"Cinta itu yakin, bahwa yang mencintai akan kembali."
***
"Gue duluan," Langit bergegas pergi tanpa basa-basi lagi. Keempat gadis itu hanya terpaku tak tahu apa yang terjadi. "Gue coba telepon Yoga," ujar Bila seraya membuka handphonenya. "Kenapa lo gak nelpon Bagas?" tanya Jessy yang membuat Bila tertegun. Syasya yang melihat perubahan ekspresi di wajah Bila segera mencubit Jessy agar diam. Jessy meringis pelan. "Hallo,"
"Hallo, Bil? Ada apa?"
"Lo tau gak Langit kenapa? Soalnya dia tiba-tiba pergi gitu aja dari rumah Alet,"
"Engkongnya meninggal, Bil. Gue juga lagi perjalanan ke rumah sakit. Kalo lo mau kesana juga lo ke rumah sakit pertiwi,"
Bila membekap mulutnya tak percaya. Bagaimana tidak, Langit pasti akan merasa terpukul. Ia selalu membuat engkongnya itu kewalahan dengan sifatnya. "Innalillahi, thank Ga," kata Bila singkat. "Engkongnya Langit meninggal," lanjut Bila memberitahukan kepada ketiga temannya.
Alet mengusap telungkupnya. Membuang nafas gusar. Sesuatu yang berat kembali menimpa Langit. Sebelumnya Alet tahu mengenai ayahnya yang dibunuh seseorang. Tidak sengaja Alet mendengar pembicaraan ibu dan omnya.
***
"Siapa anak itu?"
"Langit Brawijaya," Alet yang baru keluar dari kamar untuk ke dapur tiba-tiba tertegun mendengar nama Langit diucapkan. Alet menempelkan badannya ke tembok untuk mendengarkan pembicaraan.
Sarah membuang nafasnya gusar. Ia jelas tahu bahwa Alet memang dekat dengan Langit. "Rip, kamu tahu ini berbahaya buat Alet. Kalo misalnya pembunuh sebenarnya tiba-tiba ngapa-ngapain Alet gimana? Dan.."
Om Urip terlihat menenangkan Sarah yang jelas tak terima. "Sarah dengar, saya cuma ingin mengetahui bagaimana kehidupan anak itu." jelas Urip yang sebisa mungkin membuat Sarah mengizinkan. "Enggak, Rip, ini pekerjaan kamu. Kamu jangan bawa-bawa Alet!"
"Kamu tahu kan betapa syoknya kita denger kamu dipenjara karena kasus pembunuhan ayah dari anak itu. Dan sekarang kamu mau Alet ikut campur dalam hal seperti itu." Alet membekap mulutnya tak percaya. Dan tak sengaja, ia menjatuhkan gelas kaca di tangannya. Sarah dan Urip jelas mendengar dentuman gelas kaca yang jatuh ke lantai itu.
Alet akhirnya tertangkap basah, seperti kucing yang ketahuan mencuri ikan. Dan suasana menjadi rumit sehingga berakhir pada pembicaraan empat mata antara Alet dan Sarah. "Kamu dengar semuanya?" tanya Sarah dengan wajah sangar. Sedangkan Alet hanya menganggukkan kepalanya ragu.
"Kalo begitu mama langsung bicara aja, mama pengen kamu jauh-jauh dari Langit. Ini yang terbaik, Let. Mama sayang kamu, mama gak mau kamu kenapa-kenapa. Bagaimanapun dia cowok berbahaya. Kamu boleh sekedar berteman dengannya, tapi jangan terlalu dekat. Mama tahu kamu bisa memilih mana yang paling baik buat hidup kamu," Sarah mengakhiri pembicaraan tanpa membiarkan anaknya membuka suara.
***
Mereka berempat bergegas ke rumah sakit. Saat menginjak ubin rumah sakit, atmosfer terasa panas padahal sedang dalam suasana duka. Suasana panas semakin menderu di kala Om Urip juga ada di rumah sakit. Di sana Langit terlihat emosi ditahan oleh teman-temannya agar tak berbuat yang tidak-tidak.
Namun tak lama, Om Urip memilih pergi daripada memperkeruh suasana. Keadaan rumah sakit benar-benar lengang. Terdengar isakan tangis di dalam ruangan. Juga wajah-wajah beku yang turut berduka di luar ruangan. Atmosfer rumah sakit menjadi penuh haru, penuh kenyataan yang pahit, penuh ampas yang mendominasi gula.
Langit menjerit tanpa suara. Badannya lemas tak dapat bersua. Sekali lagi ia kehilangan sosok yang paling berharganya di dunia ini. Langit tak mampu mengeluarkan tangisnya. Ia jelas tak ingin terlihat menyedihkan diantara temannya. Hingga satu tangan seorang gadis menepuk pelan bahu pria itu.
Langit melirik pelan. Hingga tubuhnya jatuh menyelubungi badan gadis itu. Tangisnya tumpah seketika. Gabion egonya runtuh kala itu. Membuat suasana ruangan menjadi haru ditambah panas seketika.
Alet yang terkesiap tak tahu harus bersikap bagaimana melihat pemandangan yang ia lihat sekarang. Rasanya benar-benar sesak di dada. Matanya mulai panas meski merasa pilu melihat Langit yang begitu menjerit-jerit. Bagas menyadari kecanggungan Alet di antara semua orang yang berada di sana.
Tanpa berpikir panjang, Alet meninggalkan tempat itu. Mencari angin di luat mungkin akan mengembalikan moodnya. Bagas menyusul Alet, kemungkinan besar Alet belum mengetahui yang sebenarnya. Bagas tak ingin terjadi kekeliruan antara Alet dan sahabatnya.
Bagas mengambil sebotol minuman untuk mencairkan suasana. Lalu memberikannya kepada Alet yang duduk termangu di pelataran rumah sakit. Alet mengambil minuman itu dengan senyum terpaksa di wajahnya.
"Sepertinya lo terkejut dengan kejadian tadi," Bagas mulai menbuka suaranya. Jujur Alet tak ingin membahas itu. Ia hanya diam tanpa berniat membalas ucapan Bagas. "Awalnya gue pikir lo gak punya perasaan apa pun sama Langit. Tapi setelah kejadian ini, sepertinya lo memang punya perasaan sama Langit. Kenapa lo ngehindarin dia selama ini?" lanjut Bagas.
"Banyak pertimbangan di otak gue, Gas. Jujur aja, nyokap gak suka gue deket sama dia. Awalnya memang bukan karena nyokap, gue sendiri yang menghindari sakit hati. Saat gue udah sedikit merasa kalau gue seharusnya mencoba. Nyokap gimue nyuruh gue jauh-jauh dari dia." jelas Alet panjang lebar.
"Bentar gue denger dari Langit, nyokap lo kayak suka sama dia." heran Bagas semakin penasaran dengan jalur percakapan. "Iya emang sepertinya awalnya begitu, dan ada sesuatu yang membuat nyokap gue jadi ngelarang gue deket sama dia." Alet membuang napasnya gusar. Kejadian tadi masih bergelung di dalam pikirannya.
"Lalu, gimana sama lo? Gue yakin lo masih cinta sama Bila, lo gak cemburu?" lanjut Alet yang mendapat balasan senyuman dari Bagas. "Iya gue masih cinta sama Bila dan gue jelas-jelas cemburu. Tapi gue yakin kalau Bila juga cinta sama gue, dia gak akan segampang itu melupakan gue dan berpaling ke Langit."
"Alasan lo putusin Bila? Karena Langit?" Bagas menganggukkan kepalanya. "Langit sering curhat ke Bila, dan gue kira Langit jadi nyaman sama Bila. Dan satu hal yang gue gak bisa tolak adalah permintaan Langit. Karena dia yang buat gue kayak sekarang. Dulu gue cuma anak cupu yang diem aja dihina sampai di pukuli kakak kelas. Sampai akhirnya Langit bantuin gue bangkit. Yah begitulah, daripada gue korbanin persahabatan gue, lebih baik gue korbanin perasaan gue." Bagas memasang wajah sedih yang Alet lihat sangat tulus.
"Dua-duanya menurut gue gak ada bagusnya. Kenapa Langit jahat banget sih misahin kalian berdua." jengkel Alet sembari menegak minumannya habis. "Langit gak jahat kok, kalo dilihat dari sananya gue yang jahat. Jelas-jelas dulu mereka deket. Tapi malah gue yang jadian. Langit itu butuh sandaran, Let. Makanya dia sampe punya banyak cewek. Dan saat dia yakin lo bakal jadi sandarannya, lo malah bersikap acuh tak acuh."
"Maaf, Gas." lirih Alet pelan.
"Loh kok lo minta maaf sih,"
"Kalo gue nerima Langit mungkin lo masih sama Bila sekarang." Alet menunjukkan wajah bersalah. Ia telah menyebabkan dua perasaan yang saling mencintai harus berpisah. "Ini bukan salah lo, ini pilihan gue, Let. Bukan salah lo, ini bukan salah siapa-siapa," Bagas memegang kedua bahu Alet, menjauhkan gadis itu dari rasa bersalah.
"Gue yakin Langit cinta sama lo, karena baru sekali gue lihat dia begitu berseri-seri, saat dia bilang kalo dia jatuh cinta sama lo." Perkataan Bagas sedikit menenangkan perasaan Alet sekarang.
***
Tbc
Hollaa! Sekarang alasan putusnya 2B Bagas dan Bila udah ketahuan nih. Lets vote and comment yaa. Sampai jumpa di chapter selanjutnya:))Xoxo,
salwamld
KAMU SEDANG MEMBACA
Bellva
Teen FictionAlette Aozora. Gadis yang sangat menyukai langit. Siang ataupun malam, ia sangat menyukai bagaimana Tuhan menghiasi langitnya. Ia suka saat matahari terbit di pagi hari, saat dimana komorebi sedang indah-indahnya. Ia suka saat senja, saat dimana ma...