Dua puluh satu hari Rayn tidak bertemu Megan, dalam artian tidak mengobrol dekat. Kalau cuma lihat dari kejauhan tentu saja enggak dihitung. Ujian seminggu, libur dua minggu. Kalau ayam, waktu selama itu sudah cukup untuk mengerami telur sampai menetas. Untuk Rayn, kangennya yang menetas.
Matanya mencari-cari di antara keramaian aula. Assembly hari pertama sekolah baru saja usai. Ada jeda 30 menit untuk beramah tamah sebelum pelajaran dimulai. Siswa yang semula duduk rapi dalam barisan kelas masing-masing kini berhamburan. Mencari teman lintaskelas, saling melepas rindu. Bahkan Ardi sudah ditarik menjauh darinya oleh tim voli. Persiapan turnamen voli antar-SMA se-Bandung Raya, katanya. Megan masih belum terlihat di mana-mana. Tepatnya, Rayn tidak melihat bando mawar indigonya.
"Hei! Apa kabar Hazel?" Seorang cowok berjalan mendekat.
Kemungkinan besar Raiden karena menanyakan kucingnya. "Baik. Bulunya sudah tumbuh lagi. Mulai gemuk juga," sahut Rayn, sambil mencoba memastikan identitas Raiden. Dalam balutan jas, kalung kristalnya tidak terlihat. Rayn menunggu cowok itu lebih mendekat lagi. Barulah luka di bawah telinga itu tampak.
"Enggak usah lihat aku segitunya!" Raiden ngedumel. "Enggak cukup ya aku tanya soal Hazel? Atau sudah banyak yang kenal dia selain aku?"
Rayn menggeleng, menyeringai. Jelas, Raiden sudah riset Internet dan menemukan prosopagnosia.
"Megan di dekat panggung. Sedang bicara dengan Miss Mala," sambung Raiden, lagi-lagi mengejutkan Rayn.
Raiden memang terkesan kepo, sok tahu, tapi sering benar. Apa sebutan untuk orang yang bisa menangkap situasi hanya melalui pengamatan seperti itu? Perseptif? Ya. Atau tajam tilik.
"Kenapa? Siapa lagi yang kamu cari kalau bukan dia?" Raiden mendecak.
Rayn mengabaikannya. Ia mengarahkan pandangan ke tempat yang ditunjuk Raiden. Hanya berjarak lima meteran. Ada satu wanita dewasa dengan jas marun khas seragam guru, dikelilingi empat siswi, dua di antaranya berambut panjang bergelombang. Tidak ada yang memakai bando mawar indigo. Rayn mendadak resah. Melirik Raiden yang sedang mengamatinya dengan tampang melit. Rayn melengos.
"Ya Tuhan. Kamu enggak bisa memastikan yang mana Megan ...." Raiden mengambil kesimpulan. "Ow man, that sucks. Baru tahu efek prosopagnosia bisa segitu parah."
Rayn mengepalkan dua tangan, menahan diri. Diucapkan Raiden, kelainannya mendadak terasa lebih berat ratusan kali lipat.
"Sorry." Raiden tahu diri juga. Menunjuk lagi ke arah panggung. "Megan yang di tengah. Sepatu ketsnya bertali hitam. Nah, dia menoleh ke sini. Senyum, Rayn! Lambaikan tanganmu."
Rayn malah berdiri kaku, karena tiba-tiba Raiden merangkulnya dengan tangan kiri dan melambai-lambai heboh dengan tangan kanan. "Hoi, Megaaaaan!"
Teriakan Raiden membuat banyak mata menoleh ke arah mereka. Dengan cuek, Raiden merengkuh Rayn lebih erat dan mengulek kepalanya. Seolah mereka best buddies ever. Rayn segera melepaskan diri. Merapikan jas dan rambutnya. Berbisik kesal. "Sekali lagi kamu lakukan itu, aku seret kamu ke atas pohon dan kutinggal di puncaknya."
Raiden tergelak. Tapi keseriusan Rayn membuat tawanya reda seketika. "Fine. Kita memang bukan teman. Malah kupikir kamu pesaing yang kuat. Nyatanya kamu payah benar. Selama liburan, kamu enggak ngapa-ngapain. Megan kamu cuekin. Ya aku tahu, karena mawar indigo yang kuambil dulu masih ada di aku."
Kening Rayn berkerut.
Raiden berdecak sambil geleng-geleng. "Jadi kamu belum tahu juga syarat untuk mengambil bros itu? Astaga, so sad. Kamu enggak mau nanya ke Megan. Padahal sudah aku kasih kesempatan. Jangan salahkan aku kalau nyalip kamu sekarang. Asal kamu tahu saja, bando Megan yang baru ada di tanganku juga. Ya, yang kedua. Jangan melotot begitu. Mungkin Megan mulai mikir kamu enggak ada perasaan apa-apa sama dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
PELIK [Sudah Terbit]
Jugendliteratur[Sudah Terbit] PELIK "haruskah aku relain kamu dengannya?" Rayn belum pernah jatuh cinta. Gimana mau jatuh cinta kalau ngenali muka orang saja enggak bisa. Ia mengidap face-blindness yang dirahasiakannya mati-matian. Saat cinta akhirnya menyapa, Ray...