18. Badai Raiden (a)

11.7K 1.7K 464
                                    


Kangen. Megan hafal banget rasanya. Kalau lebih dari sebulan enggak pulang kampung, ia pasti rindu Bunda, Ayah, Meila, Mirza, dan Maghfira. Tapi kali ini kangennya bukan untuk keluarga. Duh, kok enggak enak ya bilang gitu? Ralat. Ia kangen pada keluarga, tapi di atas itu ada kangen lain yang lebih menyiksa.

Cowok taman bonsainya. Oh, astaga, berani-beraninya pakai kata ganti milik! Sebut saja Rayn. Sejak Jumat malam, Megan pengin banget meneleponnya. Untuk memastikan Rayn baik-baik saja dan mendengar suaranya lagi. Tidak harus menyanyi. Cukuplah dengan bicara. Tapi akal sehat Megan mencegah ia meraih ponsel. Mau bilang apa pada Rayn? Kebayang malunya kalau sampai tergagap-gagap dan ketahuan cari-cari alasan saja.

Ada sih alasan yang tepat. Raiden. Megan bisa ceritakan pesan-pesan cowok itu di LINE. Gimana ia nyaris memaki-maki tapi akhirnya memilih diam. Gimana ia khawatir dengan Rayn gara-gara ancamannya, walau enggak jelas apa yang akan dilakukan Raiden.

Tapi kebayang Rayn bakal bertanya, "Kenapa dia gitu amat sih sama aku?"

"Karena Raiden cemburu sama kamu."

"Kok bisa?"

"Dia kira kamu gebetanku."

"Oh ya? Apa dasarnya?"

"Emang gaje aja tuh cowok."

"Hmm. Enggak ada asap kalau enggak ada api. Mungkin dia lihat kamu gimana gitu ...."

Oh tidaaaaak! Megan menghapus dialog imajiner itu dari benaknya. Ia sendiri heran Raiden bisa menebak begitu tepat. Seolah ada tulisan di jidatnya, 'Aku naksir Rayn'. Ah, sudahlah. Jangan pakai Raiden sebagai alasan untuk menelepon Rayn. Enggak rela juga kalau Rayn jadi kepikiran soal ancaman si gondrong. Megan harus selesaikan urusan dengan Raiden sendiri.

Semakin jelas enggak ada alasan menghubungi Rayn, semakin kuat dorongan untuk melakukannya. Sialnya, semesta ikut menggoda. Buku yang biasanya jadi penawar galau malah meledek. Beberapa novel sampai dilempar Megan waktu menemukan kutipan jleb. Tapi kata-kata sudah kepalang menancap di otaknya.

Kangen kamu kayak gelombang pasang. Aku tenggelam.

Aku ingin kamu ada di sini. Atau aku ada di sana. Atau kita bersama di mana saja.

Aku kangen kamu cuma kalau lagi bernapas kok.

Aku ingat kamu sebelum tidur. Aku kangen kamu begitu terjaga.

Fakta paling bikin baper: kangen seseorang sambil bertanya-tanya, dia kangen aku juga enggak sih.

Nanar Megan memandangi ponselnya lagi. Harusnya teknologi dikembangkan hingga benda itu bisa jadi penguat dan pengantar sinyal otak. Aku kangen Rayn, suruh dia telepon duluan!

Sabtu pagi, Rayn meneleponnya.

Terkejut dan gugup, Megan menyenggol salah satu tumpukan buku yang sudah disusunnya berdasarkan Klasifikasi Persepuluh Dewey. Tak urung menara itu tumbang, menimpa tumpukan di sampingnya. Buku-buku berjatuhan ke meja dan lantai. Untung ia berada di ruang sortir perpustakaan sendirian. Walau tak urung omelan Tante Naura terngiang, "Jangan tumpuk terlalu tinggi. Kamu lagi akrobat apa beresin buku?"

Tapi segera suara Rayn menyita perhatiannya. Terdengar gugup tapi bersemangat. Menawari Megan pekerjaan jaga toko buku tiap Sabtu dan Minggu dari pagi sampai sore. Memintanya datang sekarang kalau bisa. Lebih dari apa pun, Megan ingin sekali ke sana, bertemu Rayn. Tapi pekerjaan di sini tidak bisa diabaikan. Masih banyak buku yang tersebar di meja-meja habis dibaca orang. Ia harus mengumpulkan semuanya, memilah-milah, lalu mengembalikan satu demi satu ke tempat yang tepat di rak.

PELIK [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang