Rayn kangen. Baru kemarin sore berpisah, sekarang ia sudah panas dingin pengin ketemu. Bukan, bukan Ardi. Ya ampun! Tapi Mitsuha-nya. Plak! Ia menepuk jidat keras-keras. Sadar dong! Sejak kapan Megan mau diembel-embeli dengan kata ganti milik?
Iya, tapi kan Megan memang Mitsuha-nya. Cewek yang sejak pertemuan pertama meriakkan perasaan Rayn. Dan dalam dua minggu berinteraksi, semakin kuat magnetnya. Pakai sumpit atau bando, dikucir atau digeraikan, tanpa bedak atau kacamata bolong sekalipun, begitu Megan ada di dekatnya, hatinya langsung mengenali. Karena setiap saat, setiap ada kesempatan, Rayn mengumpulkan ciri-ciri lain.
Suaranya, caranya bergerak dan berbicara, sifatnya, makanan dan minuman yang disukai, serta kebiasaan-kebiasan kecil seperti menyelipkan rambut ke belakang telinga dan memalu kepala Ardi. Yang paling dihafalnya adalah tawa gadis itu, sampai mulai merasuki mimpinya. Tapi yang bikin ia penasaran adalah adegan blushing itu. Pipi yang awalnya langsat, tiba-tiba wush, memerah. Rayn tahu itu karena sudah menuliskan deskripsinya di buku. Bukan karena ia bisa membayangkannya lagi. Keningnya berkerut seribu pun, ia tidak bisa memutar ulang.
Semua tentang Megan, bikin kangen. Aah, balik lagi ke perasaan menyiksa ini.
Apakah Ardi merasakan hal yang sama? Kangen ke Megan?
Rayn mendesah. Di rumah Ardi kemarin, ia nyaris melakukan kesalahan besar dengan mengajak Megan jalan berdua untuk beli bando baru. Enggak sengaja. Sungguh. Cara berpikirnya logis saja. Perlu bando baru. Pulang bareng. Mampir di mal. Sekalian beli, ia temani. Tapi ekspresi Ardi membuatnya sadar. Walau Ardi cepat pulih dan bersikap wajar lagi dengan mendukung usulnya. Ardi mungkin ikhlas karena enggak tahu perasaannya pada Megan. Lalu ia jadi degdegan, berharap Megan menerima ajakannya. Tapi Megan menolak. Ouch. Rasanya seperti terbanting saat melaju dalam kecepatan tinggi.
"Rayn!" Mami memencet klakson.
Rayn tergeragap. Memandang sekelilingnya. Mereka sudah sampai di tempat parkir khusus untuk tenan mal. Sabtu pagi, bersama Mami.
Mami geleng-geleng. "Mami sampai khawatir, jangan-jangan Mami salah bawa manekin dari butik."
Rayn tertawa. Turun dari mobil.
"Tapi manekin enggak bisa senyum-senyum sendiri, atau mendesah berkali-kali. Ada apa?" Mami merangkul pinggangnya. Karena sudah lama tinggi badan Rayn melampaui Mami.
Rayn mengedikkan bahu. Bukan enggak mau bicara, tapi terlalu banyak yang ingin diomongin sampai bingung mulai dari mana. Mami pun tidak mendesaknya. Mereka berjalan melintasi tempat parkir menuju lift. Butik Mami, Indigo Rose, terletak di lantai tiga. Bunga dan warna kesukaan Mami yang dijadikan label produknya.
Sebetulnya, sudah lama Rayn tidak menguntit Mami kerja, apalagi di akhir pekan begini. Keramaian mal sering membangkitkan kenangan buruk kehilangan Mami dan Papi, waktu prosopagnosianya belum diketahui. Tapi Sabtu ini beda. Tidak ada Papi untuk diajak main catur. Tidak ada Ardi untuk lawan berlatih taekwondo. Daripada baper sendirian di rumah, Rayn pun ikut Mami.
Lagian ia perlu mengunjungi pertokoan di seberang mal. Di sana ada kafe kecil merangkap toko buku yang menyediakan buku-buku impor bekas. Pemiliknya kenalan Mami, Tante Alika. Setiap ke butik ikut Mami, Rayn pasti menyeberang mengunjungi toko itu untuk melihat-lihat dan membeli buku. Kemarin malam, Tante Alika sempat bilang pada Mami, ia perlu asisten khusus untuk toko bukunya, terutama di akhir pekan.
Ini kesempatan yang bagus buat Megan, pikir Rayn. Ia dan Ardi masih mencari-cari cara untuk membantu Megan keluar dari masalah keuangan. Tabungannya cukup banyak, bisa saja sebagian diberikan, tapi bantuan seperti itu bakal menyinggung perasaan Megan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PELIK [Sudah Terbit]
Teen Fiction[Sudah Terbit] PELIK "haruskah aku relain kamu dengannya?" Rayn belum pernah jatuh cinta. Gimana mau jatuh cinta kalau ngenali muka orang saja enggak bisa. Ia mengidap face-blindness yang dirahasiakannya mati-matian. Saat cinta akhirnya menyapa, Ray...