"Hidup sesingkat itu, kadang bahagia, kadang juga menderita. Kali ini, aku sedang dirundung keduanya."
***
Esok adalah hari baru, tepat dimana kemarin adalah hari yang kelabu. Gadis itu tampak biasa biasa saja sekarang. Tak ada hal yang mengganggunya. Meskipun akan ada sedikit perbedaan sifat diantara temannya. Akan ada perasaan canggung. Namun gadis yang tengah menguncir rambutnya itu, mencoba tak terlalu memusingkan perihal pria.
Selama beberapa detik ia menghembuskan napas pelan. Kalau pun ia ingin absen, ia hanya akan menjadi pecundang yang kalah di pertarungan. Satu tangannya memegang sketchbook kesayangannya.
Perlahan sebuah kenangan meremang di kepalanya. Satu kejadian yang ia lupakan sekian lama. Entah datang dari mana, namun dirinya begitu bodoh tak mengingat kejadian itu. Itu bermula saat usianya masih 13 tahun. Itu adalah masa sulit dirinya, ketika melihat tragedi pada salah satu teman yang sering ia perhatikan dari kejauhan.
Dalam perjalanan hingga sudah sampai di gerbang sekolah, kepala Alet masih berkecamuk memikirkan kejadian tiga tahun yang lalu itu. Ia masih heran kenapa bisa melupakan peristiwa yang amat sangat penting. Saking seriusnya ia berpikir, ia tak sadar keberadaan Langit yang sengaja menghalangi arahnya berjalan.
Hampir saja Alet menumbruk pria yang mengenakan jaket hoodie itu. Untungnya ia segera menyadari dengan melihat sebuah sepatu menghalangi jalannya. "Mikirin apa?" tanya Langit dengan santainya.
Bingung, Alet menggelengkan kepala. "Jangan bohong keliatan banget," Langit tampak khawatir dengan bola mata coklatnya yang teduh. Alet bisa melihat tatapan teduh itu, baru kali ini ia menyadari tatapan teduh lawan jenisnya itu.
"Gue gak mikirik apa-apa kok, tenang aja gue gak papa." Alet menepuk pundak sang pria dengan senyum yang tampak ditegar-tegarkan. Mereka berjalan beriringan hingga menarik perhatian banyak siswa. Suara desas-desus terdengar bertumpukan. Namun yang empu perhatian malah sibuk tenggelam di pikirannya masing-masing.
Dari sudut mata keduanya, Marcel dan Jessy semakin dekat. Baru saja mereka keluar dari ruang guru entah apa yang mereka lakukan. Dengan malas, Langit mengalihkan perhatian Alet ke arah kantin. Sembari tangannya meraih tangan si gadis. Alet jelas melihat kedekatan Marcel dan Jessy tadi. Entah mau dikatakan apa lagi, bukannya kapok malah terang-terangan mengumbar. Alet tak tahu lagi harus berbuat apa.
Getar samar ponsel milik Langit menghentikan langkah keduanya. "Bentar ya," Langit memeriksa ponselnya mengecek notif yang ada. "Eh lo ke kelas sendiri gak papa ya. Gue mau keluar lagi," lanjutnya.
"Lo bolos?"
"Enggak gue cuma ada janji,"
"Sama siapa?"
"Temen,"
"Iya siapa?"
"Kepo banget sih, gue duluan." Langit menepuk bahu Alet pelan sebelum berlari menuju motornya di parkiran. Langit sempat melihat Alet yang memutar bola matanya. Itu malah membuatnya semakin tersenyum, gemas.
Gerbang sudah ditutup, meskipun begitu, Langit tetap nekat untuk keluar melalui pintu rahasia. Baru saja ia melangkah di anak tangga kedua, seseorang berdiri tepat di belakangnya. "Lo mau kemana?" Alet membuat pria berhoodie itu kaget.
Langit menoleh ke belakang hingga kehilangan keseimbangan. Alhasil ia terjatuh dengan badan yang tertimpa tangga. "Shit,"
Langit meringis kesakitan. Kemudian tertatih berdiri sembari menepuk bagian bajunya yang kotor. "Lo gak bakal bisa bolos sekarang, ikut gue." Alet menarik lengan Langit dan menggusurnya hingga ruang bimbingan konseling.
Alet tahu itu, cukup mustahil menghukum makhluk ajaib sejenis Langit. Sudah dihukum berapa kali pun tak akan pernah mempan. Guru-guru bk pun sudah bosan melihat wajah itu itu terus yang mereka lihat. Awalnya guru pun hanya menyuruh Alet untuk membiarkannya. Namun Alet tetap keukeuh ingin menghukumnya. Guru pun menyerahkan hukuman kepada Alet.
"Kalo gitu, lo bersihin taman belakang."
"Lah, kalo itu mah kapan selesainya coba. Yang gampang aja lah, mending lari 50 keliling lapang aja."
"Enggak pokoknya harus bersihin taman belakang!" Alet bertambah ngotot hingga urat-uratnya keluar. "Pokoknya gue awasin,"
"Lo gak masuk kelas dong?"
"Gue kan dikasih amanat buat hukum lo, kalo lo kabur gue gak tanggung jawab dong. Gue juga lagi ada jam kosong,"
"Yah," Langit dengan malas mengambil sapu dan mulai membersihkan taman yang kotornya tak terbandingkan dimana pun. Alet memperhatikan pria itu sembari membaca buku yang diberikan omnya. Sesekali pandangan mereka bertemu di garis horizontal yang sama.
Suasana sunyi yang dihiasi suara hentakan sapu. Harusnya membantu Alet untuk terus fokus dengan bukunya. Namun ini lain, ada tambahan bumbu sebuah tatapan pria yang memperhatikan. Alet risih sekaligus salah tingkah.
"Ekhem, gue ke toilet dulu. Lo jangan kabur awas!" ucap Alet tanpa melihat ke arah sorot mata sang empu tujuan. Ia jelas kehabisan oksigen untuk bernapas. Dari tadi yang dikerjakan Langit hanya memperhatikan Alet dengan sapu ditangannya. Bukannya membersihkan ia hanya mengeser sedikit demi sedikit sampah.
Alet bergegas kembali lagi setelah mengatur napasnya. Ia kira makhluk halus itu akan kabur selama Alet di toilet. Padahal Alet sudah menyiapkan nada marah pada suaranya. Namun Langit masih terlihat membersihkan di taman.
"Tumben gak kabur,"
"Gue gak bandel-bandel amat kali,"
"Perasaan lo yang kabur-kaburan," lanjut Langit.
"Kenapa jadi ke gue coba,"
Kala itu sekolah sangat hening, dan mereka hanya berduaan ditengah kesibukan pikirannya masing-masing. "Lo gak takut berduaan sama gue?" tanya Langit memecah hening.
"Kenapa gue harus takut?" timpal Alet.
"Lo gak takut gue maksa lo?"
Alet menggelengkan kepalanya, "Kalo lo ngelakuin macem-macem ke gue, gue tinggal teriak aja. Biar satu sekolah gebukin lo."
"Gue gak bakal macem macem kok, cuma maksa lo buat satu hal," Langit manggut manggut.
"Maksa apa? Bantuin lo?"
"Maksa jadi pacar gue," Langit tersenyum ke arah Alet dengan enteng. Seketika Langit bersikap sangat imut. Hingga membuat Alet blushing tak tertahan. "Tapi," lanjutnya tersekat.
Alet memalingkan wajahnya. "Gue serius," lanjut Langit dengan wajah manisnya. Mendengar itu Alet terdiam sejenak. "Ah lo becanda aja," ujar Alet sembari menepuk pundak Langit.
Langit meraih kedua lengan Alet. Jarak mereka hanya tinggal beberapa senti. Membuat jantung Alet berdetak tak karuan. "Engga," spontan Alet karena gugup.
Langit melepas genggamannya lemas, "Cepet banget lo nolaknya," ia tertawa sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
"Eh, bukan-bukan itu maksud gue." Alet menyadari perkataannya tadi. "Maksud gue, lo bukannya suka sama Bila?" lanjutnya bertanya.
Langit tertawa membuat Alet kebingungan. Ia memetik salah satu bunga mawar di sana lalu menyisipkannya di telinga Alet. "Gue gak ada apa-apa sama Bila, karna tadi lo bilang ga maksud nolak gue, berarti lo jadi pacar gue sekarang."
"Eh,"
"Kalo gitu sebagai pacar gue sekarang bantuin gue nyapu," kata Langit menyodorkan sapu lidi ke arah Alet.
"Eh, kok gue jadi di suruh-suruh!"
"Cepet lah lo kan pacar gue,"
***
Tbc
COMEBACK AGAIN!
Maaf bgt lama update:((
Jgn lupa vomment💓
Xoxo
KAMU SEDANG MEMBACA
Bellva
Teen FictionAlette Aozora. Gadis yang sangat menyukai langit. Siang ataupun malam, ia sangat menyukai bagaimana Tuhan menghiasi langitnya. Ia suka saat matahari terbit di pagi hari, saat dimana komorebi sedang indah-indahnya. Ia suka saat senja, saat dimana ma...