/AWAL DARI SEGALANYA/

8 1 0
                                    

"Nope. Bagusan yang hitam tadi." ucapku tepat setelah Lian keluar dari walk-in closet yang juga merupakan ruangan pemersatu antara kamar Lian dengan kamar Mas Iki.

Lian menghela nafas; entah karena tidak setuju dengan pilihanku yang hanya berupa kaos hitam polos dengan satu kantong di bagian dada kiri, atau karena lelah dengan kegiatan memilih baju yang cocok untuk pergi nonton dengan Diandra. Dan ketika Lian memutuskan untuk merebahkan diri di kasur dengan posisi kepala yang ia letakkan di atas pahaku, kurasa pilihan kedua lebih tepat, maksudku, lelaki tidak harus seribet perempuan dalam memilih setelan pakaian, kan?

"Kamu gak ganti baju, Dut?"

"I'm all set." tanggapku cukup cepat. Aku memang benar benar sudah siap; kaos hitam yang dibalut flannel maroon-abu, jeans abu kehitaman, lengkap dengan jilbab segi empat hitam yang kubuat sederhana.

"Aku pake flannel juga ya."

"Gak. Ntar kita dikira couple. Dan lagian, aku maunya kamu jadi jelek di depan Diandra supaya gak beneran jadian. Kan aku belum 100 persen ngerestuin."

Lian mencubit pipiku cukup keras dari arah bawah, ia lantas tertawa setelah mendapat pukulan sebanyak tiga kali yang kulakukan tepat di dahinya. "Kamu tuh, ya, pulang lomba malah jadi lebih sinis."

"Karena kamu juga ngeselin dengan ngejodohin aku sama Mas Iki." balasku yang membuatnya tersenyum nakal, "Well, kalau kamu mau sama aku, ya aku gak akan ngejodohin kamu sama Mas Iki."

"Maaf sebelumnya, tapi aku belum punya niatan untuk mati ditangan Diandra karena resmi jadi simpanan kamu, ya."

Ia terkekeh, kemudian mencubit pipiku lagi sebelum mengatakan, "Aku tahu kamu sukanya sama cowok yang lebih dewasa. Mas Iki lebih dewasa dari kamu, dia baik, pintar, dan kebetulan lagi ada di sini, so why not?"

Aku mengekori gerak geriknya yang membuka paksa kemeja biru laut terang di ambang pintu walk-in closet, kemudian masuk dan mulai membuat kebisingan dengan menutup pintu lemari secara kasar, juga menjatuhkan beberapa barang yang kurasa merupakan sepatu, dan berhasil keluar dengan setelan yang hampir mirip denganku; kaos hitam polos dan flannel abu-hitam yang dipadu dengan celana chino.

Waw.

"See? Tatapanmu mengatakan kalau aku super ganteng dengan setelan ini!" ucap Lian dengan bumbu self-love yang cukup tinggi, membuatku harus melemparkan guling kecil kesayangan Lian ke arah sahabat lelakiku itu untuk membuatnya tertawa lebih keras lagi karena puas menggodaku.

"Sini."

Lian menggeleng, dilanjut dengan gerakan menutupi dada menggunakan silangan tangan. "Gak, nanti aku dinodai."

"Apaan, sih, Li."

Lian maju tiga langkah, meletakkan ponselnya di atas kasur— tepat di sebelahku— lantas aku mulai mengambil tangan kirinya untuk menggulung lengan flannel miliknya hingga sebatas siku. Aku melakukan hal yang sama pada lengan flannel bagian kanan saat layar ponsel Lian menyala dan menampilkan sebuah pesan dari seseorang yang kukenal.

Bukan Alena.

Bukan pula Diandra.

AMEL :
Aku udah makan kok, baru aja. Kamu sana gih makan...

"Amel? Are you kidding me?!" ucapku cukup keras yang sontak membuatnya bergerak secara tiba tiba. Semuanya terjadi begitu cepat, dari pemberitahuan pesan, lengan flannel Lian yang mulai melepaskan diri dari genggamanku, dan Lian yang tanpa sadar mendekatkan dirinya padaku hanya untuk meraih ponselnya agar aku tidak melihat pesan pesan yang muncul berikutnya.

LEFT UNSAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang