Untuk kesekian kalinya, Rayn menatap bayangan di cermin. Tentu itu dirinya, bukan orang lain. Karena sudah jelas, ia ada di kamarnya sendirian. Dan karena ia bertelanjang dada, bentuk badannya ia hafal, dengan tanda lahir merah di bawah bahu kanan terlihat jelas. Sebetulnya, Rayn dan cermin sama sekali tidak kompatibel. Apalagi cermin di luar kamar dan di tempat umum seperti selasar sekolah. Cermin sering menipunya. Ia dibuat terheran-heran karena ada orang lain memandanginya sedemikian rupa, lalu membalas lambaian tangannya. Ardilah yang selalu waspada, menarik Rayn menjauhi cermin sebelum ia menyapa bayangan sendiri. Menyelamatkannya dari rasa malu. Atas laporan Ardi, Mami kemudian menyulamkan logo RXW di saku semua baju Rayn.
Di kamar yang aman pun, Rayn jarang becermin. Buat apa? Ia bisa sisiran sambil jalan. Dan ada Mami yang memeriksa kerapian seragamnya.
Tapi sejak bangun tidur pagi ini, rutinitasnya terganggu. Rayn berusaha keras mengingat wajahnya sendiri. Tahan. Jangan berkedip. Ia bisa melihat matanya yang cokelat terang sewarna madu. Balas memandangnya sendu. Tahan. Jangan berkedip. Hidungnya mancung. Papi pernah bilang, Rayn memiliki hidung Mami. Rayn percaya saja kata Papi. Tahan. Sebentar lagi. Bibirnya penuh membentuk garis lurus karena ia terlalu berkonsentrasi. Kalau ia tersenyum, matanya cenderung berkedip, bakal buyar lagi apa yang sudah ia amati.
Dan Rayn pun berkedip. Wajah di cermin menjadi asing lagi baginya. Kecuali rambut acak-acakan dan tanda lahir di bawah bahu kanan. Rayn menghela napas. Terima sajalah, otaknya tidak mampu merekam pengamatannya. Bahkan saat beralih memperhatikan hidung, ia sudah lupa bentuk matanya. Saat ia mengamati bibir, hidung dan mata pun luput dari ingatan.
Mata, hidung, dan mulut adalah fitur utama pembentuk wajah. Otak normal memproses variasi unik ketiganya, dikaitkan dengan nama si pemilik. Voila, hasilnya adalah wajah-wajah yang berbeda dan punya nama. Otak normal merekam data itu, dan mudah saja mengingat lagi, misalnya saat bertemu kenalan lama, atau saat ditunjukkan foto mata yang diambil dari wajah aktor terkenal.
Itu otak yang normal. Bukan otaknya. Bagian penting untuk memproses wajah manusia di otaknya tidak berfungsi atau memang tidak ada sejak awal. Selama ini, Rayn merasa sudah berdamai dengan kekurangannya. Lalu kenapa mendadak sesal membuncah lagi? Ia duduk di tepi dipan, memegangi kepala. Matanya sudah berat tergenang. Tidak, tidak. Jangan menangis. Beberapa hari lagi, 16 November, usianya genap 17. Be a man. Be tough. Be what you are. Rayn menyusut mata dan hidungnya. Sadar betul, ia mendadak baper gara-gara Mitsuha.
Bagaimana ia mencari gadis itu dengan petunjuk begitu minimalis? Dibantu Ardi pun, ia tidak yakin. Kalaupun nanti ketemu karena suatu keajaiban, bagaimana ia akan mendekatinya? Kalaupun nanti bisa dekat, bagaimana ia akan menceritakan keganjilan otaknya? Kalaupun ia sanggup bercerita, ada dua kemungkinan, Mitsuha jadi jatuh iba atau lari ketakutan. Sama-sama bukan respons yang bagus. Tapi, masa sih ia harus menyimpan rahasia selamanya dari orang yang ia sayangi?
Aduh, kata terakhir itu membuat mukanya panas. Malu sendiri.
Intinya, Rayn ingin Mitsuha menerimanya apa adanya.
Tapi itu meminta terlalu banyak. Pada seorang gadis yang namanya saja belum ia ketahui. Semalam, begitu sampai di rumah, ia ceritakan semua pada Mami, termasuk perasaan dan kecemasannya.
"Satu-satu, Rayn." Mami menepuk-nepuk tangannya. "Cari dulu sampai ketemu. Lain-lainnya belakangan. Apa yang bisa Mami bantu?"
"Belikan bedak bayi semua merek dengan semua variannya, Mi. Sekarang Rayn masih ingat wanginya. Tapi besok-besok, enggak yakin."
Mami langsung memborong bedak di supermarket terdekat. Di meja belajarnya sekarang sudah ada 15 botol baby powder dari merek paling populer di Indonesia. Rayn memandanginya dengan jantung berdebar. Tidak berani menyentuh apalagi menghidunya. Khawatir tanpa alasan yang jelas. Ia menunggu Ardi datang, untuk mulai menyelidik bareng. Tapi ke mana anak itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
PELIK [Sudah Terbit]
Teen Fiction[Sudah Terbit] PELIK "haruskah aku relain kamu dengannya?" Rayn belum pernah jatuh cinta. Gimana mau jatuh cinta kalau ngenali muka orang saja enggak bisa. Ia mengidap face-blindness yang dirahasiakannya mati-matian. Saat cinta akhirnya menyapa, Ray...