15. Berubah

2.3K 122 16
                                    

"Berpura-pura bahagia itu menguras banyak tenaga."

***

Masih dikecamnya rasa takut. Sepertinya Langit memerlukan seorang bodyguard. Namun itu terlalu berlebihan. Langit melihat pria itu melambaikan tangan kepadanya. Alih-alih menunjukan wajah yang bersalah, pria itu malah menunjukkan wajah yang gembira tanpa dosa.

Langit menghampirinya dengan kepalan nafsu yang membara. Tangannya sudah gatal untuk meninju pria itu. "Duduk Jar, udah lama gak ketemu. Om jadi pangling liat kamu."

Langit masih berdiri tak bergeming. Jika saja orang itu mengajaknya bertemu di ring tinju, ia tak akan tersiksa untuk menahan emosinya. "Kamu gak mau duduk?" tanyanya lagi.

Langit tertawa sinis, "Lo mau bunuh gue juga?!" Urip menundukkan kepalanya. "Maafin om, Fajar. Tapi bukan om yang udah ngebunuh papa dan kakak..."

"Bacot," potong Langit. Tangan Langit sudah mengepal bulat. Urip menyadari akan hal itu, Langit adalah remaja labil. Ia tak bisa membicarakan kebenarannya sekarang, seharusnya memang menunggu waktu yang tepat.

Langit meraih kerah baju Urip. "Lo dengerin baik-baik, nyawa harus dibayar nyawa. Dan gue bakal pastiin lo bakal mati di tangan gue." Langit melepasnya lagi dengan kasar. Ia beranjak pergi tanpa membiarkan pria itu berkata lagi.

***

Malam ini hujan turun. Rintik airnya meluncur dengan cepat, berlomba-lomba turun ke bumi. Cukup deras memang, tapi itu tidak menganggu Langit untuk latihan. Langit mencoba memainkan lagu Etude Op. 10 No. 4 karya Chopin.

Ibunya dengan setia menemani Langit latihan. Permainan Langit sekarang memang tak terlalu bagus dibanding dulu. Maklum, karena ia sudah lama tak latihan.

Langit jadi merasa rindu saat-saat ayahnya mengajarinya bermain piano. Setelah lumayan lancar, Langit merekam permainannya. Malam ini sudah terlalu larut, Langit memutuskan untuk mengakhiri latihannya. Toh ibunya pun sudah mengantuk.

Langit duduk di atas ranjangnya. Tangannya bergerak untuk mengirim pesan kepada seseorang.

Alet 👙

Addbck

Siapa

Kembaran jefri nichol masa lo gak tau

Alet sangat kelelahan, berpura-pura bahagia itu menguras banyak tenaga. Sebenarnya ia tahu si pengirim chat itu adalah Langit. Meskipun tidak pernah chat, Alet menyimpan nomer Langit untuk berjaga-jaga. Alet menenggelamkan kepalanya diatas lipatan tangannya. Ia baru teringat sesuatu.

Saat hari kedua Alet dan Gavin berpacaran, Alet melihat ponsel Gavin berdering. Itu adalah alarm pengingat, disana bertuliskan waktunya pemeriksaan. Alet sempat bertanya kepada Gavin.

"Oh, itu gue sering periksa rutin kesehatan gue aja buat jaga-jaga kan? Manusia gak pernah tau mereka bakal sakitkan?"

Begitu bodohnya Alet percaya akan hal itu. Sesudahnya Gavin juga sempat terlihat sangat pucat saat mereka sedang minum teh di cafe. Itu adalah satu hari sebelum mereka putus. Alet sangat khawatir waktu itu. Namun tak ada hal yang ganjil dan keesokannya pun ia terlihat segar.

"Kemarin itu gue cuma kelelahan, Let. Gue punya banyak tugas di sekolah."

Alet merutuki dirinya sendiri. Gavin benar, pada saat itu dihatinya sudah ada orang lain. Hingga kekhawatirannya pun hanya sebatas di hari itu saja. Alet tak sempat memikirkan itu lagi, karena setelah kalimat penenang itu, Gavin memutuskannya.

BellvaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang