6. Saksi Mata

19.8K 2.3K 756
                                        


Sehabis Subuh, Megan menyusup kembali ke bawah selimut. Enggak pengin tidur lagi, cuma rasanya malas banget. Karena sekarang hari Senin. Hal menyebalkan, deadline tugas, dan janji yang harus dipenuhi, biasanya ditaruh pada hari Senin sebagai hari pertama pekan. Wajar saja kalau Senin dibenci umat manusia. Menyambut Senin dengan penuh semangat berarti menyalahi takdir, hanya akan mengganggu kesetimbangan hidup. Bayangkan saja kalau semua orang keluar rumah tepat waktu. Mampu enggak jalanan menampungnya? Tapi menjadikan Selasa atau Rabu sebagai hari pertama juga enggak menyelesaikan masalah. Harusnya dalam sepekan hari Minggu semua. Istilah seminggu berarti sekumpulan hari Minggu.

Yah, itu pemikirannya saja. Senin tetap di depan mata. Megan menggeliat. Alasan utama ia enggan ke sekolah sebetulnya Lucy. Semalaman ia mencari jalan keluar dari cengkeraman mantan sahabatnya itu. Kalau surat utangnya tidak bisa ditebus dengan uang, apa lagi yang bisa dilakukannya?

Pasti ada sesuatu .... Brainstorming .... Uuh, benar-benar topan badai melanda otaknya.

Tapi sampai lewat tengah malam, Megan merasa masalahnya dengan Lucy hanya bisa diselesaikan kalau ia kembali ke masa lalu. Di kelas 8, ia harus menjauhkan Lucy dari Wynter. Di kelas 9, ia sendiri harus menjauhi Keenan bahkan sebelum tahu cowok itu gebetan Lucy. Dan di kelas 10 ... hmm, apakah ada masalah cowok di antara mereka?

Megan enggak tahu karena mereka pisah kelas. Jadi mantan sahabat yang enggak saling kenal. Pura-pura enggak lihat kalau berpapasan di selasar. Sampai akhirnya mereka berhadapan lagi di ajang kompetisi Fashion-Art. Megan terkejut, karena setahunya, Lucy berminat menjadi model, bukan menggambar fashion. Lebih terkejut lagi, ternyata Lucy berbakat dan berhasil menjadi finalis juga. Tapi karya Megan-lah yang terpilih sebagai pemenang pertama, Lucy kedua, dengan selisih nilai 15% saja. Di panggung, kalau tidak ada ketua juri di antara mereka, mungkin ia sudah dibekukan Lucy dengan tatapan matanya.

Megan mengerang keras. Bukan soal cowok saja yang membuat persahabatan mereka hancur tanpa sisa. Lucy tidak ingin dikalahkan olehnya dalam banyak hal. Tapi kalaupun Megan bisa memutar ulang waktu di kelas 10, ia tetap akan ikut kompetisi. Fashion-art sudah menjadi passion-nya. Seperti melihat tujuan yang begitu jelas di depan sana, Megan tidak akan berbelok hanya karena Lucy melewati jalan yang sama.

Dan kompetisi itu adil kok, juri-jurinya kompeten di bidangnya. Ia layak menang menurut mereka. Kalaupun nilai Lucy beda tipis, bukan salahnya.

Jadi, kembali pada situasi sekarang. Memegang surat utang itu pasti jadi kepuasan tersendiri buat Lucy. Megan ada dalam genggamannya.

Buntu. Megan menyemburkan napas. Kalau mau cepat beres, enggak ada cara lain kecuali mengerjakan empat tugas dari Lucy. Mulai dengan mengulang lagi tugas pertamanya. Dan hanya Tuhan yang tahu apa yang direncanakan Lucy dengan tiga tugas berikutnya.

Pukul 05.00. Pintunya diketuk dan terdengar suara Tante Naura, "Meg! Kamu sudah bangun? Sudah salat? Semua PR beres? Buku-buku sudah masuk tas?"

Tante Naura seperti burung di dalam jam kukuk, pikirnya geli. Keluar dan bersuara tepat waktu. Tiap hari selalu sama.

"Sudah, Tante!" Jawaban Megan pun spontan sama. Padahal ia masih harus menyiapkan buku. Yah, siapa suruh bertanya borongan begitu. Tiga hal yang ditanyakan Tante memang sudah dikerjakan kok. Megan menyingkap selimut dan turun dari tempat tidur.

Diraihnya kacamata di meja belajar. Satu lensa benar-benar hilang, tidak jatuh di kamar seperti yang ia harapkan. Tante sudah mengomelinya, mengatakan pembuatan lensa pengganti dianggarkan bulan depan saja. Untuk sementara, Megan harus memakai lensa kontak dulu. Lagian mubazir, kata Tante, minta dibuatkan tapi enggak dipakai. Masalah tidak nyaman, ya harus dibiasakan. Megan mendecak, bukannya enggak nyaman, ribet saja memakainya. Entah kenapa dulu ia merengek minta lensa kontak.

PELIK [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang