2.3

3.1K 645 170
                                    

"Aku ingin berbicara dengannya, tolong," Hyungseob kembali menangis, "aku mohon, Jinyoung-ssi."



Jinyoung menatap Jihoon dan Seonho bergantian, "baiklah, aku akan mencoba mencari kontaknya."



"Baiklah, akan kutunggu," Hyungseob terus berharap ketika Jinyoung mulai mengetikkan pesan di ponselnya, entah untuk dikirim kemana.



"Aku mendapatkannya," setelah beberapa menit, Jinyoung bersuara, "catatlah."









{···}









"Oh, ya, Park Woojin adalah calon menantu Kim Minseok-ssi."




Langkah Woojin terhenti, mendengar seorang pegawai menyebutkan namanya di telepon. Ia mendekat, ingin mendengar lebih lanjut. Namun, terlambat, sambungan telepon telah terputus.



"Siapa yang menelepon?"



"Ah, Woojin-ssi," petugas itu membungkuk, "rekanmu, dari Korea."



Woojin sedikit terkejut, apakah Hyungseob?



"Siapa namanya?"



"Bae Jinyoung."



"Bae Jinyoung? Aku tidak mengenalnya," Woojin sedikit bernafas lega meski penasaran. Setidaknya, bukan Hyungseob. Setidaknya, kabar perjodohan itu tidak terdengar sampai ke telinga kekasihnya.



"Maaf, Woojin-ssi, tapi dia tidak menyebutkan identitas lebih lanjut," petugas itu merasa bersalah, "apakah perlu mencari tahu?"



"Tidak, tidak usah. Terima kasih banyak," Woojin tersenyum kemudian berniat untuk kembali ke ruang kerjanya tepat ketika ponsel di sakunya berdering.



Nomor tidak dikenal. Tetapi, panggilan itu dari Korea.



"Halo?"



"Woojin-ah.."



Deg



Woojin terdiam. Itu suara Hyungseob. Suara manis yang benar ia rindukan. Selama beberapa waktu mereka saling diam, hanya terdengar suara isakan dari Hyungseob.



"Hyungseob-ah? Kau menangis?"



"Tidak, aku hanya.." Hyungseob di seberang terdengar mengatur nafas, "sangat merindukanmu."



Woojin menitikkan air matanya, untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun ini. Apakah Hyungseob juga tahu jika rasa rindu itu juga Woojin rasakan?



"Kau tidak boleh menangis hanya karena merindukanku," Woojin berusaha tegar, "kau masih orang yang tidak mudah menangis, bukan?"



"Tidak. Aku bukan orang seperti itu lagi. Aku menjadi mudah menangis, aku tidak lagi senang pergi bekerja, aku tidak lagi meracik cappucino. Semuanya berubah semenjak kau menghilang..."



Woojin tidak dapat menjawab, merasa sangat jahat.



"...namun kau datang dengan kabar pernikahan. Selamat, Park Woojin..." Hyungseob memberi jeda, "-ssi."



"Hyungseob-ah, tolong..."



"Aku begitu polos, begitu memperjuangkan hubungan kita meski Seonho dan Guanlin mengkhawatirkanku, melarangku untuk memikirkanmu lagi. Namun, aku selalu ingat akan janjimu, sampai detik ini pun, aku masih berharap kau bisa menepati janjimu."



Woojin semakin terisak, ia terduduk di sofa tak jauh dari tempat awalnya berdiri. Cengkeramannya begitu kuat pada lengan sofa, berusaha menghentikan tangisnya.



"Jangan menjadi sepertiku, jangan menangis. Calon istrimu pasti sangat khawatir melihat air mata berhargamu jatuh."



"Kau sendiri calon istriku!" Woojin tidak tahan lagi, ia berteriak frustasi, "kau calon istriku, Hyungseob-ah, bukan dia.."



"Bagaimana orangnya, apakah manis?"



"Hyungseob-ah.."



"Jangan tergoda dengan lelaki lain lagi, Woojin-ssi, cukup aku yang pernah merasakan.."



"Ahn Hyungseob!"



"Ah, iya, Jihoonie sudah benar berubah! Dia menyelesaikan studinya dengan cepat dan kini ia sudah mempersiapkan pernikahan," Hyungseob tetap berusaha tegar meski air matanya terus mengalir, "aku iri."



"Aku akan menemuimu, malam ini," Woojin bangkit dan segera berlari ke ruangannya, mengambil kunci mobil, "aku tidak berharap dapat tepat waktu. Namun, aku akan berusaha."









{···}









Hyungseob pulang cepat di hari pertamanya kembali masuk kerja. Bukan karena dia akan mempersiapkan diri untuk bertemu Woojin, sama sekali bukan. Bahkan, untuk percaya jika Woojin benar-benar akan datang saja sangat sulit.



Ia pulang hanya supaya puas menangis. Harapannya satu, dapat melupakan lelaki brengsek itu, Park Woojin.



"Hyung, kau yakin tidak ingin apapun?"



Hyungseob menggeleng sembari tersenyum pada Seonho yang setia menemaninya sejak kembali dari kantor. Seonho tidak lagi banyak bicara, ia sudah mengerti banyak perasaan Hyungseob.



"Guanlin tidak kau beri tahu, bukan?"



"Tidak, dia terkadang sulit dikontrol," Seonho mengaduk susu yang sedang ia buat, "aku membuatkanmu susu strawberry, Hyung. Minumlah meski kau tidak ingin. Kau perlu mendapat asupan."



"Baiklah," Hyungseob melirik jam, "sudah pukul tujuh, pulanglah. Kau ingin mandi, bukan?"



"Kau yakin tidak apa sendiri?"



"Aku bukan anak kecil, Seonho-ya, pulanglah."



"Baiklah, jangan lupa minum susumu, Hyung," Seonho membereskan barangnya dan mengusap pipi Hyungseob sebelum pergi keluar, "aku pulang dulu."



Sekembalinya Seonho, Hyungseob segera menghabiskan susu buatan Seonho. Sebenarnya, susu strawberry adalah kesukaannya. Tetapi, kenapa rasa manisnya menjadi sangat hambar bagi Hyungseob?



Tidak tahu apa yang akan dilakukan, Hyungseob beranjak ke tempat tidur, sekedar menyusupkan tubuhnya ke dalam selimut, menutup matanya, dan berusaha melupakan kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.



Drap drap



Hyungseob mendengar langkah kaki mendekat. Namun, ia tidak yakin, bukankah Seonho selalu mengunci pintu setiap meninggalkannya?



"Hyungseob-ah.." sebuah pelukan Hyungseob dapatkan dari belakang, "aku di sini."



Hyungseob segera bangkit dan menjauh. Rasa takutnya muncul, siapa penyusup ini?



"...Wo- Woojin-ssi?"



"Berhentilah memanggilku dengan sapaan itu lagi, panggil aku seperti biasanya, Seob-ah."



"Bagaimana kau bisa masuk seperti ini? Pintu sudah terkunci!"



"Kau seharusnya mengganti password pintumu jika tidak ingin aku masuk," Woojin duduk bersandar pada kepala ranjang.



"Woojin-ssi," Hyungseob berkata tenang, "tolong keluar, jika kedatanganmu hanya membawa luka untukku."










{···}









Author note :

Tolong, aku ngetik sendiri, nangis sendiri.

Boss? +jinseobTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang