13. Gavin Kritis

2.3K 130 4
                                    

"Mereka ada untuk dibagi suka dan duka, maka jangan senbunyikan deritamu sendirian. "

***

Tepat diusianya yang ke tiga belas tahun, Fajar mengikuti lomba piano se-Jakarta Timur. Fajar sudah siap untuk naik ke atas panggung. Namun ayah dan kakaknya masih belum datang juga. Ibunya sedang tak enak badan jadi ibu tak ikut menonton.

Fajar sudah dipanggil untuk naik ke atas panggung. Namun ia masih menunggu kehadiran ayah dan kakaknya. Fajar sempat berpikir untuk membatalakannya saja. Karena tujuannya mengikuti lomba ini hanya ingin menunjukkanya kepada ayah dan kakaknya. Namun ia berpikir ulang, kalau ayahnya datang setelah Fajar membatalkan tampil. Ia malah akan dimarahi.

Fajar naik ke atas panggung. Ia berharap ayah dan kakaknya akan datang ketika ia sedang tampil. Permainan piano Fajar sangat mulus. Namun Fajar tak menunjukan wajah lega ataupun puas. Sampai permainan pianonya selesai, ayah dan kakaknya tak kunjung datang.

Fajar pulang membawa kemenangan. Namun wajahnya lesu tak bersemangat. Tak lama, polisi datang ke gedung yang dipakai lomba. Ibunya datang memeluk Fajar. Wajahnya terlihat sangat cemas.

"Ada apa bu?"

"Gak papa, kita pulang ya."

"Kenapa ibu pake sarung tangan? Tumben,"

"Ibu kedinginan," Fajar tak menjawab. Ia terus memperhatikan kerumunan orang.

Setelah itu Fajar tak pernah lagi melihat ayah dan kakaknya. Ibunya tak lagi berbicara dengannya. Guna melupakan keberadaan ayahnya, ibunya menitipkan Fajar ke engkong -ayah dari ayahnya Fajar-. Karena setiap melihat Fajar, ia selalu mengingat suaminya itu. Bukan karena Fajar itu nakal.

Orang-orang di luar sana sudah mengenal Fajar. Mau tidak mau, karena ia sudah memenangkan kompetisi yang bergengsi.

Ayahnya sendiri mantan pianis terkenal. Ibunya mengganti nama Fajar menjadi Langit. Tak ada yang boleh tahu kalau Langit adalah Fajar. Bisa saja orang-orang itu mengincar Fajar juga.

***

"Jadi om Urip udah bebas?" Gavin nampak sangat kaget di seberang telepon sana. Langit membalas dengan gumaman pelan. "Lo harus tetep hati-hati ya Lang, jagain ibu lo."

"Tanpa lo ingetin gue juga udah lakuin." Langit menutup telepon sepihak. Tanpa dipungkiri meskipun situasinya memang menakutkan, Langit juga bahagia. Karena ibunya mulai sangat perhatian lagi padanya.

"Kamu sekali-kali ajak teman kamu Lang." ucap ibunya. "Jangan Ma, mereka tukang rusuh."

"Masa cantik gitu rusuh sih, kamu ada-ada aja." Bu Hasanah hanya geleng-geleng kepala. "Yang cantik siapa sih Ma?"

"Itu yang waktu itu jenguk kamu,"

"Alet?"

"Kalo gak salah sih iya Alet," Langit tersenyum. Ini berarti ibunya sudah memberikan lampu hijau padanya untuk mendekati Alet. "Kapan-kapan, Ma."

Langit dengan manja memeluk ibunya. Sudah lama ia ingin merasakannya lagi. Meskipun yang ia peluk kini bukanlah ibu kandungnya, tak apa. Bu Hasanah juga ibunya sekarang, orang yang harus Langit jaga.

"Langit pamit, Ma." Langit mencium tangan ibunya. "Hati-hati jangan ngebut,"

Kali ini ia berjanji tak akan bolos sekolah. Tapi belum tahu untuk besok, itu yang ada dipikiran Langit. Senyumnya merekah sepanjang jalan. Langit tak pernah merasa sebahagia itu.

Di tempat parkir, Langit bertemu dengan Reva -teman sekelasnya- sedang memarkirkan sepedanya. Reva itu sosok yang emosian dan super-duper baperan. Padahal niat Langit cuma bercanda, tapi Reva selalu menganggapnya serius.

BellvaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang