"Wanita mana pun tak ingin di sakiti."
***
Petala langit mulai pancarkan cahaya. Satu demi satu, manusia memulai aktivitasnya. "Kamu jangan lupa bawa minum sayang." Sarah mengingatkan. Dengan cekatan, Alet mengambil kotak makan dan botol minumnya.
Alet mengambil tas punggungnya segera berangkat sekolah. Alet melangkah pasti melewati pagar rumahnya. "Ngapain lo disini?" tanya Alet saat menemukan sosok yang tak diinginkannya kini tiba-tiba muncul dihadapannya. "Gue mau nagih janji sama lo," jawab Langit dengan pasti.
"Gue gak pernah janji apa pun sama lo," ketus Alet.
"Lo emang gak janji, tapi semalem gue janji sama diri gue sendiri. Gue janji kalo besok lo berangkat sama gue." Langit memberikan helmnya ke arah Alet. Alet hanya terpaku menatapnya. Langit menyodorkan helm yang ia siapkan khusus itu kembali. Namun Alet tetap diam terpaku, ia sungguh merasa bersalah kepada Langit.
Alet menolak helm yang diberikan Langit. "Sorry, gue udah janjian berangkat sama Bila."
Langit tersenyum miris, "Bila apa Marcel?" Alet tertegun. "Barusan gue liat Bila berangkat sama Bagas," Langit merasa percuma sekarang, meskipun Langit memaksa Alet, Alet pasti menolak. "Jadi lo nolak gue lagi?" tanya Langit lagi.
Lagi-lagi Alet merasa bersalah. Padahal ia sudah memilih untuk jadi antagonis di dalam kisahnya sendiri. "Sorry," lirih Alet sekali lagi. Langit tersenyum miris. Ditolak secara halus adalah hal yang lebih menyakitkan dibandingkan ditolak dengan kasar.
Langit melajukan motornya tanpa sekali pun melirik ke arah Alet. Langit masih belum menyerah. Ia masih bisa merasakan bahwa Alet juga menyukainya. Langit menghembuskan napasnya berat. Dan entah kenapa gadis itu malah membuat Langit semakin penasaran kepadanya.
Langit telah memasuki tempat parkir sekolah. Kebetulan masih ada Bila dan Bagas di sana. "Gue mau ngomong sama lo, Bil. Gue tunggu di taman belakang." Langit melangkah mendahului Bila dan Bagas. Bila melirik Bagas, yang tersenyum samar. "Sayang, aku.."
"Iya boleh kok," potong Bagas yang sudah mengerti. Bila berlari mengejar Langit. Sedangkan Bagas hanya tersenyum sebagai obat ampuhnya untuk sabar.
"Ada apa lagi sih, Lang?" tanya Bila sembari duduk di sebelah Langit. "Menurut lo, Alet beneran suka sama gue gak sih?"
"Menurut gue sih iya," Langit melanjutkan bercerita kepada Bila. "Ya udah gue duluan ke kelas," Bila mengakhiri pembicaraan. Saat sampai kelas, Bila melihat Syasya tengah menelpon seseorang dengan tergesa-gesa.
"Kenapa lo?" tanya Bila. Syasya melirik keberadaan Bila di sampingnya. "Lo bareng si Alet ga?" Syasya balik bertanya. Sedangkan Bila hanya menggelengkan kepalanya. "Emangnya belum datang?"
"Iya padahal gerbang udah mau ditutup, gue mana bisa idup tanpa dia saat ulangan." cerocos Syasya yang sangat memekakkan telinga. "Bentar lagi juga datang, lo tenang aja dia kan bareng sama Kak Marcel."
"Tapi Kak Marcel udah datang dari tadi," Bila membelalakkan matanya. "Yang bener? Kok bisa?"
"Mana gue tau,"
Tak lama saat gerbang akan ditutup, Alet datang dengan peluh yang deras membanjiri seragamnya. Jika telat saja semenit atau sedetik, Alet tak akan dibiarkan masuk selama pelajaran pertama dan kedua berlangsung. Alet bernapas lega, ia tak menyangka bisa setelat ini ke sekolah.
"Lo kok bisa telat? Dan kenapa Kak Marcel udah ada di sekolah aja gak bareng lo?" tanya Syasya yang tak ada ujungnya. Alet mengipas-ngipaskan tangannya. "Kak Marcel tiba-tiba batalin berangkat bareng gue,"
"Kenapa?" kepo Syasya.
"Dia bilang mau nganterin Mamanya dulu."
"Idaman banget ya?" Syasya menggoda Alet yang masih terengah-engah. "Idaman sih iya, tapi gak buat gue nungguin dia lama banget juga kali."
"Btw lo udah ngapalin buat ulangan belom?"
"Ulangan apa?" Dengan polos Alet malah balik bertanya. "Berarti lo enggak menghapal dong?"
"Emangnya ulangan ya?"
"Iya ulangan kimia,"
"Kok lo gak ngasih tau gue sih?"
"Mana ada, orang biasanya lo yang ngasih tau gue."
Sial sudah Alet kali ini, kemungkinan nilainya pasti jebol. Baru kali ini Alet bisa lupa persoalan sekolahnya. "Sumpah gue gak paham sama semua soalnya," keluh Alet. "Makanya jangan mikirin cowok terus kali." sambut Bila. Istirahat kali ini Alet menghabiskan waktunya di kelas.
Pelajaran terakhir pun Alet terlihat tak fokus. Ia jadi dibuat bingung sendiri. Semalam dia sama sekali tak menghapal. "Lo kenapa sih hari ini?" tanya Syasya. Alet menggelengkan kepalanya. Ia menenggelamkan wajahnya diatas lipatan kedua tangannya. Sepersekian detik kemudian Alet beranjak meninggalkan kelas.
Di depan kelas, Alet sudah di sambut Langit. Lagi-lagi Alet mengabaikan Langit. Ia berjalan melewati Langit. Langit tak tahan terus-terusan diabaikan. Ia mengambil botol minum Alet yang sudah kosong lalu memainkannya. Alet menyadari itu.
"Kembaliin ga!" wajah Alet mulai merah padam. Sedangkan Langit malah berlari lebih jauh membawa kabur botol minum Alet. Langit berlari ke lantau atas yang ditinggali kelas 11 juga 12. Langit memainkan botolnya dan mengacung-acungkannya kebawah.
Alet berusaha meraih botolnya agar tidak terjatuh. Namun nihil, karena Alet kalah tinggi dari Langit. Tangannya tak sepanjang Langit. Alet meraih leher Langit dari belakang dan mencekiknya kuat-kuat. Bukannya Langit merasa kesakitan, ia malah merasa geli dan seperti dipijat-pijat. "Lo mijitin gue entar aja di rumah, Let. Ntar kalo udah itu gue pijitin lo juga."
"Gila lo,"
"Apaan yang gila coba? Kalo udah mijitin gue, ntar gue juga pijitin lo juga. Alah pikiran lo ngeres nih." goda Langit yang masih memain-mainkan botol Alet. "Langit ih, balikin ga!"
"Apa balikan, Let? Kita kan belum pernah jadian. Tapi kalo lo mau gue hayu aja sih." Langit sedikit menaikkan volume bicaranya kala melihat Marcel sedang kepanasan. Ubun-ubun kepala pria itu mulai berasap.
"Apaan sih lo?! Balikin ga!" bentak Alet yang tak menyadari keberadaan Marcel. Namun suara Alet kalah terdengar dibanding emosi Marcel yang sudah menyulut. Di posisi Alet dan Langit yang sangat dekat, membubuhkan banyak kesempatan bagi Langit.
Tangan Marcel bulat mengepal saat melihat Alet semakin dekat dengan Langit. Buru-buru ia mengambil botol minuman Alet dari tangan Langit. Di sana Alet baru menyadari bahwa Langit sengaja lari ke sana. Di sana sudah jelas depan kelas Marcel.
Marcel memberikan botol yang ia rebut kepada Alet. "Alet seharusnya lo jangan ladenin orang kayak dia."
Langit tak ingin kalah suara. "Lo jangan mau diboongin sama dia, Let." ucapnya santai.
"Maksud lo?" sahut Alet dengan wajah yang penasaran. Langit tersenyum sinis ke arah Marcel. Marcel semakin mengepalkan tangannya. "Gue bilang jangan ladenin dia!" bentak Marcel dengan nada marah kepada Alet. Semua mata terkejut melihat Marcel yang kepalang marah, termasuk Alet sendiri.
"Lo taukan gue benci sama dia?! Lo gak usah berhubungan apa pun sama orang kayak dia! Lo murahan apa kurang perhatian sih?! Sini lengket situ lengket, gue kurang apa sih sama lo!"
Marcel benar-benar tak menjaga pembicaraannya. Semuanya keluar dengan spontan. Mata Alet berkaca-kaca. Marcel merasa bersalah dengan ucapannya tadi. Setelah emosinya reda, ia meraih tangan Alet. "Let, maafin gue, gue.."
Tanpa mendengar sepatah kata pun dari Marcel, Alet segera pergi dengan isakan tangis yang ia tahan. Marcel berusaha mengejar Alet. Apa yang ia katakan tadi benar-benar jahat. Wanita mana pun akan sedih dan marah di sebut begitu. Langit melihat Alet penuh iba, ia ingin sekali berlari mebgejar wanita itu dan memeluknya dengan erat.
***
Hallo guys, aku lama update ya maafin:(
Gak tau kenapa males banget ditambah tugas sekolah numpuk banget. Tapi aku usahain buat update terus, jangan lupa buat vote dan comment ya:)Xoxo,
salwamld
KAMU SEDANG MEMBACA
Bellva
Teen FictionAlette Aozora. Gadis yang sangat menyukai langit. Siang ataupun malam, ia sangat menyukai bagaimana Tuhan menghiasi langitnya. Ia suka saat matahari terbit di pagi hari, saat dimana komorebi sedang indah-indahnya. Ia suka saat senja, saat dimana ma...