1.13

3.2K 656 122
                                    

"Kau dan Woojin-ssi?!"

Hyungseob segera membungkam mulut Seonho di depannya. Untung saja, ia sudah membawa Seonho ke ruang fotocopy yang sepi sebelumnya, berjaga supaya hal seperti saat ini terjadi.

"Seonho-ya, kau sudah berjanji untuk diam, bukan?"

"Tapi sejak kapan?" Seonho tidak berhenti bicara, hanya menurunkan volume suaranya.

"Sejak awal, tiga tahun lalu," Hyungseob mendudukkan dirinya di sofa panjang, "tapi, bukankah itu bukan masalah utamanya sekarang?"

"Um, ya," Seonho mendaratkan tubuhnya di samping Hyungseob, "soal Jihoon-ssi, aku tidak yakin, Hyung. Aku belum begitu mengetahui bagaimana watak Woojin-ssi sebenarnya. Hanya, setahuku ia tidak pernah dekat dengan lelaki maupun wanita lain, kecuali Eunki-ssi."

Hyungseob tersenyum, "ya, biarkan aku saja yang memikirkan. Setidaknya, lega akhirnya bisa membuka semuanya kepadamu, Seonho-ya."





"Seonho-ssi? Hyungseob-ssi?

Seonho dan Hyungseob serentak memandang lelaki di pintu ruangan, lelaki yang memanggil beberapa saat sebelumnya.

"Jihoon-ssi?" Hyungseob berusaha senetral mungkin.

"Dia panjang umur," Seonho berbisik pada Hyungseob, membuat lengannya mendapat cubitan kecil.

"Kalian sedang apa di sini?" Jihoon berkata sembari memersiapkan berkas yang akan difotocopy.

"Oh," Seonho bangkit, mengusap belakang kepalanya canggung, "kami berniat untuk memfotocopy data pemasaran tadi."

"Hm, begitu," Jihoon memencet beberapa tombol di mesin fotocopy, kemudian berbalik ketika berkasnya mulai digandakan, "kalian begitu dekat, ya?"

Seonho dan Hyungseob berpandangan sebentar, "ya, aku dan Seonho bekerja di satu divisi sejak awal, jadi, yah.."

"Aku paham," mesin fotocopy mulai berhenti dan Jihoon mengemasi berkasnya, "maukah kalian makan siang bersamaku? Aku juga ingin dekat denganmu, Seonho-ssi."






{···}





Pikiran Woojin melayang, tidak fokus dengan kerjaan yang ada di depannya. Perkataan Eunki pagi tadi benar, Hyungseob semestinya sudah meninggalkannya saat ini, bukan?

Ia memikirkan tentang bagaimana ia melanjutkan hidupnya tanpa Hyungseob. Lelaki itulah yang selalu memberinya dukungan hingga ia mendapat posisi setinggi ini. Membayangkannya saja sulit untuk kehilangan seseorang seperti Hyungseob.

"Woojin-ssi?"

Woojin mendongak, "kenapa lagi-lagi tidak mengetuk pintu?"

Sebuah seringaian terpatri. Lelaki dengan setelan rapi dan berkas di tangannya itu berjalan mendekat, tanpa memberi sebuah jawaban.

"Jihoon-ssi!" Woojin bangkit ketika lelaki itu, Jihoon, semakin dekat, hampir mengusap lehernya.

"Ya, Woojin-ssi?"

"Pergi!" Woojin menjauh dan menunjuk pintu, memberi arahan supaya Jihoon keluar.

"Kau begitu tegang," Jihoon menjauh dari kursi Woojin dan duduk di sofa, "aku tidak akan bermain hari ini, kantor terlalu ramai."

"Omong kosong!"

Woojin kembali ke kursi dan memijat pelipisnya, lelah. Jihoon berbeda sejak terakhir kali ia bertemu di sekolah. Semua sifat manis dan lugunya seakan hilang, terganti dengan watak liarnya.

Boss? +jinseobTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang