11. Yang Dibela Yang Ditekan

14K 1.8K 254
                                    


"Ardiiiii!"

Panggilan itu menghentikan langkah Rayn dan Ardi. Baru separuh jalan dari gerbang menuju gedung SMA. Bersamaan mereka berbalik. Seorang gadis berlari-lari kecil menyusul mereka. Rambutnya yang diikat di belakang leher bergoyang-goyang.

"Itu Megan," kata Ardi. Suaranya mengalahkan semangat matahari yang baru mengintip di Timur. Sementara tangannya heboh membalas lambaian.

Rayn menyikut sahabatnya sambil tertawa menggoda. "Oke deh. Aku duluan kalau gitu." Ia berbalik lagi.

"Tapi Megan sudah lihat kamu, pasti bakal nanya."

"Bilang aja ada yang harus aku kerjakan sebelum bel masuk." Dan Rayn bergegas meninggalkan Ardi. Mungkin sepuluh langkah lagi saja cewek itu sudah sampai di depannya. Ia memperlebar jarak dengan berlari-lari kecil memintas areal parkir alih-alih menyusuri trotoar mengitari taman.

Mencoba mandiri. Memberi Ardi kesempatan. Dua-duanya bisa dilakukan bareng. Aku bisa, pikir Rayn, memasuki lobi. Be cool. Be kind. Senyumi saja, kalau ada yang memandang ke arahmu. Balas sapaan dengan wajar, tanpa menyebut nama. Jangan terlalu jujur menunjukkan ekspresi enggak ngenali muka orang.

Kata-kata Ardi bergema di telinganya. Rayn menutupi kegugupan dengan bersiul pelan. Banyak siswa, beberapa guru, ada yang menyapa, banyak yang tidak. Sejauh ini oke. Ia berjalan ke arah tangga di sayap kiri, otomatis melalui jalan yang kurang diminati orang. 

Untuk melemaskan otot-otot kaki, Rayn naik dengan melompati anak tangga dua-dua sekaligus. Di bordes menuju lantai dua, ia berhenti. Hidungnya mengendus bau tajam cat semprot. Apa sedang ada tukang-tukang melakukan pemeliharaan? Aneh. Biasanya ada peringatan agar siswa tidak melalui bagian yang sedang dibenahi.

Tawa kecil terdengar di atasnya. Cowok. Lalu bunyi semprotan. Ah, ini bukan pemeliharaan, tapi siswa yang tengah main-main dengan pylox. Rayn lanjut naik tanpa memikirkan akibatnya. Tahu-tahu saja ia berhadapan dengan cowok berambut gondrong dengan kucir asalan. Di tangannya ada kaleng pylox terbuka. Bau di sekitar situ begitu tajam, Rayn sampai menyangka seisi kaleng telah disemprotkan semua. Tapi tidak ada bekas-bekas coretan di dinding, lantai, atau daun pintu darurat. Cat transparan, pikir Rayn cepat. Untuk apa?

"Apa?! Kamu lagi!" Cowok itu berkacak pinggang.

Mungkin mereka pernah bertemu sebelumnya. Mungkin juga tidak. Rayn tidak peduli, juga tidak takut. Tapi buat apa juga berurusan dengan siswa kurang kerjaan sebelum masuk sekolah. Jadi ia hanya mengangguk dan melewati cowok itu untuk keluar ke koridor.

"Kamu bisu ya?"

Tahu-tahu cowok itu menarik bahunya. Refleknya bekerja tanpa mengecewakan. Rayn menangkap tangan itu sambil berbalik waspada. Langsung berhadapan dengan mata si gondrong yang melotot marah. Ia melepaskannya lagi. "Kerjain saja urusan masing-masing," katanya santai. "Aku mau ke kelas."

"Sombong 'kali!" bentak cowok itu dengan logat yang tidak Rayn kenali asalnya. "Hei! Kamu kelas 10! Berhenti dulu kalau kakak kelasmu ngomong! Jangan kurang ajar!"

Rayn berhenti, berbalik. Bertanya dengan nada ironis. "Ada yang perlu Kakak bicarakan dengan aku?"

Cowok itu mendekat pelan-pelan, dengan gerakan mengancam. Rayn bergeming. Ia tahu itu ciri-ciri gertakan belaka dari pelatih martial art-nya. Benar saja, ketika jarak mereka kurang dari selangkah, cowok itu tidak maju lagi, malah mundur sedikit. Secara naluriah mencari posisi aman. Tapi lagaknya masih tengil. Ia mendorong dada Rayn dengan tangan kiri yang tidak memegang cat semprot. Tidak keras, tujuannya memang untuk memancing kemarahan saja.

PELIK [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang