dosen pembingbingku dan memilih untuk langsung menemuinya hari Jumat. Karena pada hari Jumat pagi juga masih belum banyak progress maka aku memutuskan untuk konsultasi minggu depan. Dan itu seperti siklus yang terus berulang.
Johan keluar dari ruang sidang untuk memberi waktu pada penguji mendiskusikan kelulusannya. Meski aku yakin sekali Johan pasti lulus, tapi aku belum berani memberinya selamat. Muka johan memerah semerah kepiting rebus. Entah apa yang telah beliau-beliau lakukan di dalam sampai-sampai tega membuat sahabatku mejadi seperti itu.
Tidak ada lima menit, dosen memanggil Johan untuk kembali masuk ke ruang sidang. Kami mengintip lewat celah pintu yang tak ditutup rapat. Setelah melihat wajah Johan yang berubah sumringah. Kami langsung bertepuk tangan.
Kami berhambur masuk setelah dosen penguji keluar dan berlomba memberikan selamat pada Johan. Johan tersenyum setengah-setengah. Tapi justru itu menunjukkan kalau dia sangat bahagia. Kami kemudian berfoto di depan ruang jurusan dengan Johan yang tersenyum lebar seperti baru saja memenangkan lomba balap liar di boulevard kampus. Johan bahkan menumbuhkan kumisnya. Ini aneh sekali, baru kali ini aku melihat Johan dengan kumisnya. Seolah dia benar-benar tak punya waktu bercukur karena sibuk mempersiapkan slide tugas akhir. Tapi sebenarnya, dia cukup tampan dengan kumisnya. Bukan aku naksir. Tapi serius deh, dia terlihat sedikit lebih dewasa. Sedikit.
***
Seperti tradisi yang telah berjalan turun-temurun selama ini, Johan mengajak kami makan di sebuah restoran dengan bangunan jawa klasik yang dikenal sangat lama memasak pesanan. Tapi tetap saja banyak yang antri makan disana karena suasana restoran yang sangat bersahabat. Langit siang ini agak mendung. Persis seperti mukaku. Aku memang sangat bahagia Johan akhirnya lulus. Tapi dalam hati aku tetap merasa kalah. Satu lagi peserta maraton mencapai garis finish. Sedangkan bagiku, tercium baunya saja belum.
Sesampainya di tempat makan, kami memesan apapun yang ingin kami makan. Entah kenapa, aku khususnya, ingin menyiksa Johan sebanyak mungkin. Salah satunya dengan memesan 3 schoop eskrim dengan whipped cream dan ayam bakar dengan paket paling lengkap. Bahkan kalau ada menu yang menggunakan caviar atau emas yang bisa dimakan, aku akan memesan dua porsi sekaligus. Aku ingin membuatnya bangkrut dan berhutang agar dia terpaksa bekerja part time di restoran ini. Itu akan memaksanya tetap berada di dekat kampus dan tak akan lari ke belahan dunia manapun. Membayangkan Johan memakai celemek dan mengepel seluruh restoran ini membuatku sangat bahagia.
"Malah tertawa sendiri. Apa sih yang kamu bayangkan?" Tanya Gusti.
Aku hanya menggeleng. Tak mungkin aku mengatakan padanya kalau aku sedang membayangkan Johan disuruh-suruh oleh pegawai restoran lainnya.
Sambil menunggu pesanan kami datang, Johan bercerita tentang bagaimana mengerikannya suasana sidang tadi. Dalam bayanganku, Johan seperti ada di tengah lautan dengan sebuah kapal kecil dan mencoba menghalau ikan paus kelaparan dengan dayung kecilnya. Johan terus berteriak-teriak sampai akhirnya sebuah kapal besar menabraknya dan membuatnya terjatuh ke laut yang luas. Dia pura-pura mati ketika ikan-ikan paus itu memburunya sampai ke dasar laut.
"Silahkan." Kata seorang pelayan dari restoran itu.
Pesanan kami akhirnya datang dan Johan sudah kembali ke permukaan dengan wajah bingung. Dia bingung dengan apa yang aku pesan.
"Bisa habis tidak sebanyak itu?"
Aku mengangguk mantap. Gusti menaikkan alisnya.
Pada akhirnya aku hanya bisa menghabiskan sepertiga dari keseluruhan menu yang aku pesan. Mungkin kalau Yos ada di sini aku sudah dimarahi habis-habisan karena memesan makanan melebihi kapasitas perutku. Meski aku tahu kalau aku tak akan pernah menghabiskan makanan sebanyak itu.
"Laptopnya dibawa kan Na, nanti habis ini langsung aku bawa saja ke tempat saudaraku." Tanya Johan ketika kami selesai makan.
"Oke. Selesai berapa hari Jo? Apa parah banget? Aku harus ganti laptop?"
Kulihat Gusti menunduk sambil tersenyum.Aku nyengir.
"Kan dibuka dulu biar tahu rusaknya dimana. Paling tiga hari. Tergantung seberapa parah."
Aku mengangguk-angguk. Saudara Johan ada yang punya usaha reparasi komputer. Jadi ketika kemarin aku bercerita kepada Johan tentang laptopku yang rusak karena sering dibiarkan semalaman, dia langsung menawarkan jasa reparasi milik saudaranya. Ini berarti aku punya waktu cuti dari tugas akhir selama 3 hari. Cuti? Sebenarnya itu terdengar keren, tapi dalam kasus ini tidak sama sekali. Mana ada pengangguran cuti?
Tiga hari ini mungkin aku harus mulai mem-break down semua tugas termasuk rencana pengerjaannya sebaik mungkin. Aku harus bisa pendadaran bulan depan. Aku sudah terlalu bosan mengerjakan tugas akhir. Jangan sampai aku mengulang kesalahan yang sama. Ini memalukan. Lagi pula aku juga sudah bosan mengulang-ngulang kesalahan yang sama.k4?W)
KAMU SEDANG MEMBACA
Nagisa's Story: Don't Curse at Me, Please!
Fiction généraleSeberapa banyak "sebentar" yang kita lontarkan dalam sehari? Seberapa banyak "nanti" yang telah membuat kita menunda keputusan penting dalam hidup kita? Berapa sebenarnya akumulasi dari "sebentar" dan "nanti" yang sudah kita lewatkan seumur hidup ki...