19. Indigo Rose

12.4K 1.6K 481
                                    



Kalau cuma cuci tangan, enggak perlu lama-lama di restroom. Tapi Rayn perlu waktu untuk menenangkan diri. Sejak chat semalam, Megan enggak cuma bikin perasaannya beriak-riak, tapi bergelombang pasang. Gimana enggak? Gadis itu menyapanya di Line, tepat saat ia nekat mau meneleponnya. Excited, katanya. Juga baper entah kenapa. Sama seperti yang Rayn rasakan.

Saking excited-nya, Rayn enggak sadar berubah-ubah pose saat mengetik: dari duduk di tepi dipan, rubuh telentang, meringkuk miring, bergulingan, tengkurap, sampai akhirnya bersila di pojok kasur. Tidak seperti Ardi yang lasak karena mimpinya, ia lasak saat terjaga gara-gara perasaannya meluap-luap.

Belum surut hingga detik ini. Cermin di atas wastafel memantulkan muka yang baru ia lihat. Tapi jelas itu dirinya. Sorot matanya seakan menari-nari. Rayn berkedip. Menatap lagi. Kali ini mendapati senyum di bibir, yang semakin lebar dalam beberapa detik saja. Apakah ekspresinya memenuhi definisi tampang kasmaran yang dideskripsikan di novel? Rayn sudah enggak yakin lagi. Tapi hatinya bilang begitu, dan ia percaya.

Didukung otak yang merekam apa yang ia rasakan ketika Megan membersihkan mukanya. Bukan tisu basah dingin yang membuatnya terbelalak membeku. Tapi posisi mereka telah memecahkan rekor kedekatan untuk pertama kalinya. Harum bedak bayi mengingatkannya pada pertemuan pertama. Usapan lembut pada hidung dan dahinya masih terasa. Menciptakan sensasi barisan semut merayap di sepanjang punggung, sementara getaran aneh memenuhi rongga dada.

Ah, kakinya jadi lemas sekarang. Tidak, ia belum siap keluar.

Rayn membuka kran dan menampung air di tangan untuk membasuh muka. Sadar dong! Jangan terhanyut. Ingat Ardi.

Ya, ingat Ardi. Rayn memejamkan mata dan mengatur napas. Berangsur dapat mengendalikan diri. Setelah yakin benar, ia keluar dari restroom. Berjalan hingga ke ujung lorong, tapi instingnya tiba-tiba menyuruh berhenti. Tampak Megan berdiri membelakanginya dengan tangan terkepal di kanan-kiri tubuh, berbicara dengan marah dan tegang.

"Kamu keterlaluan! Ngapain stalking dan ngorek-ngorek urusan orang? Kalau enggak serius beli buku, tolong pergilah. Aku sedang bekerja."

Rayn segera mundur ke balik dinding partisi. Sadar betul kemunculannya pasti akan mengganggu privasi Megan dengan lawan bicaranya. Cowok seumuran mereka, entah siapa, yang berbicara lebih pelan. Hanya ujung kalimatnya yang dapat Rayn tangkap.

" ... kalau sudah jelas aku kalah bersaing. Jadi, beri aku kejelasan."

"Kejelasan apa?"

"Kamu tahu masalahnya. Tapi tetap jadian sama dia." Kali ini kata-kata cowok itu keras dan jelas.

Rayn tidak mendengar jawaban Megan. Gadis itu celingukan, bahkan menoleh ke belakang. Rayn segera menempel rapat ke dinding. Sungguh tidak patut sembunyi dan menguping begini, pikirnya. Tapi kata-kata cowok itu bikin penasaran. Apa maksudnya dengan Megan tetap jadian sama dia? Dia siapa? Masalah apa?

"Tentu saja jadi urusanku, Megan. Karena aku suka kamu. Nah, aku sudah ngakui blak-blakan. Enggak masalah kamu tolak asal alasanmu jelas."

Dahi Rayn sudah berkerut rapat. Suara cowok itu mulai terdengar familier. Tapi ia enggak pernah tahu kalau ada cowok lain lagi yang naksir Megan, dan sekarang mengakui dengan cueknya. Rayn menggertakkan gigi. Dasar cowok tengil enggak peka. Sepertinya sudah ditolak tapi masih ngotot. Ardi mungkin kenal dia kalau lihat fotonya. Maka Rayn mengeluarkan ponsel dari saku. Mengatur setting kamera agar beroperasi tanpa bunyi. Zoom ke wajah cowok itu, dan jepret beberapa kali. Akan ia tunjukkan pada Ardi nanti. Rayn mengantongi ponsel dan kembali menyimak. Menangkap suara Megan di tengah kalimat.

PELIK [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang