10. Si Unyeng-Unyeng Dua

15.1K 2K 606
                                    


Setelah makan malam dan kembali ke kamar, Rayn baru lihat tiga misscall Ardi dalam setengah jam terakhir. Sepertinya penting banget. Tapi kalau penting, kenapa enggak telepon ke rumah? Ardi tahu kok, Mami dan Papi paling enggak suka lihat ponsel di meja makan. Aha, Ardi takut yang ngangkat salah satu dari mereka. Pasti urusan yang sangat pribadi.

Ia menelepon Ardi.

"Rayn!" Ardi nyaris menjerit.

"Wow, tenang. Ada apa?"

"Ibu mendadak harus pulang kampung tadi. Ninin sakit. Jihan diajak. Aku sendirian ...."

"Oh ...." Rayn menjauhkan ponsel untuk tersenyum lebar. Khawatir seringai gelinya terdeteksi. Si unyeng-unyeng dua yang petakilan ini enggak takut apa pun kecuali dua: anjing galak dan ditinggal sendirian di rumah.

"Silakan ketawa," kata Ardi uring-uringan. Enggak ada yang lepas dari radarnya. "Tapi coba deh, nginep sini sendirian. Malam-malam. Jauh dari mana-mana. Sekelilingmu sawah gelap, dan mata-mata menyala, beterbangan ...."

"Ardi, itu kunang-kunang!"

"Bukan! Memangnya aku enggak tahu kunang-kunang?"

Percuma berdebat dengan Ardi. Dulu juga pernah kok dan Rayn selalu mengalah. Imajinasinya terlalu tinggi dan liar. Gimana enggak sering senewen begitu, Ardi kan suka menulis surat pada Penunggu Kegelapan, Penjaga Portal Kematian, Kurir Dunia Paralel, dan entah apa lagi. Jangan tanya siapa mereka. Rayn pun enggak tahu. Ardi bilang, mereka ada dalam banyak kebudayaan dan kepercayaan, hanya sebutannya berbeda-beda.

"Kamu mau nginep sini?" Rayn buru-buru membebaskan penderitaan sahabatnya.

Ardi bersorak. "Aku sudah siap pergi. Tunggu sejam lagi ya."

"Naik Grab saja, Di, dibayar di sini!" Tapi Ardi sudah memutuskan hubungan. Rayn menghela napas. Satu jam itu kalau naik angkot. Kelamaan, habis waktu untuk belajar nanti. Nomor Ardi mendadak berada di luar jangkauan. Ia pun mengirim pesan di LINE dan SMS. Semoga Ardi baca pesannya.

Sambil menunggu Ardi, Rayn mengeluarkan kasur tambahan dari ruang penyimpanan. Menggelarnya di sisi dipannya sendiri. Memasang seprai dengan rapi, walau yakin, pasti langsung berantakan lagi begitu Ardi terjun ke atasnya. Ardi tidak pernah mau menggunakan kamar tamu di lantai satu. Karena sebelahan dengan kamar Mami-Papi. Bisa dimaklumi sih. Meski memanggil Mami Kiara dan Papi Azlan, Ardi masih malu-malu pada keduanya. Apa pun usaha mereka, selama bertahun-tahun ini, Ardi tetap Ardi. Mau nginep saja mesti minta izin dulu. Kebayang kalau ia enggak segera meneleponnya, bisa pingsan berdiri tuh anak gara-gara ranting mangga mengetuk jendelanya. Padahal Ardi sering nginap di sini, sampai perlengkapannya ada di lemari Rayn. Terlama seminggu, waktu mereka SMP. Rekor tanpa berantem. Eh ya ada sedikit kericuhan sih waktu Rayn jatuh dari dipan dan menimpa Ardi di bawahnya. Tapi bisa diselesaikan dengan baik setelah gelut dulu.

Alasan Ardi menginap paling sering karena ditinggal sendirian di rumah. Walau sering protes juga kalau dianggap penakut, cuma enggak nyaman aja, katanya. Iya deh ....

Tapi yang membuat Rayn terpukau melihat Ardi diantarkan Mami ke atas adalah penampilannya. Masih lengkap berseragam. Masuk ke kamar dengan erangan sapi habis membajak sawah tanpa sempat memamah seutas rumput pun. Langsung bergedebuk di kasur.

Rayn mengendus tanpa bisa dicegah. Hormon remaja puber, kata Mami, ditambah keringat dan matahari. "Ardi, kamu belum mandi?"

"Air di bak habis. Sumurnya kan di luar. Ibu pergi tepat begitu aku datang dari rumah Meja."

"Jorok! Itu bukan alasan. Kamu bisa njebur di kali kayak dulu." Rayn menarik Ardi bangun dan mendorongnya ke kamar mandi di sudut kamar.

"Kali itu sudah jadi got gara-gara perumahan mewah, Rayn. Lupa ya? Eh, kamu sendiri belum gosok gigi? Sejak kapan?" Hidung Ardi berkerut.

PELIK [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang