Sesosok lelaki terdiam, duduk dalam dingin dan gelap. Air matanya mulai menetes tanpa suara. Ponsel yang menyala terus ia pegang, layarnya menampilkan sebuah panggilan keluar. Hingga terdengar suara 'halo' yang lamat-lamat, ia baru mendekatkan ponselnya ke telinga dan menyuarakan pikiran.
"Shihyun-ah."
"Ya, Jihoon-ah?"
"Aku sangat merindukanmu."
"Apakah aku harus menemuimu besok? Kebetulan adalah hari Minggu, bukan?"
"Ya, terima kasih."
"Tapi.. ada apa dengan nada bicaramu?"
Jihoon terdiam kembali. Air mata yang menetes semakin deras, menyisakan isakan kecil setelahnya.
"Kau ada masalah? Kau merindukan ibumu?"
"Tentu, aku hanya merindukannya," seulas senyum dipaksakan, "aku tutup dulu."
Jihoon menutup telepon dan membuang ponselnya asal. Perasaannya campur aduk. Selepas kejadian memalukan siang tadi, ia hanya bisa menangis dalam diam. Seluruh rasa kecewanya tumpah, kekesalannya memuncak. Woojin, yang menjadi semangat hidupnya kini menghilang, membuat cahaya di hatinya meredup.
"Andaikan ibu di sini," Jihoon mengusap foto di dekapannya, "maafkan aku. Maaf, aku tidak bisa mendapatkannya, Bu."
"Ibu!"
Lelaki dengan seragam sekolah lengkap dengan tas dan sepatunya menghambur ke pelukan wanita cantik yang telah berdiri menunggu. Pelukannya mendapat balas, bonus senyuman dan usapan sayang di kepalanya.
"Jihoonie, kau bertambah tinggi," wanita itu tak henti-hentinya mengusap surai legam putranya.
"Ibu bilang akan pulang nanti sore, jadi, aku berniat untuk menjemput ibu sepulang nanti," Jihoon mempoutkan bibirnya, "tapi, ternyata ibu justru yang menjemputku pulang."
Wanita itu melepas pelukan dan memberi tatapan teduh bagi Jihoon, "kau tidak suka ibu kemari?"
"Bu-bukan, aku sangat bahagia!" Jihoon menggeleng cepat, "hanya saja, aku ingin menjemput ibu."
"Tidak masalah, yang terpenting ibu sudah kembali bersamamu," ibunya menuntun Jihoon masuk ke dalam mobil, "kau mau susu? Ibu membelikannya," lanjut ibu setelah menutup pintu.
"Tentu!" Jihoon berbinar dan kemudian matanya berhenti pada sosok yang berada di belakang kemudi, "tunggu... ayah?"
Pria tinggi di depan akhirnya berbalik, menampilkan senyumnya.
"Ayah mengambil libur khusus hari ini, untuk kedatangan ibumu."
Senyum bahagia terpancar. Jihoon sudah lama tidak merasakan duduk bersama seperti ini dengan orang tuanya. Ibu dan ayahnya selalu pergi bekerja. Bahkan ibunya baru dapat kembali setelah dua bulan berdinas.
"Aku akan mencari suami seperti ayah!"
"Apa yang kau inginkan dari lelaki seperti ayah, hm?" Jihoon mendapat cubitan kecil di pipi, membuatnya terkikik.
"Ayah sangat mencintai ibu," Jihoon tersenyum, "ia menerima ibu apa adanya."
"Dengar itu, Hyekyo-ah? Jihoonie juga mengakuinya."
"Aku sudah menemukan orangnya," Jihoon menyela pembicaraan ayahnya, "dan aku berjanji akan menjadikannya suamiku!"
"Huh, siapa, sayang?"
"Ketua murid di kelasku, Park Woojin."
Jihoon kembali terisak ketika memori di otaknya kembali berputar. Hari pertamanya berjanji untuk mendapatkan Woojin merupakan hari terakhirnya pula untuk bertemu ayah dan ibunya.
"Andai saja aku yang tidak terselamatkan hari itu," Jihoon mengusap pipinya yang basah, "aku tidak akan pernah merasa sesakit ini, Ibu."
{···}
Woojin mengerjapkan matanya beberapa kali sampai netranya dapat beradaptasi dengan cahaya di sekitarnya. Ia melirik jam di meja samping tempat tidurnya, pukul 07.45. Di sampingnya, Hyungseob masih tertidur pulas, dengan dengkuran halus yang sama sekali tidak mengurangi manisnya paras Hyungseob saat ini.
Jangan salahkan Woojin jika ia tidak bisa menahan keinginannya untuk memeluk erat dan mengecupi bibir Hyungseob. Lelaki itu hanya sangat menggoda baginya, membuatnya semakin jatuh cinta.
"Ngh, Woojin-ah.."
Hyungseob mulai membuka matanya pelan ketika terganggu dengan pelukan dan kecupan Woojin yang tiba-tiba.
"Morning, Baby."
Hyungseob tersenyum, "morning."
Woojin melanjutkan kegiatan mari-memeluk-Hyungseobnya tanpa kata. Namun, tak berselang lama, Hyungseob melepas paksa dan mencium keningnya, berhenti di sana hingga beberapa waktu.
"Aku akan membuatkan sarapan untukmu," Hyungseob beranjak setelahnya, merapikan rambut dan bajunya, kemudian berlalu meninggalkan Woojin yang mematung. Ah, kenapa ia sangat ingin menikahi Hyungseob saat ini?
"Hyungseob-ah.."
Tidak ada jawaban, hanya terdengar suara khas penggorengan.
"Ahn Hyungseob."
Masih sama, tak ada yang berubah sama sekali.
"Kau sangat ingin aku peluk, hm?" Woojin segera memeluk Hyungseob dari belakang, membuat Hyungseob akhirnya merespon.
"Jangan mengajakku berbicara ketika sedang memasak," Hyungseob cemberut, "jika ikannya gosong sepertimu bagaimana?"
Woojin memererat pelukannya, "kau berani meledek bossmu?"
Hyungseob segera mematikan kompor dan berbalik, mengalungkan tangannya pada leher Woojin.
"Aku berani melakukan apapun pada bossku yang satu ini," ia menunjukkan senyum miringnya, kemudian mencium bibir Woojin dengan sedikit berjinjit.
Woojin membalas ciuman itu, ciuman panas Hyungseob yang pertama kali. Lidah mereka beberapa kali beradu. Lumatan-lumatan nakal Hyungseob berikan tanpa ada keraguan.
Hyungseob baru berhenti ketika Woojin untuk pertama kalinya pula melepaskan cumbuan.
"Hyungseob-ah, kapan kau bersedia menikah denganku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Boss? +jinseob
Fanfiction[COMPLETED] Ahn Hyungseob bekerja pada perusahaan yang sama dengan kekasihnya, Park Woojin, dengan segala rahasia yang tersimpan. Masalah banyak bermunculan, apakah mereka dapat melewati semuanya? #101 in Fanfiction [171109] 2017, jidatoppa