7. Teralihkan

15.4K 2.1K 357
                                    


Sebetulnya, ada dua tempat makan di gedung SMA Darmawangsa. Satu di lantai dasar, berupa kafe kecil, menjual kudapan saja. Dan satu lagi di lantai empat, kafetaria sesungguhnya, yang luas dan segala ada. Tapi karena selalu ramai, kafetaria biasanya dihindari Rayn. Seringnya Rayn membawa bekal dan dimakan di taman, yang berarti Ardi bisa meninggalkannya sendiri. Atau kalau Mami Kiara tidak sempat menyiapkan bekal, Rayn memilih kafe di bawah, dan Ardi akan menemani.

Namun kali ini, Ardi membawa Rayn ke kafetaria pada saat istirahat makan siang, untuk memenuhi janji pada Annabelle. Rayn harus mentraktir cewek itu sebagai imbalan informasi. Sekalian mencari Mitsuha, kata Ardi.

"Kafetaria bau segala macam makanan." Rayn meringis. "Bakal susah melacak wangi bedak."

"Kecuali kalau Mitsuha lewat di dekatmu," kata Ardi. "Jadi, kita harus duduk dekat pintu, kamu baui saja setiap cewek yang masuk."

Ardi tidak bermaksud bercanda, tapi Rayn terkekeh sendiri. "Seperti anjing pelacak narkoba di bandara, ya," katanya, membuat Ardi terdiam terenyuh. Tapi tiba-tiba Rayn melingkarkan lengan di lehernya, lalu mengulek kepalanya.

"Ampun ...." Ardi tertawa sambil berusaha melepaskan diri. Rayn peka dengan perubahan bahasa tubuh. Dulu pernah bilang, kalau kelemahannya bisa bikin Ardi yang periang saja jadi sedih, berarti ia harus lebih sedih dari Ardi. Itu sebabnya, Ardi sedapat mungkin tidak menunjukkan keprihatinan. Dan Rayn akan mengimbangi keriangannya. Selalu ada aksi dan reaksi di antara mereka. "Ayo cepat, nanti kehabisan! Sudah kubilang, jangan ngaku sekolah di sini kalau belum ngerasain gado-gado di atas."

Ardi berlari menaiki tangga, Rayn menyusulnya dengan melompati dua anak tangga sekaligus. Semangat Mitsuha, pikir Ardi geli, bukan termotivasi gado-gado. Perancang sekolah ini punya selera humor yang aneh, meletakkan kafetaria di lantai tertinggi. Dari kelas, naik dua lantai, yang lapar akan semakin kelaparan. Setelah makan nanti, turun tangga bikin lapar lagi. Sengaja begitu barangkali biar kafetaria semakin laku.

Meja dekat pintu masuk ternyata sudah diduduki sekelompok anak kelas 11. Mata Ardi menyapu sekeliling dan menemukan Annabelle yang sudah lebih dulu naik, duduk sendirian di dekat jendela. Melambai kepada mereka. Untung antrean makanan sudah tidak terlalu panjang dan gado-gado masih ada. Mereka pun membawa nampan makanan, bergabung dengan cewek itu.

"Kenapa lama sekali?" Annabelle cemberut pada Rayn. Mata sipitnya membelalak.

"Sorry. Miss Tan ngajak Ardi ngobrol agak lamaan tadi."

"Mestinya kamu ke sini aja duluan, Ardi kan bisa nyusul. Sepaket sih sepaket, tapi masa sih sampai kayak buntut Ardi gitu, Rayn? Aku sampai mikir, kamu kayak takut tersesat kalau sendirian. Sudah beberapa bulan di kelas 10 kok masih kayak murid baru. Aneh banget."

Ardi nyaris tersedak. Kalau ada satu saja yang berpikir begitu, yang lain pun bisa berpikir seperti itu. Artinya mereka berdua sudah menarik perhatian, menimbulkan tanda tanya. Ardi membuka mulut untuk membela Rayn dengan satu alasan kreatif, tapi sahabatnya sudah mendahului.

"Ardi itu mataku. Aku enggak bisa lihat tanpa dia." Rayn berkata tenang, dengan senyum tipis.

Ardi terkesiap. Tidak menyangka Rayn bakal lempeng begitu. Jawaban jujur yang berbahaya kalau dianggap serius lalu mengundang pertanyaan lebih jauh. Ia memandang Annabelle dengan khawatir.

Gadis itu membelalak, kemudian tertawa. "Kamu bisa ngelawak juga ternyata! Atau kebanyakan baca romans, ya?"

Diam-diam Ardi mengembuskan napas lega. Memberi Rayn tatapan Rayn-kamu-sudah-bikin-jantungku-copot-kita-perlu-bicara-serius-nanti. Tapi hanya dibalas Rayn dengan cengiran tanpa dosa. Duh!

PELIK [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang