30. Baikan?

1.4K 89 0
                                    

"losers like him who make me comfortable"

***
"Kemarin kok pulang duluan sih?" Langit bertanya sambil menghabiskan selembar roti dengan selai stawberry milik Alet. Sejujurnya itu bekal Alet karena ingin hemat, namun Langit bersikeras bahwa itu dibuatkan Alet untuknya.

"Gue gak duluan, malah pulang telat."

"Tapi kok lo gak tungguin gue?" Langit bertanya lagi dengan mulut dipenuhi roti. "Terserah gue dong," Alet menyandarkan punggungnya lalu melemparkan pandangan ke arah luar jendela.

"Hari ini pulang sama gue ya," ucap Langit seraya menjilati tangannya yang penuh selai. "Iya,"

Waktu istirahat kali ini Alet menghabiskan waktu menemani Langit yang memakan bekalnya. Itu pun atas sedikit paksaan Syasya. Bukan tak mau, Alet hanya risih jika harua berduaan dengan cowok otak udang seperti Langit. Kadar harga dirinya tiba-tiba memuncak jika bersama Langit sekarang. Setelah kejadian teman makan teman kemarin membuatnya semakin waspada terhadap pria.

Bel tanda masuk kelas sudah berdering. Alet diantar sampai kelas oleh Langit. Itu sangat memalukan baginya. Beberapa kakak kelas melirik tajam tak suka dengan kedekatan mereka. Beberapa teman di kelas beriuh-riuh melihat mereka dan ber-cie ria.

Alet berjalan menuju bangkunya. "Cie yang dianterin bebeb," goda Syasya.

"Apaan sih,"

"Btw pulang sekolah temenin gue nyari buku ya," Syasya berbisik pelan. "Nyari buku apaan?"

"Novel lah," Syasya tersenyum lebar. "Bila sama Jessy udah gue ajak," bisiknya lagi.

"Ngapain?" tanya Alet samar.

"Ya cari buku sama sama lah, udah lama kan kita gak hang out bareng,"

"Terserah lo aja deh," Alet menelan ludah. Syasya memberi tanda oke melalui jarinya. Lalu ia mengeluarkan buku pelajaran dan beberapa alat tulis. Alet mengerti bahwa Syasya sedang berusaha memperbaiki hubungan persahabatan mereka. Syasya memang yang paling tak bisa diajak serius, namun dialah yang terbaik di segala hal.

Sambil menunggu guru datang, Alet memilih untuk menenggelamkan wajahnya dalam lipatan tangannya. Bosan, Alet merogoh ponselnya. Menekan rana kamera di ponselnya. Tangannya jadi tak bisa berhenti jika yang ia abadikan adalah sekumpulan awan yang sangat indah.

Terdengar suara hak sepatu yang menggema di lantai. Membuat semua keadaan yang ramai menjadi beku. Alet menekan rana kameranya sekali lagi sebelum memasukannya ke dalam tas. Akhirnya pelajaran dimulai dan diakhiri begitu saja. Tak ada hal yang spesial. Alet hanya mendengarkan penjelasan guru dan sesekali mencatat hal yang penting.

Alet melangkahkan kakinya keluat dari lilitan kaki bangku. Baru saja tiga langkah, Alet bertabrakan dengan Bila yang sedang pas berdiri dari duduknya. Tanpa pikir panjang, Alet mengulas sebuah lengkungan tipis di bibirnya. Hingga diakhiri tawa keduanya.

Mereka yang tak mengerti pasti menganggap mereka berdua gila. Tak ada hal yang lucu yang patut ditertawakan. "Maafin gue ya, Bil." bisik Alet sangat pelan.

Bila terlihat begitu senang sekarang, "Maafin gue juga," Mereka saling berpelukan.

Padahal tak ada yang harus meminta maaf atau pun dimaafkan. Semua hanya didasarkan ketidaknyamanan dan salah paham. Ditengah itu, Jessy mendekati Alet.

"Let, gue juga mau minta maaf," lirih Jessy. Alet dan Bila berhenti berpelukan lalu melihat Jessy lekat.

"Gue tau gue gak pantes lo maafin, gue udah ngebuat lo patah hati, sebenernya gue mau minta maaf sejak lama, tapi Kak Marcel selalu nahan gue untuk jangan dulu minta maaf sama lo. Gue tahu gue terlalu dibutakan oleh cinta, gue lebih milih cowok daripada perdahabatan gue. Dan sekarang gue sadar, dan bisa dibilang sadar gue telat. Karena gue tersadar setelah cowok itu juga pergi. Kalian pergi, lalu yang buat kalian pergi pun pergi. Gue merasa sendiriam sekarang. Lo boleh kok gak maafin gue, Let." lanjut Jessy dengan nada yang penuh tekanan.

"Enggak," Alet menggelengkan kepala yakin. "Lo enggak sendirian kok, kan ada kita disini, kita gak pergi kemana-mana. Ya kan?" tanya Alet yang tertuju pada Bila.

Bila sedikit bingung ingin menjawab apa. Ia termasuk yang paling membenci Jessy kemarin. "Iya," Bila berkata dengan datar. Mereka kembali lagi, meskipun luka lama tak mungkin bisa sembuh dengan cepat dan akan selalu diingat. Alet masih marah, namun ia tahu Syasya yang sudah membuat mereka kembali lagi. Ia tak akan mengecewakannya. "Nah gitu dong, kan kalo gini jadi seru. Ayo buruan ntar keburu tutup loh toko bukunya." seru Syasya setelah memperhatikan beberapa drama tadi.

Sebelum sampai di ambang pintu, Alet mengingat sesuatu. "Kayaknya gue gak bisa ke toko buku deh," Langkah Alet terhenti.

"Kenapa?" Syasya terlihat murung.

"Gue lupa, gue udah punya janji sama orang lain."

"Ekhem, siapa tuh orang lain." goda Bila berpura-pura batuk-batuk. "Ya, sama orang, ada lah kalian duluan aja sana," jawab Alet.

"Cie mau ngedate yah," colek Syasya yang membuat pipi Alet semakin memanas. "Apasih engga," bantah Alet.

"Oke deh, kita duluan ya. Sukses ngedate nya," kata Bila seraya melambaikan tangan kepada Alet.

Alet membuang nafas lega. Alet berjalan menuju parkiran. Ada satu atau dua kicauan yang menggoda Alet dalam perjalan, namun ia hiraukan begitu saja. Sekarang, ia sudah menemukan motor vario hitam dengan pengemudinya.

"Motor baru?"

"Iya, tapi punya si Yoga."

"Ngapain minjem? Kan kasian masih baru,"

"Yoga itu punya pobia pake barang baru, makanya harus dipake orang lain dulu." ujar Langit

"Masa sih emang ada?" Alet tak yakin dengan pernyataan Langit.

"Adalah, lo aja yang kurang baca buku. Buktinya ada orangnya,"

"Gitu yah," Alet yang polos percaya dengan ucapan Langit.

Langit terkekeh, "Ya udah lo mau jadi patung di sini atau gue anterin pulang?" ucap Langit asal bicara.

"Anterin pulang lah,"

"Siap meluncur," Langit langsung menyalakan motor pinjamannya dan segera menjalankannya. Selama di perjalanan mereka membahas hal-hal receh yang dimulai oleh Langit. Dimulai dari tebak-tebakan artis andalan Langit.

"Lo tau ga, artis-artis siapa yang suka naik motor kaya motor baru si Yoga ini?"

"Emmm," Alet berpikir. "Gue gak tahu, siapa?"

"Ya ga seru dong, tebak dong."

"Gak tau ah, gue nyerah."

"Yah, mau tau gak nih?" tanya Langit.

"Iya, iya."

"Zaskia Metik,"

"Garing tau gak sih," ucap Alet diikuti tawanya yang lepas.

Pembahasan masih berlanjut ke arah materi. Langit yang keukeuh jika awan saat itu biasa-biasa saja, sedangkan Alet menganggap itu sangat indah. "Kenapa nama lo Langit kalo nyokap, bokap bahkan elo enggak suka langit?"

"Yang penting kan lo suka gue,"

"Kata siapa gue suka elo?"

"Lo kan bilang suka langit,"

"Ya tapi bukan Langit elo," Alet mencubit pinggang Langit. "Mending dipake buat meluk aja, kasian pinggang gue kesakitan kalo di cubit," ujar Langit.

"Biarin aja, pinggang lo kesepian."

"Kasihan amat pinggang gue,"

Jadi bagaimana kalau si pecundang itu yang buatnya nyaman?

***

Tbc
Hallo genkss, bagaimana cerita kali ini? Kali ini baper-baperan dulu deh, besok kita tegang-tegangan😂
Kabar baik, bellva akan update tiap hari loh. Senangkah senang?
Jangan lupa vote dan comment:)

Xoxo,

BellvaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang