Hari itu aku berjalan seperti biasa ke arah kelas. Namun ketika membuka pintu kelas, aku tidak mendapati Yudis yang selalu datang lebih dulu beberapa menit dariku, melainkan hanya tumpukan bata, beberapa karung semen, dan peralatan kerja bangunan lainnya.
"Da?"
Aku menoleh kelewat cepat hingga membuat leherku sakit. Salah satu teman sekelasku berdiri tiga langkah di belakangku; "Kita pindah ke ruang serba guna untuk sementara, kamu gak tau?"
Gelengan tunggal yang kukeluarkan menjadi jawaban atas pertanyaannya. Lantas ia menarikku keluar dan membawaku pada ruang serba guna yang ia sebut sebelumnya.
"Udah diinfoin di grup kelas, loh."
"Aku belum masuk grup kelas."
Safira, teman sekelasku yang memergoki kebingunganku akan keadaan kelas yang baru akan di renovasi itu terdiam mendengar jawabanku. Aku tau, sudah lewat seminggu namun keenggananku untuk berbaur masih berada di level atas dan belum mau turun.
"Aku undang, ya." ucapnya sambil lalu dan meninggalku seorang diri di dalam kelas 'dadakan' baru tersebut.
Ruangannya berbeda dengan bentuk kelas pada umumnya. Ada empat meja besar yang sepertinya digunakan untuk diskusi atau rapat organisasi tertentu. Satu meja dilengkapi oleh enam buah kursi kayu berbentuk melingkar tanpa sandaran. Aku memilih meja dekat jendela; meletakan tas di sana dan memilih untuk diam hingga satu per satu teman sekelas mengisi kelima kursi kosong lainnya- termasuk Alena yang langsung menempati kursi di sebelahku.
Bel masuk kelas berbunyi; diawali dengan kegiatan kerohanian pagi hari yang kemudian disambung pelajaran pertama, kedua, dan ketiga. Segala sesuatunya berjalan dengan normal- aku tak akan mengatakan semuanya berjalan seperti biasa karena memang tidak; dua guru dalam tiga jam pelajaran menjelaskan pelajaran tanpa papan tulis dan hanya bermodalkan suara, dimana aku lebih senang melihat tulis tangan guru dibanding menangkap informasi lewat indra pendengar.
"Yang belum, kumpul pas istirahat, ya" ucap guru biologi yang tengah berkemas tersebut; meninggalkan setidaknya delapan orang siswa yang masih sibuk mengerjakan tugas perihal hipotesa dari sebuah kejadian yang sebelumnya ia jabarkan. Delapan termasuk aku yang mengutuk renovasi kelas dan mengandalkan ruang serba guna tanpa papan tulis masih berjuang hingga bel istirahat berbunyi; membuat sebagian besar penghuni kelas memilih untuk pergi ke kantin.
"Eh!"
Hampir selesai, batinku; bersusah payah untuk tidak mengangkat kepala dan mencari tau siapa orang yang mengeluarkan panggilan Eh tersebut karena rancangan kalimat yang kubuat di otak bisa tiba tiba menghilang.
"Eh!"
Ketika selesai menuliskan kalimat lebih besar kemungkinannya dalam buku tugasku, aku menaikan pandangan; mendapati lelaki yang kutemui di angkutan umum tiap pulang sekolah itu duduk di hadapanku sembari memperhatikanku; kurasa ia terkejut sedikit setelah aku secara tiba tiba membalas tatapannya.
"Manggil aku?"
Ia mengangguk. "Pinjem tipe-x" balasnya diikuti cengiran kecil yang sontak membuat kecanggunganku memuncak.
Aku menarik correction pen berwarna biru dari kotak pensilku, lantas melempar benda tersebut ke arahnya. "Aku punya nama, dan itu bukan Eh. Lagian udah lewat seminggu dan setiap pelajaran selalu di absen, masa masih gak tau?"
Yang kuajak bicara hanya mengangguk angguk dengan masih berkutat pada kegiatan menimpa tulisan yang salah dengan cairan correction pen, lalu "Tau, kok. Firdut"
"Hah?"
"Firda gendut. Firdut" tanggapnya diikuti gerakan meletakan correction pen tersebut ke dalam kotak pensil pink pucat milikku.
Harusnya aku marah; harusnya aku membencinya karena memang aku tidak suka dipanggil dengan sebutan itu walau nyatanya tubuhku memang gempal.
Tapi saat itu aku justru tersenyum; anggap saja itu adalah senyum super konyol yang kukeluarkan hingga membuatnya tertawa.
"Trus, kamu tau aku siapa?" tanyanya ditengah tawa.
"Enggak."
"Yaelah, Dut, Dut."[]
KAMU SEDANG MEMBACA
LEFT UNSAID
Romance"Selamat tinggal." -Firda Shakina Putri "Kita bisa ketemu lagi, gak?" -Lian Semesta