Rayn membayar dua botol soft drink untuk Annabelle dan Ardi. Ia sendiri lebih suka air bening, tidak dingin, tidak panas. Di rumah, Mami biasa menyediakan air infusion jeruk nipis dan daun mint. Lebih ampuh menepis dahaga ketimbang minuman manis bersoda. Kalau soft drink, habis diminum, haus malah menjadi-jadi.
Tadi, Annabelle mempertanyakan kebiasaannya menjadi buntut Ardi. Berkilah dengan jawaban palsu sama saja dengan ngasih soft drink, bakal membuat cewek itu semakin haus fakta. Lebih baik jujur saja, toh kebutaannya terlalu aneh untuk dipercaya. Paling-paling, ia hanya akan dianggap bercanda.
Selama ini, ia biarkan Ardi memudahkan interaksi dengan teman-teman. Tapi kejadian di pesta Jocelyn, membuat Rayn sadar, ia terlalu bergantung pada Ardi. Sekalinya Ardi tidak ada, ia merasa begitu tidak berdaya. Ketakutan. Tidak boleh lagi. Satu kelemahan tidak meniadakan kemampuannya yang lain. Ia harus belajar menguasai keadaan, mengendalikan situasi. Sedikit demi sedikit, mulai jujur pada orang-orang yang ia pentingkan dalam hidup. Persiapan untuk bertemu dengan Mitsuha lagi.
Kafetaria mendadak heboh. Sesuatu tengah terjadi di salah satu meja di tengah-tengah ruangan. Menarik perhatian pengunjung. Membentuk kerumunan di sekitarnya dengan cepat. Rayn harus melalui mereka untuk kembali ke mejanya. "Permisi, permisi ...," katanya sopan, sambil menyeruak.
Persis di depan keributan, Rayn berhenti. Ada cewek berdiri memegang gelas. Rambutnya panjang bergelombang. Di depannya, cowok jangkung berkulit putih berambut pirang bermata biru yang sedang marah-marah dengan umpatan aneh. Rambutnya berlepotan cairan putih yang mulai menetes ke pipi, leher, dan kausnya. Anak-anak di sekitar Rayn cekikikan. Padahal jelas ini bukan komedi. Karena kemudian cewek satu lagi yang berambut pendek bereaksi. Berbicara tergagap-gagap, dan akhirnya lari. Si cowok bule itu mengejarnya.
Tidak jelas apa masalah mereka, tapi anak-anak di sekitarnya ramai menyebut cinta segitiga, Wynter kena batunya, kasihan Hya. Oh, Hya? Yang berambut pendek itu Hya? Rayn menggeleng prihatin. Terlalu banyak drama di sekolah ini, pikirnya. Sayangnya, drama, seseru apa pun, tidak membantu Rayn mengenali para pemerannya.
Jadi, ketika cewek berambut panjang yang menyiram si cowok dengan jus akhirnya berbalik, Rayn tidak peduli. Oh ya, mereka bertatapan sesaat. Tidak ada yang familier.
Rayn pun menyingkir. Matanya tiba-tiba menangkap segumpal rambut yang disanggul dan ditusuk pensil. Pemiliknya berkacamata, tergesa-gesa bergerak ke pintu keluar. Mitsuha? Begitu saja Rayn memberikan dua botol minuman pada sembarang orang di dekatnya. Lalu mengejar cewek itu keluar dari kafetaria.
Dari puncak tangga, Rayn berseru ke bawah. "Hei, tunggu!"
Cewek itu mendongak. Kacamatanya utuh. Mungkin sudah diperbaiki? Rayn turun tiga anak tangga mendekati. Tidak ada wangi bedak.
"Oh, hai Ryan!" Lalu tawanya pecah.
Memanggilnya Ryan? Dan tawanya kayak gelas dibanting? Oh, tidak. Sama sekali bukan Mitsuha. Tapi sudah kepalang. "Kamu punya Runako? Aku mau pinjam kalau ada."
Cewek itu menggaruk pipi. "Runako apaan?"
"Nevermind." Rayn mengibaskan tangan. Merasa konyol sendiri. Cewek mana pun bisa berkonde pensil atau sumpit kalau rambutnya panjang. "Maaf. Aku harus balik ke kelas," lanjutnya sambil terburu-buru turun tangga. Pura-pura tidak mendengar panggilan cewek itu.
Di lantai tiga, Rayn berhenti. Ruang-ruang ekskul yang sepi di kanan kiri selasar dan perpustakaan di ujung sana. Masih ada waktu tujuh menit sebelum pelajaran berikutnya dimulai. Rayn bergegas ke perpus. Mitsuha sedang menyelesaikan Runako buku ketiga waktu mereka bertemu di taman bonsai rumah Jocelyn. Kalau gadis itu pinjam dari perpustakaan, besar kemungkinan namanya ada di kartu peminjaman buku kesatu dan kedua. Cukup waktu untuk memeriksanya. Siapa tahu juga Mitsuha ada di sana. Mungkin lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan ketimbang di kafetaria.
KAMU SEDANG MEMBACA
PELIK [Sudah Terbit]
Fiksi Remaja[Sudah Terbit] PELIK "haruskah aku relain kamu dengannya?" Rayn belum pernah jatuh cinta. Gimana mau jatuh cinta kalau ngenali muka orang saja enggak bisa. Ia mengidap face-blindness yang dirahasiakannya mati-matian. Saat cinta akhirnya menyapa, Ray...