Lucy menariknya melintasi halaman, ke arah rest room di sudut tempat parkir.
"Hei, pelan-pelan dong, bisa jatuh nanti. Aku kan enggak biasa pake high heels." Megan menggerutu. Lucy seperti enggak mendengar. Ia baru dilepaskan setelah mereka sampai di dalam. Lengan gaunnya melorot akibat tarikan itu.
Lucy memeriksa setiap bilik. Kosong semua. Ia mengibaskan rambut pirang-abunya ke belakang, lalu bersedekap, menatapnya marah. "Apa itu tadi?"
"Apanya yang apa?" tanya Megan, berusaha tidak terprovokasi.
"Jangan pura-pura bodoh. Kamu sudah menandatangani perjanjian untuk empat tugas. Baru pertama saja sudah mengacau." Lucy menepuk tas tangannya. Surat utang dan perjanjian Megan ada di sana.
Megan menyemburkan napas. "Sudah kulaksanakan. Satu gelas minuman untuk Wynter seperti yang kamu mau. Enggak bisa di kepala, aku enggak nyampe. Kamu lupa, Wynter tinggi banget, ada kali 180 cm. Dan dia enggak pernah bisa duduk diam dua menit aja. Kalau kata orang-orang tua di kampung, bokong kukusan. Kamu tahu kukusan jadul buat bikin tumpeng? Terbuat dari anyaman bambu, bentuknya kerucut, enggak bisa diberdirikan pada ujung lancipnya, pasti oleng dan muter ... iya, iya, aku diam deh. Enggak usah melotot begitu. Silakan ngomong."
Lucy mendecak kesal. "Kenapa kamu enggak bilang seperti yang aku suruh? Kamu malah ngomongin kecoak enggak jelas. Kupikir kamu cukup cerdas untuk paham tugasmu."
Megan memandang Lucy, serius sekarang. Oh ya, ia paham betul instruksi Lucy untuk tugas pertamanya: Guyur kepala Wynter sambil bilang, "Kita putus!"
Menyiram Wynter dengan minuman enggak masalah. Cowok itu pantas dikasih terapi-kejut setelah bikin dia senewen dengan kecoak. Tapi bilang putus? No way! Memang cuma pura-pura, biar Wynter ribut sama ceweknya, dan sakit hati Lucy terlampiaskan. Tapi Megan punya dua alasan kuat untuk tidak menuruti kemauan Lucy.
Pertama, ia enggak mau cari musuh baru. Hidupnya sudah cukup pelik berurusan dengan orang kayak Lucy, masa harus ditambah cewek Wynter pula?
Kedua, gengsi amat mengakui Wynter sebagai pacarnya. Kayak enggak ada cowok lain saja untuk gebetan. Kalau niat cari, hmm ... Megan tiba-tiba ingat cowok di taman bonsai tadi. So cute ... dan suka baca! Buku yang disukainya sama pula. Aaah, siapa dia, ya? Anak Darmawangsa bukan? Kalau ya, mungkin murid baru di kelas 11 atau 12. Ia enggak sempat kenalan gara-gara Lucy memanggilnya kayak kebakaran alis saja.
"Kamu harus ulangi tugas pertama ," Lucy menyela pikirannya. "Tapi pastikan Hya dengar kamu bilang putus."
Megan menatapnya tak percaya. "Urusanku cuma sama kamu, Luce. Kalau aku setuju ngapa-ngapain Wynter, itu karena aku juga punya masalah sama dia. Tapi kalau kamu suruh aku menyakiti ceweknya, aku enggak mau. Aku enggak kenal dan enggak ada urusan."
"Kamu lebih suka surat utang ini aku pamerkan di kelas?" Lucy tersenyum. Lebih tepat menyeringai, karena sorot matanya begitu dingin.
"Enggak. Aku masih ingin teman-teman percaya sama aku. Itu murni kecelakaan, aku kurang perhitungan. Enggak akan terjadi lagi. Kasih aku kesempatan untuk melunasi dengan cara wajar." Bahkan saat meminta, Megan tahu Lucy pasti menolak. Ia mendesah. Pilihan lainnya adalah mengaku dan minta uang pada Tante Naura. Risikonya, Ayah-Bunda jadi tahu dan bersedih. Malah mungkin akan mengambil keputusan ekstrem, menyuruhnya pulang ke lereng Gunung Manglayang dan sekolah di sana, jauh dari segala kemudahan.
Lucy mendengkus. "Sebaiknya aku tegaskan sekarang, aku enggak terima pengembalian dalam bentuk uang, sampai kapan pun. Kamu kerjakan saja empat tugasmu biar lunas, atau seluruh kelas tahu skandal uang kas ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
PELIK [Sudah Terbit]
Подростковая литература[Sudah Terbit] PELIK "haruskah aku relain kamu dengannya?" Rayn belum pernah jatuh cinta. Gimana mau jatuh cinta kalau ngenali muka orang saja enggak bisa. Ia mengidap face-blindness yang dirahasiakannya mati-matian. Saat cinta akhirnya menyapa, Ray...