3. Angin

4K 250 40
                                    

"Berjalan di atas kenangan, tak semudah yang dibayangkan."

***

Alette baru terjaga dari tidur lamanya. Ia terkejut saat ruangan putih mendominasi penglihatannya. "Gue dimana?" Tanya Alet. "Lodi uks, tadi lo pingsan." Seseorang membuka suaranya. Diliriknya orang itu, ternyata Marcel. Marcel menyodorkan sebungkus roti dengan air mineral. "Gue gak papa," ucap Alet lirih.

"Lo belum makan sampe pingsan lagi, udah terima aja." Alet mengalah, ia tak mungkin membohongi perutnya. Tadi pagi dirinya memang lupa sarapan, ia juga belum sempat ke kantin. Saat istirahat Alet sibuk dengan urusan dekor hingga melupakan perutnya yang sedari tadi keroncongan.

"Lo sebaiknya pulang aja, gue anterin ya?" tanya Marcel so perhatian. "Bukannya lo ada rapat?" tanya Alet.

"Lo pulang bareng gue aja," Langit yang baru datang menawarkan dirinya. Alet segera mencari celah, "Iya gue sebaiknya sama Langit aja." Marcel terlihat berfikir. Akhirnya Marcel menyetujuinya. Alet bernafas lega, ia bergegas ke kelas, diantar Langit. Allet masih merasakan pusing di kepalanya, ia benar-benar membutuhkan istirahat.

Alet merapikan alat-alat tulisnya, seraya meminta izin kepada guru. Langkahnya yang gontai, membubuh gejolak dalam benak Langit. Sekali lagi ia melihat gadis dungu berjalan tepat di sampingnya. Sedangkan pikiran Alet berkecamuk kesana - kemari. Alet berpikir dua kali. Dengan tampang Langit yang tidak meyakinkan, Alet takut Langit akan melakukan apa-apa kepadanya.

"Sebaiknya lo masuk kelas lagi deh, gue naik taksi aja," ucap Alet seraya mendahului Langit. "Gue anterin, lagi pula gue bawa helm dua." Langit sudah menaiki motornya. Ia terlihat lebih keren ketika sudah mengenakan helm dan duduk di motornya. Langit menyodorkan helm kepada Alet.

"Gak makasih, gue mau naik taksi."

Langit mendengus sebal, "Lagian lo mau pingsan pas lagi nunggu taksi, dingin banget lagi." Alet mengalihkan pandangan berusaha mencari taksi yang lewat. "Gue itung sampe lima kalo lo gak naik gue tinggal."

"1.. 2.. 3.."

"Mau lo apasih? Lo mau ngajak gue ke tempat sepi terus lo mau ngapa-ngapain gue maksa gue terus lo dengan tampang tak meyakinkan gini bakal..."

Langit menyalakan motornya seraya pergi dari hadapan Alet. Alet melongo tak percaya. Pria itu benar-benar meninggalkannya pergi. Alet menutup mulutnya, ia merasa bersalah karena berbicara seenaknya tadi. Alet masih terdiam melihat Langit yang mulai menghilang bak merpati di topi pesulap. Alet bergegas untuk duduk di halte menunggu taksi atau bus yang lewat.

Angin berdesir hebat. Alet memasukkan tangannya yang telanjang ke dalam saku. Wajahnya berubah menjadi carut-marut. Sepersekian detik kemudian, terdengar derap kaki yang berat di arah jam tiga. Alet melirik sebentar. Alet melihat seorang pria dengan seragam sekolah yang berbeda dengannya. Sudah pasti ia berasal dari sekolah lain.

Tubuhnya tinggi semampai. Matanya pancarkan silau yang menyilaukan mata. Tampangnya terlihat sangat fashionable. Pria itu mendekat, menyelubungi punggung Alet dengan jaket yang dibawanya. "Eh," Alet melihat pria itu. Pria itu tersenyum dengan manis kepada Alet. Tabiatnya memang sangat baik, jauh berbeda dengan Langit ataupun Marcel. Alet terus melihat ke arah pria itu.

"Ada yang salah sama gue?" Pria itu memecah keheningan dan membuat Alet kembali sadar dengan lamunannya. "M-maaf," Alet menjawab gugup. Pria itu duduk di sebelah Alet. "Lo ngapain di sini Let?" tanya pria itu.

"Gue mau pulang soalnya tadi gue gak enak badan," ujar Alet. "Tunggu tadi lo bilang apa? Let? Lo tau dari mana nama gue?" sambung Alet yang baru menyadari ucapan pria tadi. Pria itu terlihat kaget. "Lo lupa sama gue?" tanyanya balik. Alet memicingkan wajahnya dan mulai mengingat.

***

Jakarta, 28 Oktober 2017

Namanya Gavin.

Ia seperti angin yang hembuskan nestapa. Bukan karena itu juga sih, aku menjulukinya angin karena dia datang saat cuaca sedang berangin. Ia menyelimuti punggungku dengan jaket yang ia bawa. Aroma maskulin masih berkeliaran di hidungku. Aku masih bisa merasakannya. Entah kenapa aku bisa lupa dengan perkenalan singkat kita dulu. Waktu itu, kau yang mengajariku bahwa melalui seni kita bisa mewakili perasaan kita. Aku duduk termangu di kursi pojok sebuah ruangan, merasa gugup karena melihat orang lain yang lebih hebat dibandingku. Lalu dia datang sebagai lawanku, kita berkenalan dan saling menyemangati. Meskipun setelah itu kita tak lagi bertemu, dan aku sempat melupakanmu.

Tadi siang, aku banyak berbicara dengan dia. Gavin tahu banyak tentang seni. Sudah jelas, ia juga sekolah di sekolah seni. Ia berkata, akulah yang menyadarkannya bahwa roda hidup itu memang berputar. Tidak selamanya kita ada di atas dan tidak selamanya kita ada dibawah. Ia juga mengantarkanku pulang, bahkan ia masuk ke rumahku. Teman lelaki pertama yang tapakkan kakinya di ubin rumahku. Ibu terlihat menyukai Gavin, mereka berbicara seputar seni, khususnya seputar lukisan. Membuat obrolan mereka nyambung karena ibu juga memiliki hobi yang sama denganku. Bakatku memang turun dari ibuku. Namun karena aku kelelahan, aku tak sempat mendengar lagi percakapan ibu dan Gavin.

Aku ketiduran, saat mulai terjaga, aku melirik handphoneku. Aku menemukan sebuah pesan darinya. Kami memang sudah bertukar nomber Whatsapp tadi. Gavin memberitahuku besok akan ada pameran seni di alun-alun. Ia bahkan mengajakku pergi bersamanya. Ah, aku sangat senang. Rasanya ingin segera hari besok.

***

Langit berjalan dengan pelan melewati anak tangga. Napasnya tersenggal-senggal. Sesekali ia melirik ke arah ruangan pualam di pojok kanan. Yang benar saja, ibunya sedang tidak ada di rumah. Langit kembali bernafas lega, senyuman mengembang di rona wajahnya. Langit melangkahkan kakinya ke ruangan yang dianggap gudang oleh ibunya. Bukan gudang sesungguhnya.

Walaupun begitu, Langit yakin, ibunya tak sepenuhnya membuang ayahnya. Buktinya semua alat musik peninggalan ayahnya tak dibuang, namun tertata rapi di ruangan itu dan terlihat masih sering diurus. Langit mengambil tape recorder di atas meja. Barang yang sudah lama Langit cari. Sudah lama ia ingin mengambilnya, tape itu adalah barang berharga bagi Langit.

Di dalamnya terdapat satu rekaman ayahnya saat memainkan piano dengan membawakan lagu Moonlight karya Beethoven. Lagu pertemuan ayah dan ibunya, lagu yang memiliki irama yang sendu. Langit memutar rekaman tersebut, mulai masuk ke dalam alunan ayahnya. Rasanya hatinya menjadi tenang. Rasanya Langit menjadi rindu saat ia belajar bermain piano dengan ayahnya. Rindu suasana hangat keluarganya saat masih ada ayahnya. Rindu sang ayah.

Langit menatap rerintikan air hujan di jendela. Mulai menekan tuts piano yang terasa kasar mungkin karena sudah lama tak dimainkan. Sembari menatap ke arah dua orang yang disayanginya di pigura yang sudah usang.

"Ayah, Kak Bulan,"

"Langit ingin pulang,"



Tbc

Dont forget for vomment

BellvaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang