Hari minggu pagi, syukurlah kekhawatirannya enggak terjadi. Dengan pakaian dan aksesoris identitas, ia mudah ditemukan Rayn di Alika's Café and Used Books. Mereka kemudian mengobrol akrab dengan Tante Alika. Megan langsung diterima karena pengalamannya di perpusda. Honornya sedikit lebih besar ketimbang dari perpusda, dengan pekerjaan relatif lebih ringan. Hanya melayani pengunjung, beres-beres buku, dan mencatat hasil penjualan. Megan diminta langsung bekerja karena Tante Alika harus pergi dan baru akan kembali sore nanti. Ia pun memakai apron biru berlogo Alika's, kontras dengan tiga staf kafe yang memakai apron merah. Rayn mengacungkan jempol.
Sepeninggal wanita itu, Megan mulai mengakrabkan diri dengan area toko buku, yang terpisahkan dari kafe oleh rak-rak buku tinggi dan kukuh. Rayn menemaninya. Dikelilingi buku dan didampingi cowok yang kamu suka, apa yang lebih sempurna dari itu? Obrolan memang hanya seputar buku yang sudah mereka baca, tapi itu berarti neverending topic. Dan keluar dari mulut Rayn, kata-kata dari buku yang awalnya enggak terlalu bermakna baginya, mendadak jadi kutipan keren.
Tahu-tahu saja, mereka sudah perang kutipan. Megan senang sekali kalau bisa mengingat dari buku mana dan siapa penulisnya. Tapi enggak perlu waktu lama, skor Rayn melejit. Bacaannya jauh lebih banyak dan beragam. Megan sama sekali tidak berkeberatan kalah. Mungkin karena ia sudah cukup bahagia melihat Rayn begitu santai, tidak menahan-nahan diri. Wajahnya semringah. Banyak bicara.
"Kamu sudah baca ini, The Map of Time, Felix J. Palma?" Rayn melompat turun dari tangga aluminium, rambutnya berantakan, hidungnya cemong oleh debu.
Megan melongo. Matanya hanya sekilas memandang novel berlapis debu tipis di tangan Rayn, lalu kembali pada wajah cowok itu.
"Buku kedua dan ketiganya, The Map of the Sky dan The Map of Chaos, tadi kulihat di rak belakang. Trilogi ini campuran sci-fi, misteri, dan fantasi." Rayn mengusap keringat. Cemongnya tambah cap tiga jari di dahi sekarang.
Ya, ampun. Megan buru-buru mengambil selembar tisu basah dari meja kasir. Sambil cekikikan geli, ia kembali ke depan Rayn dan mengulurkan tangannya. Tidak memedulikan Rayn yang membeku dan terbelalak, Megan membersihkan hidung, dahi, dan rambut Rayn. Lalu menunjukkan tisu bekasnya. Hitam.
"Wow, enggak nyadar sekotor itu," kata Rayn agak serak. Disusul dehamnya. "Sepertinya bakal banyak kerjaan buatmu. Mengembalikan buku-buku yang tersesat plus membersihkan debunya."
"Hanya di rak-rak atas. Kalau yang di bawah tampak bersih dan rapi."
"Aku bantu deh. Habis makan siang, ya?"
"Jangan. Ini kerjaanku. Kamu harus melamar kerja sendiri sama Tante Alika. Coba saja, masih ada lowongan apa enggak?" Megan tertawa. Lalu mendorong Rayn ke lorong di belakang konter. "Bersihkan dulu tanganmu. Habis itu kita makan siang, aku yang traktir. Eh, jangan protes dulu, anggap saja persenan buat guide."
Rayn tersenyum dan beranjak menuju restroom. Megan duduk di belakang konter, menunggu sambil membersihan novel yang diambil Rayn. Semoga bukan ini yang direkomendasikan Rayn untuk ia baca. Karena belum apa-apa, ketebalannya sudah bikin Megan baper. Tapi ia buka-buka juga isinya.
"Selamat siang." Seseorang menyapa.
Pelanggan pertama, pikir Megan, mendongak. Dan terkejut.
Raiden berdiri di depannya. Hampir saja ia tidak mengenali karena rambut cowok itu dipangkas pendek, rapi. Mata sipitnya berbinar riang. "Kamu kerja di sini sekarang?"
"Ya. Kamu patuh aturan sekolah sekarang?"
Raiden tertawa. "Bukan karena aturan sekolah. Tapi perlu dilakukan untuk misi penyelidikan. Ssst, aku sedang menyamar. Jangan panggil aku Raiden kalau temanmu keluar nanti."
KAMU SEDANG MEMBACA
PELIK [Sudah Terbit]
Подростковая литература[Sudah Terbit] PELIK "haruskah aku relain kamu dengannya?" Rayn belum pernah jatuh cinta. Gimana mau jatuh cinta kalau ngenali muka orang saja enggak bisa. Ia mengidap face-blindness yang dirahasiakannya mati-matian. Saat cinta akhirnya menyapa, Ray...