Setelah terjebak macet, Ardi sampai juga di rumah Annabelle, terlambat satu jam 25 menit. Jantungnya menggila dengan perasaan bersalah dan cemas. Nomor Rayn tidak bisa dihubungi. Pasti anak itu tidak mendengar panggilannya di tengah keramaian pesta, atau malah sedang terserang panik.
Ardi menyelip di antara orang-orang yang berkelompok mengobrol dan makan. Berkelit menghindari tubrukan dengan pelayan-pelayan berseragam yang mengedarkan makanan dan minuman. Ia menyambar segelas jus jeruk, melepaskan haus sambil terus mencari Rayn di antara wajah-wajah familier dari sekolah, yang tampak jauh berbeda dalam dandanan pesta.
Rayn pasti merasa sangat terasing di sini. Padahal di sekolah, anak itu populer lebih dari yang disadarinya. Terutama di kalangan cewek. Julukan yang mereka berikan macam-macam tergantung pada kesan pertama ketemu Rayn. Si pemalu yang lugu, si ganteng-imut dengan senyum maut, si pendiam dengan tatapan tajam, si jutek yang bikin hati potek, cowok serius sok misterius, dan entah apa lagi. Ardi pernah mencoba menyangkal julukan negatif, tapi Rayn bilang, biarkan saja, enggak perlu menarik perhatian lebih jauh. Yang penting kelainannya tidak terpapar. Memang dari dulu, Ardi diwanti-wanti Mami Kiara untuk menjaga rahasia putranya demi keamanan. Penderita prosopagnosia, terutama anak kecil, rentan penculikan. Kalaupun sudah cukup dewasa seperti Rayn, kekurangannya bisa mengundang perundungan.
Andaikan cewek-cewek di sekolah tahu, di balik senyum, tatapan, atau diamnya, Rayn berkutat mencocokkan nama dengan ciri-ciri yang dihafal. Dan seringnya keliru. Situasi yang menuntut Ardi agresif menyapa duluan sebelum Rayn kelimpungan. Hai Sarah, bando kamu baru ya, cakep. Hei Rieka, kamu tambah anggun saja dengan jilbab putih ... eh iya, memang selalu pake putih, tapi pokoknya kali ini beda deh. Auliya, kamu potong rambut ya, kelihatan fresh. Hya, kamu baik banget, perhatian banget, rajin banget ... eh, enggak ada alasan, cuma pengin bilang gitu aja. Miss Tan, your smile is so bright this morning. Enggak, ini bukan gombal biar boleh remedial Matematika lagi.
Sejalan waktu, Ardi semakin canggih merangkai kata-kata untuk memberi Rayn informasi akurat. Tapi ia juga jadi tahu, kata-kata yang pas ternyata bisa bikin cewek tersipu. Dan cewek yang tersipu tampak lebih manis. Enggak perlu waktu lama, ia pun mendapat label gombalist nomor satu di Darmawangsa. Ardi cuma cengar-cengir, mereka bilang gombal padahal suka. Ngenesnya, yang mereka incar tetap saja Rayn. Sering, Ardi cuma dijadikan batu loncatan. Kalau ia meminta bayaran untuk setiap titipan salam dan surat dari para cewek itu, bisa kaya deh.
Demi Rayn, semua itu enggak masalah. Tapi ke mana sih anak itu? Ardi melihat tangga berputar ke lantai dua. Di atas ramai oleh para tamu yang bukan dari sekolah. Rayn tidak ada di antara mereka. Ardi pun turun lagi. Di kaki tangga, ia bertemu Annabelle. Penampilannya membuat Ardi tercengang. Seperti boneka Barbie milik Jihan, bedanya yang itu potek kakinya, yang ini sempurna dan hidup.
"Ardi, kamu cari Rayn? Dia tadi malah cari cewek dengan ciri-ciri aneh. Katanya, pake jins dan kaus putih, kaca mata bolong satu, rambut ditusuk sumpit. Apaan sih? Mana ada cewek gitu di pesta. Drama banget kan, kayak cerita Upik Abu saja."
Ardi mengangkat alis. Itu bukan Rayn.
"Nah kan, kamu juga enggak percaya. Tapi aku lihat Rayn tanya-tanya ke banyak orang. Terus ketemu aku lagi, eh tanya lagi yang sama, kayak adegan ulangan saja."
Kalau begitu benar Rayn. Mana mungkin Rayn mengingat penampilan semua orang di pesta. Tapi siapa yang dicarinya? Dan kenapa? Apa yang telah terjadi? Ardi semakin resah, hendak mencoba menelepon Rayn lagi.
"Rayn sudah keluar, kayaknya ke arah taman bonsai. Kamu bisa lewat teras samping itu." Annabelle menunjuk pintu lebar di sebelah kanan. "Bilangin ke Rayn kalau ketemu, besok dia harus traktir aku jajan di kafetaria. Masa sok enggak kenal begitu sama aku, gara-gara cewek imajiner. Kikuk ya kikuk aja tapi jangan gitu-gitu amatlah. Batal deh aku kenalin dia ke keluarga."
Ardi hanya mengangguk-angguk. Begitu omelan cewek itu mereda, ia buru-buru berbalik.
"Ardi, enjoy the party. Thanks for coming." Annabelle merangkap tangan di dada, membungkuk resmi.
Ardi jadi tidak enak hati. Bagaimanapun mereka teman sekelas. Tapi karena itu juga, ia sering lupa, sedikit banyak, ada hubungan bilateral Tiongkok dan Indonesia yang dipertaruhkan. Ia balas menjura, meniru gaya hormat di film-film Kungfu. Annabelle tertawa. Ardi tersenyum lega, dan segera pergi ke taman bonsai.
Ya, Rayn di sana. Duduk di bangku batu, memandangi telapak tangan, sebelah kaki berjengit-jengit cepat. Rayn gelisah.
"Rayn!" Dari jauh Ardi sudah berteriak, tidak sabar.
"Ardi?" Rayn melompat berdiri. Oke, jangan membayangkan adegan yang enggak-enggak. Sebetulnya enggak dramatis amat. Rayn malah tampak ragu. Menelengkan kepala, mencari ciri familier selain suara. Pasti telinganya yang sensitif jadi kebas akibat dibombardir kebisingan di dalam.
"Oh man, aku beneran LAPar. Dan lihat ini, kemeja hadiah dari Mami Kiara. Untung kamu enggak disuruhnya pakai baju yang sama dengan aku lagi," kata Ardi setelah sampai persis di depan Rayn.
LAPar, singkatan dari Lazuardi Aristides Parahita, kode rahasia di antara mereka. Plus kejadian kecil yang hanya diketahui mereka berdua, melibatkan kemeja kotak-kotak berwarna indigo. Rayn tertawa lepas, enggak ada keraguan lagi. Ardi lega. Sahabatnya utuh, sehat, walaupun kemudian berbicara begitu cepat kayak gerbong kereta yang meluncur lepas dari rel. Tentang cewek cerdas pembaca Runako, dengan derai tawa yang unik, harum bedak bayi, dan lensa kacamata lepas satu. Tentang perasaannya yang teu pararuguh, enggak keruan, karena enggak sempat tanya nama.
"Lihat, lihat, aku catat di sini semuanya ...." Rayn menunjukkan telapak tangan kirinya. Penuh tulisan tapi sebagian telah luntur. "Aaah ... kena keringat. Tapi aku ingat suaranya. Rambutnya digelung dan ditusuk sumpit. Tinggi badannya segini." Rayn menunjuk tengah lehernya. Berarti cukup jangkung untuk ukuran cewek, mungkin sekitar 160 cm, karena tinggi Rayn 174. "Pakai jins dan kaus saja. Pede abis, di pesta mewah begini."
"Terus kamu cari ke dalam tapi enggak ketemu?"
Rayn duduk lagi. Mengangguk lesu. "Di dekat restroom, sebetulnya aku mendengar suaranya berbicara. Jadi, aku tungguin agak jauh. Tapi yang keluar dua cewek dengan dandanan beda. Pakai baju pesta biasa, tanpa kacamata."
Kalaupun salah satunya adalah orang yang dicari tapi berganti baju, Rayn enggak akan pernah tahu. Cewek itu bisa siapa saja: anak Darmawangsa atau bukan; salah satu tamu atau petugas katering.
"Kita cari lagi ke dalam?" Ardi menawarkan ragu-ragu. Sudah sangat luar biasa sahabatnya ke dalam sendirian. Menyisir keramaian, menekan rasa takut dan galau, demi cewek itu. Tapi sekali saja cukuplah. Tempat Rayn bukan di sini.
Rayn berdiri, memandang ke arah rumah utama dengan jeri. "Aku enggak yakin dia masih di sana. Cewek seperti dia pasti lebih suka baca buku di rumah."
-----------------------
Lanjut terus, bab ini panjang, jadi dibagi dua ya.
Jangan lupa vomment di sini dan next.
Terima kasih
KAMU SEDANG MEMBACA
PELIK [Sudah Terbit]
Подростковая литература[Sudah Terbit] PELIK "haruskah aku relain kamu dengannya?" Rayn belum pernah jatuh cinta. Gimana mau jatuh cinta kalau ngenali muka orang saja enggak bisa. Ia mengidap face-blindness yang dirahasiakannya mati-matian. Saat cinta akhirnya menyapa, Ray...