"you love me, but I don't feel so"
***
Lima menit setelah bel masuk berbunyi, kantin sudah sepi. Tinggalah satu cowok dengan tangan menelungkup di meja, dan kepala yang ditenggelamkan.
Drtt... Drtt... Drtt...
Langit enggan menjawab panggilan masuk di ponselnya.
Drtt... Drtt... Drtt...
Merasa terganggu, Langit langsung mengangkat panggilan masuk tersebut. "Hallo," ucapnya malas.
"LANGITTT! LO DIMANA WOY!" Langit buru-buru menjauhkan ponselnya dari telinga. Barus sepertinya memakai toa masjid ketika menelpon Langit.
"Gue di kantin,"
"Lagi ngapain lo di kantin?"
"Gue lagi tidur lo ganggu aja, ngajak ribut lo?!" Langit langsung memutuskan sambungan teleponnya dengan Barus. Kembali menikmati tidurnya yang lelap.
Drtt... Drtt... Drtt..
Langit menggaruk kepala gemas. Ia segera mengangkat telepon yang masuk. Bahkan tak sempat untuk melihat siapa yang menelepon. "BERISIK TAU, RUS!"
"Aduh, ada apa sih Lang? Ko kamu teriak-teriak," Yang menjawab ternyata suaranya halus. Langit melihat nama yang tertera di ponselnya lagi. Itu ibunya, telepon dari ibu Hasanah.
"Hehe maaf bu kirain tadi Barus. Ada apa bu?"
"Ini ibu ke kelas mu tapi kamu kok gak ada, kamu dimana?"
"Dikelasku?!" Langit buru-buru menutup telepon nya sepihak. Langit beranjak dan berjalan sedikit tergesa-gesa. Langkahnya ia percepat. Langit tak mau ibunya tahu bagaimana sifatnya di sekolah. Bisa marah besar dia.
Sesampainya di kelas, ia melihat ibunya berbicara dengan bu Afifah. Langit melirik teman-temannya yang sibuk mengerjakan tugas. "Ibu ngapain di sini?" tanya Langit mengabaikan bu Afifah di depannya.
"Muncul juga kamu, ayo ikut ibu ke ruang kepala sekolah." Ibu Hasanah mengekori guru kiler itu dari belakang. Langit hanya bisa pasrah jika yang dihadapinya itu ibunya.
Sejak kedatangan Langit di kantor Kepala Sekolah. Ruangan itu menjadi ramai dipadati beberapa orang yang penasaran. "Anak ibu hanya masuk satu kali dalam seminggu. Presentase kehadirannya pun sangat rendah. Dan saya juga sudah berusaha memanggil dia setiap kali kabur sejak pelajaran dimulai. Namun tak pernah sekali pun ia datang dengan sukarela."
"Loh pernah--"
"Jika sekali lagi dia bolos. Kemungkian besar anak ibu bakal tinggal kelas. Bahkan dikeluarkan," Ibu Afifah mengambil napas panjang setelah berkata sangat lama. Ia sudah lelah dengan sifat satu anak manusia ini.
"Jadi anak saya dikeluarin bu?" tanya bu Hasanah dengan wajah sangay cemas. "Belum bu, saya hanya ingin memberikan surat peringatan ini."
"Ga usah bertele-tele bu, saya lebih mending keluarin aja biar pasti." ucap Langit ceplas-ceplos yang mendapat lirikan tajam dari ibunya. "Maaf bu, kami permisi dulu," ibu Hasanah dan Langit bergegas ke luar.
Kebetulan bel pulang sekolah sudah berdering. Alet juga baru keluar dari rejatan soal kimia. Ia melihat beberapa orang bergerombol entah membiacarakan apa. "Let, Let lo tau gak." Syasya terlihat sangat riweuh.
"Gak tau,"
"Yeh, dengerin gue dulu. Tadi si Langit sama nyokapnya dipanggil ke ruang kepala sekolah."
"Apa?! Langit bakal dikeluarin dong?" Alet sangat terkejut.
"Engga tenang aja, cuma dikasih surat peringatan, tuh dia anaknya." Syasya menunjuk ke arah Langit yang berjalan dengan ibunya. Alet mengalihkan pandangannya ke arah Langit. Ia memberi senyum kepada Langit. Namun yang membalas justru ibunya. Alet merasa ada yang janggal dengan senyuman itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bellva
Teen FictionAlette Aozora. Gadis yang sangat menyukai langit. Siang ataupun malam, ia sangat menyukai bagaimana Tuhan menghiasi langitnya. Ia suka saat matahari terbit di pagi hari, saat dimana komorebi sedang indah-indahnya. Ia suka saat senja, saat dimana ma...