"Belajarlah dari langit, ia tak butuh warna-warni untuk membuatnya cantik. Cukup biru dan putih, ia sudah terlihat menawan."***
Semua persiapan pensi sudah hampir 100%. OSIS kali ini sudah bekerja keras, tinggal menunggu esok. Marcel menghampiri Alet dengan membawa sebuah botol minuman. "Kerja bagus Let," ujar Marcel seraya memberikan botol minum. Alet menerimanya dengan senyuman merekah. Rencananya Marcel akan ikut memeriahkan pensi besok bersama gruf band nya. Marcel pintar bermain gitar, ia memang idola di sekolah Alet. Mungkin hanya Alet saja yang tak tertarik.
Sembari menunggu teman-temannya selesai bekerja, Alet dan Marcel banyak berbincang di pinggir lapang. Jangan lagi ditanya, Marcel yang mendominasi dalam perbincangan. "Ekhem," seseorang berdehem di belakang Alet dan Marcel. "Boleh ganggu gak? Gue mau ngomong berdua sama lo, Alet." Ia sedikit menekankan kata-katanya saat mengucapkan nama Alet.
Aimee mencekal tangan Alet, namun berhasil dilepas Marcel. "Bisa bicara di sinikan?" Marcel balik menantang. Aimee merasa geram. Namun sebelum terjadi apa-apa, Alet segera permisi untuk pergi. Alet tak mau terkena masalah. Alet pergi ke taman belakang sekolah, tempat yang cocok untuk meditasi dan menenangkan diri. Taman belakang sekolah memang jarang didatangi siswa.
Saat sampai di sana, Alet menemukan seseorang tengah duduk dengan telinga disumpai earphone. Alet menghampirinya, ia mencabut sebelah earphone dari telinga kiri pria itu dan menempelkannya di telinga kanannya. Saat mendengar lagu yang tengah di putar, Alet tersentak kaget. "Beethoven? Moonlight?"
"Hm,"
"Gue kira cowok kaya lo bakal dengerin lagu rock, jazz atau yang lainnya, oh ya lagi pula lo gak ada niatan minta maaf gitu sama gue?" Alet melirik Langit. Langit tak menggapinya bahkan tak meliriknya balik. Merasa kesal karena dicuekin, Alet mencabut earphone dari telinga Langit dan juga dari Hpnya, lalu Alet menyembunyikannya di belakang badannya. "Lo apaan sih, ganggu ketenangan orang aja." Langit berusaha mengambil earphonenya kembali.
Tak sadar, sekarang posisi mereka sangat dekat. Seperti posisi sedang memeluk. Padahal Langit hanya berusaha mengambil earphone di tangan Alet yang disembunyikan di belakang tubuhnya. Alet hanya bisa mendengar degupan jantungnya sendiri. Ia mencium aroma woody yang sangat maskulin pada pria yang berjarak sangat dekat dengannya. Alet melihat wajah pria itu, dan rasanya jantung Alet bisa meledak saking cepatnya debaran.
Setelah mendapatkan tujuannya, Langit terlihat biasa saja kembali. Sedangkan Alet sudah blushing dari tadi. Rona merah bersarang di kedua belah pipinya. "Lo kenapa?" tanya Langit yang membuat Alet tersentak. "Eh, E-enggak kok," Alet segera pergi meninggalkan Langit. Alet sangat kesal dengan apa yang sudah dilakukan Langit tadi. Namun, jauh di lubuk hati terdalamnya, Alet merasa sedikit bahagia ketika bersama Langit. Entah kenapa, mungkin karena Langit selalu menjadi sasaran empuk untuk diganggunya.
Alet hendak menenangkan diri ke kantin dan makan karena lapar. Namun setelah melihat Aimee dan dayang-dayangnya, semuanya luruh Alet jadi tak nafsu makan. Besok pensi, dan minggu besok ulangan kenaikan semester. Kepala Alet sungguh ruam, untung sepulang sekolah Alet akan pergi bersama Gavin. Tiba-tiba mood Alet kembali setelah nama Gavin terlintas d pikirannya.
Bel pulang sekolah telah bergema, namun untuk seluruh anggota OSIS belum dibolehkan untuk pulang. Rencananya akan diadakan gladiresik. Padahal Gavin sudah bilang akan menjemputnya. Alet berusaha menghubungi Gavin, namun Gavin tak kunjung menjawab. Alet segera pergi ke halte sekolah, barangkali Gavin sudah ada di sana. Benar saja, Gavin sudah ada di sana. Namun ia tak sendirian, ada Langit juga di sana. Alet melangkah menghampiri keduanya.
"Gav, sorry kayanya gue gak bisa balik sama lo."
"Hm, iya gapapa kok, nanti sore jam 4 jangan lupa ya." Gavin tersenyum lembut ke arah Alet. Langit mendelik ke arah Alet, "Tunggu, jadi lo ngajak cewek aneh ini?" Gavin menanggapinya dengan tertawa. Alet berusaha meredam emosinya, mana mungkin dia memarahi Langit di depan Gavin. Alamat Gavin ilfil. "Aneh darimana sih lo ada-ada aja Jar,"
Wajah Langit berubah tiba-tiba, "Lo jangan manggil gue gitu." Alet kebingungan, barusan Gavin memanggil Langit dengan sebutan 'Jar'. Dari mana asalnya panggilan jar, kenapa Langit berubah menjadi marah ketika Gavin memanggilnya begitu dan juga kenapa mereka bisa saling kenal. Alet harus menyimpan dulu beberapa pertanyaan itu. Ia bergegas kembali ke sekolah. Setelah semua rangkaian gladiresik selesai Alet segera pulang.
Masih sekitar satu jam lagi menuju jam empat. Saat sampai di kamarnya, Alet tak bisa tahan untuk mengbrak-abrik lemarinya. Mencari pakaian mana yang bagus dan terkesan cantik melekat di tubuhnya. Sarah melihat tingkah laku anaknya. Ia menggelengkan kepalanya dan tersenyum tipis. Sarah tahu anaknya pasti sedang jatuh cinta. "Aduh Let kamar berantakan gini, masa kamar anak perawan kek kapal pecah."
"Ih Mamah, bantuin aku kek cariin baju yang bagus."
"Kamu mau kemana sih pake baju bagus? Kondangan?" Sarah menginterogasi anaknya itu.
Alet menjawab dengan ragu, "Aku mau main sama temen." Sarah terlihat fokus memilih beberapa baju dan menyetelkannya dengan bawahan yang sudah dipilih Alet. "Temen apa temen?" Alet langsung menjawab dengan lantang, "Temen ma."
Sarah tertawa puas menjahili anaknya itu. Akhirnya pilihan terakhir jatuh ke kemeja merah hitam dengan jaket levis. Alet baru menyadari dirinya mempunyai baju itu, maklum Alet hanya sering memakai kaos oblong dengan celana selutut jika di rumah. Alet segera memakai baju mengikat rambutnya. Sebenarnya ia sedikit ragu dengan pilihan Sarah yang terkesan tidak nyambung. Tapi setelah dipakai, benar saja ia melekat indah di tubuh semampai Alet. Saat ini Alet sudah siap.
Alet segera mencari taksi dan pergi menuju taman kota. Di sana sudah ramai, Alet hampir tak menemukan Gavin. Dan ternyata, Gavin tak sendirian, ia ditemani Langit dan seorang perempuan. Gavin melambaikan tangannya kepada Alet, Langit mendecih tak menghiraukan kehadiran Alet. Alet menghampiri Gavin dengan wajah tanda tanya. Gavin seakan mengerti, ia menjelaskan semuanya. Padahal Alet kira mereka akan pergi berdua.
"Let kenalin ini Rachel sepupu gue," Alet menyalami Rachel. "Salam kenal gue Rachel." Rachel tersenyum lembut. "Gue Alet,"
"Sebelum pertunjukan musik dimulai sebaiknya kita keliling aja dulu ya," Gavin memberi usul. Namun Rachel menolak karena alasan akan mempersiapkan penampilan namun Langit juga ikut. Gavin mengiyakan, Alet sebenarnya penasaran. Rachel akan tampil? Namun Gavin selalu mengelak untuk memberi tahu dan malah bilang bahwa Alet akan tahu sendiri nanti.
Sepertinya sifat kekanak-kanakan Alet memang susah hilang, Alet membeli permen kapas dan terlihat senang ketika sudah mendapatkannya. Gavin hanya tertawa dengan sifat lucu Alet. Alet melihat ke atas langit, "Nimbostratus." Ucap Alet tiba-tiba. Gavin melirik Alet, "Hm?"
Alet menunjuk awan di atas, "Itu awan nimbostratus, awan pembawa hujan tanpa petir."
"Pluviophile?"
"Gue kira sebaliknya, pluvhiophobia mungkin, tapi gue gak takut juga sih."
"Lalu?"
"Mungkin bisa dibilang, gue adalah orang yang menikmati pemandangan langit baik dalam gelap maupun terang."
Gavin menatap heran bercampur kagum ke arah Alet. Gavin tersenyum penuh makna. "Oh iya, gue dari tadi mau nanya, lo kenapa bisa kenal Langit?" tanya Alet penasaran. "Ya jelas kenal lah, dia kan pacarnya Rachel." Pernyataan yang mengejutkan dari Gavin. Seketika angin menghembus kencang, seperti menerpa Alet yang dihujam kaget. Rasanya ada yang tergumpal di dalam hati Alet. Perasaan macam apa itu? Alet tak tahu.
***
Tbc
Di mulmed ada Alet
Pluviophile merupakan istilah yang berarti pecinta hujan.
Pluviophobia merupakan istilah yang menjelaskan tentang ketakutan berlebihan terhadap hujan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bellva
Teen FictionAlette Aozora. Gadis yang sangat menyukai langit. Siang ataupun malam, ia sangat menyukai bagaimana Tuhan menghiasi langitnya. Ia suka saat matahari terbit di pagi hari, saat dimana komorebi sedang indah-indahnya. Ia suka saat senja, saat dimana ma...