5. Gelap

3.4K 213 34
                                    

"Gak ada yang gak mungkin dalam cinta. Mau seberapa keras lo yakinin bahwa lo suka sama seseorang yang gak pernah ada di hati lo, lo bakal tetep kalah Let.” -Bila

***

Gavin mengajak Alet ke sebuah ruangan yang sudah dipenuhi banyak orang. “Pertunjukan piano?” Gavin menganggukkan kepalanya. “Rachel itu jago main piano, ayo duduk di sana.” Gavin menunjuk bangku kosong yang tepat bersebelahan dengan Langit. Alet duduk di sebelah Langit dan Gavin duduk tepat di sebelah Alet. Alet melirik ke arah Langit, wajahnya terlihat tegang. Sudah pasti, karena pacarnya akan tampil di depan orang banyak.

Pertunjukan sudah dimulai, Alet terlihat sangat menikmati satu demi persatu penampilan. “Sebentar lagi giliran Rachel,” Gavin berbisik kepada Alet. Alet mengangguk pelan. Dan tiba saatnya giliran Rachel. Rachel terlihat anggun dibalut gaun hitam yang cantik. Pembawaannya di atas panggung sangat bagus, bak seseorang yang sudah profesional. Jarinya mulai menekan tuts piano. Permainannya lembut, ia seperti menyatukan hati dan seluruh gelegar jiwanya lalu menyalurkan emosi ke dalam permainannya.

Namun di tengah permainannya, entah gugup atau kenapa. Suara yang dihasilkan piano mulai tak selaras. “Dia salah,” ucap Langit tiba-tiba. Tangannya bergerak seperti sedang menekan tuts piano. “Lo kok tau kalo dia salah?”

“Tau aja,”

“Kenapa bisa?” Alet bertanya lagi. “Lo gak bakal mati kan meski gak gue kasih tau?” Langit malah balik bertanya dengan wajah menantang. Gavin melihat wajah Alet yang murung, “Langit bisa tau karena dia kan...”

“Gue merhatiin gak kaya lo,” Langit memotong perkataan Gavin. Seperti sedang diancam, Gavin membalas dengan mengiyakan pernyataan Langit. “Dia apa Vin?” Alet bertanya lagi dengan wajah yang benar-benar penasaran.

“Tadi lo sendiri denger kan kata Langit,” Gavin tersenyum. Mereka kembali terhanyut dengan suasana tabu yang dibuat Rachel dengan alunan pianonya.

Setelah usai, mereka pun pulang. Gavin mengantarkan Alet pulang dengan motor ninjanya. Kala itu langit cerah. Matahari bersinar kemerahan. Tak lama lagi, ia akan kembali ke peraduannya. Angin berhembus tenang semilir mengalir. Dua manusia yang tengah menginjak indah-indahnya masa remaja, terlihat mesra di tengah lengangnya jalan raya.

Alet terpaku menatap langit. Kali ini perasaannya sedikit berbeda. Sudah jelas pria yang membuatnya terpana berada tepat didekatnya. Namun semestanya serasa mati. Ada sesuatu yang menusuk-nusuk ulu hati Alet. Ia bahagia, namun merasa dahaga.

Tak terasa hitam mulai mendominasi langit. “Makasih Vin, mau mampir dulu?”

“Lain kali Let, makasih juga ya.”
Gavin mulai menghilang ditelan hitam pekat malam. Hidangan langit tersaji dengan sepotong bulan dan taburan bintang di sekitarnya. Alet menatap lukisan angkasa itu dari balkon kamarnya. Alet menatap kelu. Rasanya senang namun gelisah. Ia sungguh tak mengerti dengan perasaannya kini.

***

Jakarta, 29 Oktober 2017

Aku pergi ke pameran seni dengan Gavin. Kami banyak mengobrol tentang seni. Aku senang. Benar-benar senang. Tapi kenapa aku merasa kelu disaat Gavin benar – benar sosok yang sangat baik untukku. Kenapa harus ada Langit dan Rachel. Padahal kukira kita akan berdua.

Aku kesal. Tapi kesalku tak tertuju pada fakta Gavin mengajak Langit dan Rachel ke pameran. Kesalku justru karena fakta Langit adalah pacar Rachel. Bukan karena apa-apa, Langit itu playboy kelas kakap. Dan aku tak ingin sepupu Gavin disakiti. Meskipun kami baru pertama kali bertemu, namun Rachel meninggalkan kesan baik padaku. Aku tak ingin jika sepupu dari orang yang membuatku terpana terluka.

BellvaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang