/ENAM BELAS/

8 0 0
                                    

"Bunga, cokelat, balon, kado, gak cheesy banget ya emang?" tanya Lian ke arahku yang sedang berada dalam posisi tengkurap bertumpu siku di atas kasur miliknya. Aku menuliskan sesuatu dalam buku jurnalku sebelum memutuskan untuk melihat ke arah Lian di depan televisi kecil.

"Jadi selama ini kamu nembak cewek kayak gimana? by phone? by chat? And by that kamu berharap hubungan kalian aman jaya sejahtera?" balasku yang membuat Lian menatap lurus ke arahku.

"Lancarnya hubungan kan gak dilihat dari cara kita nyatain perasaan, sist!"

"Ya tapi seenggaknya udah kasih permulaan yang bagus karena ada effort."

Lian memilih untuk duduk di dekatku, kemudian mencubit pipi kananku kuat hingga aku harus meninju bagian tubuhnya beberapa kali untuk dilepaskan. "Kamu tuh gak tau kalo nyatain perasaan itu sendiri aja perlu niat dan usaha yang luar biasa, terlepas gimana cara nyatainnya. Sesimple ngomong 'aku suka kamu' aja udah bikin kerja jantung meningkat."

Aku mengangguk; seakan paham bahwa beban menyatakan perasaan selalu dilimpahkan pada lelaki. "Can't argue with that."

Lian mengambil botol minuman soda yang sedari tadi kupeluk, lantas menikmati isinya selagi diriku menuliskan sesuatu di atas kertas jurnal. "Oke sekarang rencana nembak— wait, cuma mau memastikan sekali lagi, udah siap mau nembak? i mean, kalian udah yakin saling nyaman atau apa gitu?"

"Yakin, lah! Kan udah deket lumayan lama—"

"Stop that! Kalau dilanjutin, aku jadi mikir kalau kamu beneran brengsek dan bakal mukul kamu karena udah nyakitin Diandra!" potongku yang langsung membuat bibir Lian terkunci rapat.

Aku menyaksikan Lian tersenyum dengan gigi— yang tanpa ia sadari— membuatnya berkali kali lipat lebih tampan dari biasanya; seakan gigi yang tersusun rapi adalah simbol kebahagiaan dirinya. "Stop smiling! Oke, jadi ini aku bareng Mas Iki nganterin kamu ke depan rumahnya. Ngehias balon di pagernya trus kita nunggu sampe Amel datang? Tau datangnya jam berapa?"

"Sekitar jam 9, mungkin."

"Gak kemaleman?

"Kalau kamu mau balik duluan sama Mas Iki gak apa apa, sih. Aku bisa naik ojek ntar."

"Okay, done." ucapku sembari bangkit dari posisi tengkurap, lantas menuju lemari pakaian Lian untuk menarik salah satu jaket hoodie yang tergantung. "Aku pinjem ini—"

"Hey, what's wrong?" Aku mendekat ke arah Lian yang terdiam dengan wajah pucat disertai butir butir keringat pada daerah dahi. Ia menatap kosong ke arah lampu tidur yang berada dalam mode off.

"Lian." panggilku.

"I love her, Dut. I really really love her. Aku takut kalo dengan cara konyol ini malah ngebuat perasaan aku ke dia terlihat main main. Well, actually, aku gak pernah setakut ini sebelum nyatain perasaan. Setiap nyatain perasaan ke perempuan, aku selalu mikir; kalau dia nolak, ya fuck it lah, bisa cari lagi. But Amel........aku cuma mau dia jadi milikku. Aku cuma ingin ini berhasil."

Lian mencintai Amel.

Titik.

Tidak ada harapan bagiku untuk dapat hadir di hadapan Lian dan menghambatnya untuk mencapai Amel.

Aku terdiam untuk beberapa saat; hampir meneteskan air mata karena serangan emosi yang datang secara tiba tiba.

"Lian."

"Ya?"

"Fuck the plans." ucapku dengan penuh penekanan; membuat Lian menoleh ke arahku. "Apa maksudnya?"

LEFT UNSAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang