/SATE DAN ALENA/

12 2 0
                                    

Lian :
Otw.

Aku melirik pesan yang muncul tiba tiba dari layar ponselku; memaksaku untuk menghentikkan kegiatan menonton film genre science fiction kesukaanku yang diperankan Theo James bersama dengan Shailene Woodley; percaya atau tidak film ini sudah kuputar ulang sebanyak puluhan kali.

Me :
otw mana? les gitar? ya ngapain pake laporan.

Lian :
Rumah u.

Me :
Gak usah becanda, deh, aku belum mandi!

"Firda ada yang cariin tuh!" teriak Mami sembari membuka pintu kamarku, lantas terkejut ketika sadar putrinya tersebut belum mandi atau— setidaknya— bersiap sedikit pun.

"Kamu..."

Aku bangkit dari kasur menuju ruang tamu dan melihat Lian duduk di sana sembari menyaksikan serial tv genre action yang sedang disaksikan Mami. "Kan kamu bilang jam 8!" protesku.

"Jam 8 kurang 2, sama dengan jam 6."

"Lian!" bentakku yang langsung mendapat sentilan kuat pada daun telinga dari Mami. "Mandi sana siap siap. Kamu yang males mandi, malah temenmu yang dimarahin"

"Ya tapi dia bilang janjiannya ja—"

"Mandi." putus Mami dengan tegas; membuatku tak dapat berbuat banyak selain mengomel dalam hati dan berharap bisa melempar sandal karet ke arah wajah Lian dalam sepersekian detik sebelum Mami mendorongku ke depan pintu kamar mandi.

---

Aku menyampirkan tali softcase gitar di kedua bahuku sebelum pamit dan mencium punggung tangan Mami. "Mau ngamen?" gurau Mami yang konyolnya justru disambut riang oleh Lian.

"Iya, Tante. Doain dapet rejeki banyak ya hari ini."

"Eh seriusan?" Lian mengambil helm yang sudah kusiapkan dekat pintu rumah dan menyodorkannya padaku, lantas tersenyum dan menggeleng ke arah Mami. "Ya gak mungkin lah, Tante."

"Firda bisanya main bass, Yan. Kapan kapan coba main bareng, deh, atau bikin band gitu." usul Mami yang langsung kupotong dengan menarik tangan Lian dan menyuruhnya untuk segera pergi. "Udah bertahun tahun lamanya kan gak megang bass, kayaknya sekarang udah lupa kunci kuncinya." jelasku yang lebih terdengar seperti penolakkan. Memang tolakan, sebenarnya, kata band dan Firda tidak akan bisa berdampingan, terlebih kata manggung dan Firda— akan seperti malapetaka.

Lian membantuku untuk menaiki kendaraan roda duanya, mengingat ia sudah menambah bebanku dengan menyuruhku membawa gitar kesayangannya. "Kamu mau belajar metik apa mau main gitar sih?" tanyaku saat Lian mulai menjalankan motornya.

"Eh, aku gak lagi diajak ke tempat les gitar, kan? Karena kalo iya, aku bakal suruh Alena buat kasih 100 cubitan." lanjutku yang tetap tidak mendapat respon dari Lian.

"Lian? Kamu gak tiba tiba budek kan?" teriakku dengan posisi bibir yang dekat sekali dengan telinga kanannya.

"Enggak, Dut. Ada yang mau aku omongin sama kamu, tapi ntar aja, gak enak ngobrol di motor; banyak angin." balasnya.

Aku menuruti perkataan Lian dan tetap diam di belakangnya dengan detak jantung yang tak karuan. Jika seseorang boleh memilih satu kalimat yang paling ditakuti, pilihanku jatuh pada Ada yang mau aku omongin, karena who doesn't? Ketidakpastian yang mengambang di udara, pikiran yang melanglang buana kesana kemari hingga memunculkan spekulasi yang macam macam, juga aura antara pelakunya yang semakin didiamkan, semakin terasa kaku.

Lian menghentikkan motornya di dekat gerobak sate ramai penghuni. Ia lantas membantuku turun dan mengambil alih softcase gitarnya. "Bang, sate dua puluh, lontong dua, makan sini yak! Ah ya, minumnya es teh dua." pesan Lian sebelum duduk di salah satu meja yang separuhnya sudah diisi oleh pasangan muda mudi seusia kami.

"Kagak ada ultra milk disini jadi ikhlas aja ya." guraunya.

Aku mendapat tempat di hadapan Lian, kemudian mencoba bersikap biasa agar tidak menyamai keromantisan pasangan di sebelah kami yang saling melempar pernyataan manis dan kemudian tertawa. "Kalo aku punya cewek, cewek aku gak bakalan ku ajak makan pinggir jalan gini." bisik Lian ketika yakin pasangan di sebelah kami sudah terlalu sibuk hingga tak akan peduli sekitarnya.

Aku mengangguk sombong, "Okay, dan yang ngomong lebih doyan mie ayam pinggir jalan ketimbang ramen restaurant."

Lian mengangkat kedua tangannya tanda menyerah, membuatku tertawa sembari menerima sodoran es teh dari Abang penjual sate yang kurasa mengenali Lian dilihat dari senyum dan bahasa tubuhnya sejak tadi. "Langsung nyerah nih debat sama aku?"

"Aku bahkan gak tau kamu denger insiden ramen itu dari siapa, kamu kan gak ikut makan makan ulang tahun Vania waktu itu."

Yap, se tertutup itu aku hingga acara ulang tahun Vania yang dihadiri semua teman kelas pun kuabaikan tanpa ragu. "Alena yang cerita." balasku.

"Ohhh, jadi kalian berdua suka gosipin aku?"

Sebelum aku sempat menjawab pertanyaan Lian, dua piring berisikan masing masing 10 tusuk sate lengkap dengan lontong itu mendarat di hadapan kami— "Satenya, Mas Lian." ucap Abang Sate yang juga melempar senyum padaku.

"Wah, hari ini bawa ceweknya agak gemuk ya"

Lian tertawa, "Iya, Bang. Namanya aja Firdut, orangnya udah pasti gendut."

Aku menatap Lian dengan ganas yang jika bersuara akan terdengar seperi 'Terus aja olok! Terusin!!!' hingga Abang Sate pergi begitu saja untuk melayani pembeli lainnya.

"Ampun, nyonya!"

"Udah berapa banyak cewek yang kamu ajak ke sini?"

Stupid Firda! untuk apa menanyakan pertanyaan se personal itu pada orang berpikiran sempit macam Lian. Aku memang cukup dekat dengan lelaki yang sudah menghabiskan tiga tusuk sate di hadapanku ini, tapi belum pernah sekalipun kami membicarakan perihal lawan jenis, hati, perasaan— apalah itu sebutannya.

"Gak banyak, kok. Yaaa, dua atau tiga mantan, abis itu satu gebetan dari les gitar yang bener bener gak doyan makanan murah pinggir jalan." jelasnya.

"Jadi gara gara itu kamu gak mau ngajak calon pacarmu nanti makan di pinggir jalan?" Lian mengangguk. "Li, denger ya, gak semua perempuan sama kayak dia."

Lian berhenti dari kegiatannya mengunyah daging ayam dengan saus kacang tersebut. Ia menatapku dalam dan cukup lama hingga aku harus mengalihkannya dengan bertanya "Tadi mau ngomong apa, Li?"

"Kenapa kamu manggil aku Li disaat yang lain manggil aku Yan?"

"Kenapa kamu manggil aku Firdut disaat nama aku adalah Firda?"

"Kalau aku sudah jelas jawabannya, karena kamu gendut dan it suit you well. Sekarang giliranku. Jawab pertanyaanku."

Aku membuka - mengatup - membuka - dan mengatupkan mulut lagi untuk beberapa kali selagi otakku memproses jawaban yang tepat. Sebenarnya tidak ada alasan khusus mengapa aku memanggilnya demikian, tidak ingin dianggap spesial atau bagaimana juga, tapi mengapa pertanyaan itu terasa seperti sedang menjebakku?

"Oke. Aku lebih suka manggil nama orang dari depannya." Lian menaikkan sebelah alisnya tanda bingung dan belum puas atas jawaban yang kukeluarkan. Jadi aku mulai mengatur nafas kembali tanpa ia sadari, dan kemudian "Seperti kalau aku manggil Alena dengan Al, dan bukannya Len kayak kamu, atau Na kayak anak anak kelas."

Lian terlihat sedang menimbang jawabanku, lantas mengangguk dan kembali menikmati makan malamnya. "Oke, oke, bisa diterima. Jadi aku simpulin kalau kamu gak suka sama aku, kan, Dut?"

"Nope. Never. Ew." tanggapku cukup cepat hingga membuatku tersedak dan menelan es teh sebanyak mungkin.

"Waw, jelas sekali statement nya." ucap Lian disertai tawa. "Oke, kalau gitu, aku bisa ceritain ini ke kamu since you're completely not into me..."

"Okay, go ahead."

"...aku suka sama Alena."[]

LEFT UNSAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang