"He wanted tea, I was coffee."
***
Kegundahan hati semakin mengebu. Suasana dingin pagi ini mencekam dan menusuk tulang belulang. Alet berjalan melewati lorong sekolah. Tak ada geming dan riuh, karena sekolah masih sepi. Langkahnya terhenti tatkala mendengar suara piano dari ruang musik. Awalnya ruang musik itu tak pernah ada yang memakai. Suasana ruangan itu memang tergolong angker. Tak ada yang mau ke sana.
Alet berjalan menghampiri ruangan kusam itu. Alet membuka tangkai pintu lalu melihat seseorang sedang memainkan piano. Alet tak tahu lagu apa yang orang itu mainkan. Namun yang dapat jelas Alet dengar adalah alunannya sangat lembut, indah dan berwarna.
Alet termangu. Wujudnya tak terlalu tampak, maka dari itu, Alet menghampirinya. Seperti tersengat arus listrik, Alet terkejut bukan main. Orang yang sedang memainkan piano adalah Langit. Melihat Alet tepat berada di hadapannya, Langit menghentikan permainannya.
"Lo bisa main piano?" tanya Alet.
"Engga, gue cuma coba-coba." bantah Langit yang membuat Alet semakin ragu. "Lo ngapain di sini?"
"T- tadi gue kebetulan lewat terus denger suara piano dari sini," jawab Alet dengan terbata-bata. Langit mengangguk seraya berdiri dari tempat duduknya. "Karna lo udah ada di sini, lo temenin gue makan di kantin." Langit menarik lengan Alet. Alih-alih menolak, Alet malah terdiam dan mengikuti tak ada kata bantahan.
Langit terlihat sangat kelaparan. Mungkin lupa sarapan. Alet menatap Langit lamat-lamat. Hatinya mengebu tak tertahan. Rona merah menyelubungi wajah Alet.
Langit yang menyadari keadaan Alet yang hanya diam dari tadi, mengalihkan fokus dari makanan ke arah Alet. "Sejak kapan lo jadi pendiam gini?" tanya Langit yang masih dalam keadaan mengunyah.
Alet mendelik, "Gue gak pendiam," bantahnya. Langit menghentikan aktivitas makannya sejenak. Ia menatap Alet dengan wajah serius. Entah dorongan dari mana, Langit menggenggam tangan Alet. Mendekati wajah Alet yang semakin memerah.
"Gue tahu gue emang gak pantes buat ngomong ini Let." Alet semakin menegang. "Gue sebenarnya..."
"Sebenarnya,"
Alet benar-benar tak bisa menahan rona merah di pipinya. Langit benar-benar dekat dengannya. Kali ini jantungnya berdegup dengan kencang.
"Gue gak bawa uang, gue pinjem uang lo ya buat bayar ini makanan." lanjut Langit yang membuat wajah Alet merah padam. Langit memasang wajah so imut membuat Alet benar benar marah. Alet tak habis pikir, dengan wajah marah Alet meninggalkan Langit.
Alet berlari tunggang langgang ke kelas. Wajahnya masih merah padam. "Lo kenapa Let?" tanya Syasya.
Alet tak mengubris. Alet menghampiri meja Bila lalu meneguk habis minuman yang sedang dinikmati Bila. "Lo apaan sih Let?! Itukan minuman gue." Bila mulai memanas tak terima minumannya dihabiskan.
"Gue lagi sebel sama orang tau gak sih,"
"Kalo sebel sama orang lain jangan lampiasin ke gue juga," ujar Bila. Alet dan Bila akhirnya adu mulut. Tiba-tiba Jessy datang memecah suasana. "Gue punya berita terhot tau ga,"
"Apa, apa?" tanya Syasya penasaran. "Ada murid baru pindahan dari sekolah seni ke kelas tetangga."
"Siapa?" tanya Alet. "Mana gue tau mending kita cari tau sekarang." Kelas tetangga adalah kelas Langit. Sudah pasti Alet enggan ke kelas itu apalagi jika ada Langit. Namun sudah sulit jika Jessy dan Syasya mulai melancarkan jurus memaksanya. Mereka pun menelusuri dan mulai mencari tahu seperti detektif abal-abal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bellva
Teen FictionAlette Aozora. Gadis yang sangat menyukai langit. Siang ataupun malam, ia sangat menyukai bagaimana Tuhan menghiasi langitnya. Ia suka saat matahari terbit di pagi hari, saat dimana komorebi sedang indah-indahnya. Ia suka saat senja, saat dimana ma...