/PERTEMUAN/

86 2 0
                                    

Aku tidak suka keributan; terlebih keributan di hari pertama sekolah ketika masa orientasi resmi berakhir. Perkenalan berbungkus rasa canggung yang kemudian menjelma menjadi sebuah pertemanan; atau kau bisa sebut awal mula beberapa kubu terbentuk.

Aku duduk di pinggir kelas— bukan di belakang melainkan bersebelahan dengan dinding. Hanya duduk diam sembari memperhatikan beberapa kawan kelas baruku yang mulai bercengkrama. Dan terus diam sembari melirik deretan kata dalam novel remaja yang dibaca teman sebangku ku; Ria namanya.

Kalian salah jika menebak aku dan Ria akan jadi sahabat selamanya— atau terserahlah apa sebutannya— hingga berakhirnya masa putih abu abu karena kesamaan sifat kami; enggan berbaur. Aku justru takut pada Ria setelah ia membentak seseorang di luar kelas yang membuatnya kesal dan memutuskan untuk membaca novel saja di tempatnya.

"Ria, aku mo keluar dong" ucapku ketika meminta jalan lewat setelah menghabiskan satu jam setengah untuk berdiam diri. Ria berdiri dengan arah tatapan yang masih jatuh pada kata dalam bukunya; membuatku berjalan saja tanpa peduli kerucutan bibirnya yang entah disebabkan olehku atau salah satu tokoh dalam cerita.

Aku memutuskan untuk ikut duduk di kursi panjang depan kelas; memperhatikan dua orang yang sedang menampilkan aksi lawak atau semacamnya. Lantas detik berikutnya- bersamaan dengan tawa yang dikeluarkan lima orang lainnya, aku ikut tertawa.

Seseorang yang duduk tepat di sebelahku menoleh, "Eh? yang duduk sama Ria, kan, ya?" sapanya yang masih diikuti sisa tawa akibat candaan yang dikeluarkan dua orang lelaki tadi.

Aku hanya mengangguk.

Sudah kukatakan sebelumnya; aku ini manusia canggung, jadilah disapa semacam itu saja membuatku bingung disertai gelisah.

"Duduk sama aku, ya, besok. Aku duduk sama Anjani, dan dia cerewet banget, kayaknya sih cocok sama Ria." lanjutnya disertai senyum di akhir kalimat; merasa tidak berdosa setelah menyebut teman sebangkunya cerewet dan memasukan Ria dalam kategori tersebut.

"Aku Alena, by the way"

Perempuan bernama Alena itu menyodorkan tangannya untuk bersalaman; membuatku menyambut sodoran tersebut sembari mengeluarkan "Firda."

"Oke, Da. Aku nanti ngomong sama Anjani dan Ria"

Lagi, aku mengangguk saja.

---

Bel tanda sekolah berakhir berbunyi. Sebagian besar baru bersiap merapikan barang bawaannya, sebagian lainnya meminta air minum sisa kepunyaan teman sekelas setelah lelah bermain bola kaki di lapangan, sedangkan aku sudah siap untuk pulang ke rumah sejak dua puluh menit lalu.

"Da, duluan ya!"

Aku menoleh ketika mencoba untuk bangkit; perasaan antara kaget dan keyakinan salah mendengar. Maksudku, tidak mungkin ada yang akan pamit dengan nada seperti sudah dekat beberapa bulan padaku di hari pertama masuk kelas.

Lantas aku mendapati Alena tengah melambaikan tangan sembari tersenyum ke arahku.

Ternyata aku tidak salah dengar.

Dan ternyata ada seseorang yang mengenaliku di kelas ini.

---

Cuaca hari itu mendung— atau dalam kamus hidupku, saat itu sedang adem. Beberapa murid sekolahku dengan berani berdiri di pinggir jalan untuk menghentikan angkutan umum sesuai tujuan masing masing; biasanya ketika matahari sedang bermain keluar, mereka memilih untuk berteduh di gedung gedung dekat sekolah sembari menikmati aneka jajanan yang kurang dari lima ribu.

Sebuah angkutan umum berwarna biru muda keabuan itu berhenti tepat di depanku ketika seorang lelaki menghentikannya. Aku melihat sekilas situasi kendaraan tersebut; lumayan sepi, hanya ada seorang ibu bersama anaknya yang dipangku. Jadilah aku mengikuti lelaki yang satu sekolah denganku tersebut untuk naik dan duduk berhadapan dengannya, setelahnya dipenuhi oleh siswa lain yang juga searah pulang denganku.

Lelaki yang meghentikan kendaraan ini sebelumnya tengah memandangiku padahal sudah semenit berlalu sejak angkutan umum yang kami tumpangi itu kembali bergerak; membuatku memutuskan untuk menatap balik.

Ternyata salah seorang dari dua lelaki yang menjadi objek tawaan kami siang tadi.

Aku enggan menyapanya, juga tidak ada salah satu dari kami yang ingin menyudahi kontak mata dan berlagak seperti orang asing. Barulah beberapa detik kemudian, lelaki itu tersenyum diikuti anggukan tunggal tanda sopan.

Aku membalas senyumnya, tentu saja.[]

LEFT UNSAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang