Prolog

13K 505 64
                                    

Alet tengah melukis di ruangan bercat putih, dengan lukisan awan dimana-mana. Ruangan favorit Alet dari sejak kecil. Di sana, Alet menghabiskan waktunya untuk melukis. Setiap hari, tak pernah terlewat. Ubin yang semulanya putih, sudah ternodai banyak warna. Sebab Alet yang selalu berantakan, ia seringkali menjatuhkan cat airnya. Kali ini, Alet kehabisan cat airnya yang berwarna biru muda, warna yang sangat sering Alet gunakan. Alet terpaksa membelinya terlebih dahulu. Mau bagaimana lagi, biru muda adalah salah satu warna terpenting dalam lukisannya.

Langit tengah berduka. Mungkin sebentar lagi menangis. Wajah Alet berubah menjadi murung, sudah jelas ia tak menyukai keadaan langitnya kini. Meskipun Alet sangat menyukai langit, tidak termasuk ketika langit sedang bersedih. Alet sama sekali tak menyukai hujan. Menurut alibinya, hujan itu hanya membuat dingin, kebasahan, dan yang pasti membuat langitnya terlihat jelek. Alet segera pergi sebelum hujan benar – benar datang. Tak ada yang dapat mengurungkan niatnya meskipun hujan sekalipun.

Alet berlari-lari kecil untuk sampai ke toko kecil yang menjual alat-alat tulis yang tak jauh dari rumahnya. Alet memang sudah berlangganan di sana. Ketika sampai, Alet melihat seorang pria tengah dipukuli oleh engkong penjaga toko tersebut. Alet tidak tinggal diam, “Kong, awh.” Akhirnya Alet terkena pukulan di bagian pipi kanannya hingga lebam.

Pria itu menarik lengan Alet hingga menjauhi toko. Pria itu mengambil sebuah es batu dengan kain dari sebuah warung dan memberikannya kepada Alet. “Lo bisa sendiri kan?” tanya pria itu. Alet menganggukkan kepalanya. Tanpa peduli lagi, pria itu segera melenggang pergi meninggalkan Alet sendirian.

“Tunggu,” ucap Alet kepada pria itu, namun pria itu terus berjalan lurus tanpa melirik Alet. Akhirnya Alet mengalah dan mengejar pria itu. Alet mencoba mensejajarkan jalannya. “Nama gue Alette Aozora, panggil aja Alet.” Ucap Alet sembari mengulurkan tangannya. Pria itu berhenti mendadak, ia menatap Alet dengan tajam. Sebuah petir tiba-tiba menyambar dan membuat Alet kaget. Dengan reflek, Alet memeluk tubuh pria itu.

“M-maaf maaf,” kata Alet sambil melepas pelukannya. Alet jadi canggung, pipinya merah padam. Sedangkan pria itu terlihat biasa saja. Alet masih terus mengekori langkah pria itu. “Lo bisa gak berhenti ngikutin gue,” ucap pria itu tiba-tiba. “Abisnya gue udah kenalin diri gue, lo belum.” Alet menjawab dengan nada imutnya. “Lo gak bakal mati kan meskipun gak tau nama gue?” timpal pria itu.

Alet terdiam merasa kalah dan tak tahu harus bicara apa lagi. Alet akhirnya memutar rute langkahnya dan berniat kembali ke rumah. Dengan wajah kesal, ia menendang botol bekas di hadapannya. Dan ternyata botol itu mengenai seorang preman dengan kepala plontos. Alet berniat lari, namun dengan sigap preman itu menangkap Alet. Namun tiba-tiba tubuh preman itu tersungkur di tanah. Alet melihat ke arah orang yang sudah menendang preman itu. Mereka saling adu jotos sekarang, dan Alet hanya bisa menjadi penonton tak bisa melerai. Si preman mulai kewalahan dan akhirnya kabur.

Alet segera menolong pria yang tadi menolongnya. Alet memapahnya hingga warung di dekat sana. Dengan telaten, Alet mengobati luka pria itu. “Makasih ya udah nolongin gue tadi,” ucap Alet yang masih mengobati luka pria itu. Pria itu hanya bergumam. Setelah selesai, Alet segera pamit untuk pulang. Namun tiba-tiba pria itu menarik tangannya, “Nama gue Langit, itu yang pengen lo tahu tadi kan.”Alet mengulurkan tangannya.

“Salam kenal nama gue Alette Aozora, panggil aja Alet.” Langit pun mengulurkan tangannya dan sejenak mereka bersalaman. Alet akhirnya pulang. Di rumah, ia masih terbayang-bayang dengan pria yang ia temui tadi. Namanya Langit. Dan Alet suka langit.

***
Hai! ini cerita baru saya
Semoga suka, jangan lupa vote + comment ✨
Follow IG : salwa.mld

BellvaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang